Tantangan dan Peluang Konservasi Kehati

Activity, Agriculture, Animal, Climate Change, Ecotourism, Flora, Forestry, Marine
Tantangan dan Peluang Konservasi Kehati
17 May 2021
2208

Kaum muda umumnya sangat akrab dengan ngopi, kuliner dan wisata. Namun sebagian besar mungkin akan mengernyitkan dahi jika ditanya pemahamannya tentang keanekaragaman hayati atau kehati. Padahal, kehati atau biodiversity itu sebenarnya “nggak jauh-jauh amat dari kita”

 

Meski sudah cukup sering digaungkan, kata kehati tampaknya masih berjarak dengan benak kebanyakan orang. Banyak yang belum menyadari, hampir semua aspek dan kebutuhan hidup manusia sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dari kehati. Dari makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari, sampai udara segar yang kita hirup setiap saat. Dari pelindung dari bencana hingga pemandangan indah tempat berwisata.  Bahkan sejatinya, manusia adalah juga kehati.

 

Representasi keanekaragaman hayati di piring makan kita. Foto oleh Sunarto

 

Tak hanya yang menguntungkan atau dianggap bermanfaat, bila tak terkelola dengan baik dan terganggu atau tak seimbang, kehati juga dapat menjadi hama, penyebab wabah penyakit atau terlibat konflik dengan manusia.

 

Artikel ini akan fokus membahas tentang pentingnya menjaga kekayaan, keseimbangan dan keberlanjutan pemanfaatan kehati yang kita miliki. Berbagai tantangan, kekosongan serta peluang yang ada akan coba diurai. Namun sebelumnya, pertama-tama perlu kita pahami terlebih dahulu apa itu kehati dan mengapa Indonesia dapat dianugerahi kekayaan hayati yang tinggi.

 

Titik Panas

Langsung saja, yuk kita coba pahami bersama apa itu kehati. Ada tiga wujud keanekaragaman hayati. Secara hirarkis mulai dari yang paling sederhana atau berukuran paling kecil hingga yang berukuran besar dan cakupan luas adalah keragaman genetik, spesies, dan ekosistem.

 

Wilayah Indonesia telah dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Itu terwujud karena beberapa faktor yang saling mendukung. Pertama, negeri ini berada di jalur khatulistiwa yang mendapat cahaya matahari berlimpah sepanjang tahun.

 

Kedua, dengan posisi yang diapit dua samudra, sebagian besar wilayah Indonesia juga memiliki curah hujan yang tinggi. Ketiga, secara geologi, batuan pembentuk kepulauan nusantara sangat kaya dengan mineral yang diperlukan jasad renik dan tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang.

 

Keragaman ekosistem yang terbentuk oleh proses geologi dan faktor lainnya, menghasilkan beragam pemandangan menakjubkan di nusantara, salah satunya Danau Sentani di Papua. Foto oleh Sunarto

 

Keempat, Indonesia berada di cincin api, pertemuan lempeng benua yang ditandai dengan banyaknya gunung berapi yang membawa kesuburan extra. Secara geologis wilayah ini juga sangat aktif dan memungkinkan terjadinya kolonisasi sekaligus proses isolasi beragam jenis flora-fauna. Keduanya memberi kesempatan yang besar terjadinya spesiasi atau pembentukan beragam spesies baru yang unik dan endemik.

 

Namun, Indonesia juga dikenal sebagai titik panas kehati (biodiversity hotspot; (https://www.cepf.net/our-work/biodiversity-hotspots).  Ini adalah wilayah yang diketahui memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, namun juga sangat terancam.

 

Anthropocene dan Kepunahan Spesies

Keterancaman kehati pada skala tertentu sebenarnya dapat terjadi secara alami, dan dapat dipicu oleh faktor geologis-astronomis maupun biologis termasuk anthropocentris.  Faktor geo-astronomis yang ekstrim sebagai penyebab kepunahan beberapa spesies secara global maupun pada wilayah tertentu, dan pernah terjadi di masa lampau misalnya adalah hujan meteor atau peristiwa extrem seperti letusan supervolcano. Faktor biologis, dapat berupa persaingan antar-spesies, merebaknya hama serta wabah penyakit.

 

Namun, akhir-akhir ini, khususnya semenjak era revolusi industri, manusia telah menjadi ancaman terbesar dan penyebab utama keterancaman kehati dan menjadi penyebab kepunahan dari banyak spesies. Manusia juga telah menjadi faktor utama penyebab perubahan signifikan pada bentang alam maupun beragam ekosistem di Bumi. Itu sebabnya, epoch atau periode geologis baru telah dicanangkan: Anthropocene (https://www.anthropocene.info/).

 

Minimnya kesadaran dan penghargaan terhadap kehati dan lingkungan dapat menyebabkan keruwetan hidup dan merebaknya bencana. Foto oleh Sunarto

 

Ancaman dari manusia terhadap kelestarian kehati terwujud dalam bermacam bentuk. Pada ekosistem terestrial, ancaman paling nyata dapat berupa hilangnya hutan yang umumnya berganti atau dikonversi menjadi perkebunan, pemukiman ataupun tipe penggunaan lahan lainnya untuk kebutuhan manusia. Hutan sebagai gudang utama kehati juga dapat terancam, terdegradasi maupun terfragmentasi. Pembalakan dan pembuatan infrastruktur linear seperti jalan yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian adalah penyebab utama degradasi dan fragmentasi hutan.

 

Baik pada ekosistem terestrial maupun laut, kehati sama-sama terancam oleh eksploitasi berlebih dan pencemaran. Di darat, eksploitasi berlebih khususnya dari perburuan yang didorong oleh permintaan pasar dan perdagangan telah mengejawantah menjadi fenomena  hutan sunyi atau hutan kosong, yang dalam kasus di Indonesia umumnya terjadi akibat perburuan berbaga jenis satwa, khususnya burung berkicau yang sangat marak (https://www-beta.kompas.id/baca/utama/2018/05/09/hutan-semakin-sepi-dari-satwa-liar/) dan defaunasi (https://science.sciencemag.org/content/345/6195/401) atau hilangnya sebagian besar fauna yang merupakan akumulasi dari kepunahan lokal beberapa spesies. Di laut, eksploitasi berlebih telah menyebabkan hancurnya mangrove dan terumbu karang dalam skala luas, serta runtuh atau terancamnya perikanan (https://www.pnas.org/content/113/18/4895).

 

Jejak dan tekanan dari manusia terhadap kehati dan alam berupa sampah dan limbah, telah menjangkau jauh ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi sekalipun. Foto oleh Sunarto

 

Semua bentuk ancaman terhadap kehati yang disebabkan oleh manusia berpangkal pada peningkatan jumlah penduduk serta peningkatan kebutuhan baik per kapita maupun secara total. Seperti kita ketahui dan alami, manusia tidak hanya meningkat dalam hal jumlah penduduk, namun juga mengalami peningkatan gaya hidup dan pola konsumsi seiring dengan “kemajuan zaman”.  Sebagai contoh, masyarakat perkotaan cenderung mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan masyarakat tradisional. Masyarakat di “negara maju” secara per kapita cenderung mengkonsumsi jauh lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara berkembang.  Dengan trend kemajuan ekonomi, setiap orang cenderung menuntut dan mengkonsumsi lebih dari generasi sebelumnya.

 

Semua itu telah memberikan tekanan yang makin berat dan menyebabkan keterancaman spesies dan kelestarian kehati serta krisis terkait lainnya seperti merebaknya konflik dengan satwa, meningkatnya resiko penyakit dan pandemi, perubahan iklim serta beragam bencana lingkungan lainnya.

 

Menuju Pemulihan

Manusia sebenarnya dapat dan perlu menjadi perawat alam dan kehati. Meskipun hal itu telah diperankan manusia pada skala tertentu, secara umum saat ini dapat dikatakan manusia masih cenderung sebagai perusak alam dan ekosistem. Ini tentu hal yang ironis. Namun, demikianlah kenyataannya.  Meski tergolong sebagai makhluk yang kecerdasannya melampaui banyak spesies lain, manusia ternyata telah terjebak dan saat ini gagal menjadi perawat, guardian ataupun khalifah alam.

 

Jika dibiarkan dan tidak segera disadari, trajektorinya sangat jelas: bencana besar terkait krisis kehati dan iklim sudah di depan mata. Korbannya bukan hanya manusia sendiri, tetapi juga kehidupan flora-fauna di planet Bumi.  Keberadaannya mereka yang memerlukan proses jutaan bahkan miliaran tahun, dapat lenyap akibat kekonyolan satu atau dua generasi manusia saja. Dalam skala waktu geologi, tak sampai sekejapan mata.

 

 

Kesadaran kolektif adalah kunci solusinya.  Sebagaimana diuraikan oleh Yuval Noah Harari dalam buku best-sellernya, Sapiens (https://www.ynharari.com/book/sapiens-2/), manusia sesungguhnya adalah problem solver. Ada begitu banyak permasalahan yang telah berhasil dipecahkan manusia. Mulai dari kelaparan, penyakit, peperangan, sebagian besar telah berhasil diatasi. Bahkan manusia juga telah berhasil mengembangkan beragam teknologi canggih yang dapat menghubungkan satu sama lain hingga nyaris tak berjarak. Manusia juga telah makin memahami beragam seluk-beluk kehati baik pada skala genetik, spesies maupun ekosistem. Bahkan, secara astronomis, manusia telah berhasil menjelajah ruang angkasa dan makin memahami beberapa planet lain.

 

Keberhasilan manusia mengatasi berbagai persoalan tersebut memberikan optimisme. Jika manusia secara kolektif menyadari kesalahan yang perlu segera dikoreksi, maka krisis yang terjadi saat ini kemungkinan besar dapat dibalik.

 

Ada beberapa perubahan dan tindakan mendesak diperlukan untuk membalik keadaan. Pertama, kita perlu menyadari dasar filosofi manusia sebagai perawat alam. Kesadaran ini merupakan hal yang fundamental, karena tanpa ekosistem yang baik, manusia juga tidak akan dapat menikmati kehidupan di Bumi. Semua hal yang kita lakukan perlu dipastikan kebermanfaatannya bagi kelangsungan ekosistem.

 

 

Kita perlu menciptakan sistem ekonomi dan sosial serta budaya yang dapat memberi hukuman atau disinsentif pada hal-hal yang sifatnya mengancam kelestarian kehati dan keberlangsungan ekosistem.  Sebaliknya, kegiatan dan hal-hal yang membantu merawat dan memperkokoh kehati dan sendi-sendi ekosistem, hendaknya mendapat insentif dan dorongan.

 

Tak harus menunggu para politisi untuk menyusun kebijakan atau orang lain untuk beraksi, kita masing-masing dapat memulai langkah nyata sambil mengajak orang terdekat di sekitar kita. Tak musti muluk-muluk, kita dapat mulai dari hal terkecil yang kita lakukan sehari-hari. Mulai dari bangun tidur, bebersih, makan, bepergian, bekerja, hingga kita menikmati waktu senggang; kita dapat pikirkan dan coba upayakan dampaknya yang lebih baik bagi alam dan keanekaragaman hayati. Jika itu terjadi, niscaya cepat atau lambat, kelestarian kehati akan lebih terjamin, dan pemulihan ekosistem akan terjadi.

About Author
Sunarto, PhD
Research Associate, Institute for Sustainable Earth and Resources, Universitas Indonesia

Terms and Conditions

  1. Contains only topics related to biodiversity and the environment
  2. Writing length 5,000-6,000 characters
  3. No plagiarism
  4. The article has never been published in the media and on other sites
  5. Include name, title, and organization
  6. Attach a photo of yourself and a brief biography
  7. Attach supporting photos (if any)
  8. Sending writings to [email protected]
  9. If it will be loaded, the admin will contact the author to inform the loading date

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *