Rangkong, Si Petani Hutan Yang Harus Dilindungi

Rangkong, Si Petani Hutan Yang Harus Dilindungi
10 Oktober 2020
1747

RANGKONG, SI PETANI HUTAN YANG HARUS DILINDUNGI

Oleh : Eka Yuliastuti

 

Indonesia sebagai negara megabiodiversity tentu saja menyimpan berbagai potensi dan keindahan yang dapat kita nikmati. Baik tumbuhan dan hewan, semua yang ada di alam memiliki peran, makna dan cerita tersendiri yang membuat kita tak pernah berhenti untuk merasa kagum. Keanekaragaman hayati Indonesia memang tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah bosan untuk untuk diceritakan walau kondisi alamnya kian memperihatinkan hari demi hari. Karena dimana ada keindahan akan selalu muncul ide-ide untuk selalu merusak. Kita sebagai seseorang yang sangat bergantung terhadap alam, tentu saja menjadi kewajiban kita untuk melindungi dan mencegah hal-hal buruk terjadi. Indonesia sebagai negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati tentu saja membuat kita bangga terhadap kenyataan ini. Namun, dari hal ini terselip tanggung jawab besar untuk menjaga kekayaan ini. Indonesia yang merupakan salah satu negara tropis membuat Indonesia memiliki kekayaan alam unik dan khas bahkan hal ini tidak dimiliki oleh negara lainnya. Salah satu keunikannya yaitu keanekaragaman jenis burung. Indonesia sebagai negara tropis menjadikan negara ini sebagai rumah yang nyaman bagi burung-burung seperti cendrawasih dan maleo yang menjadi hewan khas yang hidup di bagian timur Indonesia. Tak hanya itu, masih banyak spesies-spesies burung yang menjadi salah satu surga keindahan Indonesia salah satunya rangkong. Spesies ini memiliki keindahan yang terletak pada bagian paruhnya bahkan keindahannya memancing para peminat bahkan dari luar Indonesia.

 

Rangkong

Burung rangkong atau beberapa tempat menyebutnya enggang, kangkareng atau julang merupakan salah satu jenis burung khas Indonesia. Burung ini termasuk dalam famili Bucerotidae. Satwa unik ini tergolong dalam jenis burung endemik hutan tropis Asia dan Afrika. Dari 57 jenis spesies rangkong yang sudah ditemukan, sembilan diantaranya hidup di hutan Indonesia yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, serta empat jenis lainnya yang berada di Sumba, Sulawesi dan Papua. Mengutip dari halaman Mongabay Indonesia, disebutkan bahwa 13 jenis Rangkong yang tersebar di Indonesia ada 3 jenis yang merupakan endemik Indonesia yaitu 2 jenis di Sulawesi; julang sulawesi (Rythticeros cassidix) dan kangkareng sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus); serta 1 jenis di Pulau Sumba yakni julang sumba (Ryhticeros everetti). Rangkong memiliki keunikan yang dapat dilihat dari suaranya. Seperti pada jenis rangkong gading, salah satu ciri khas yang tidak dimiliki oleh jenis lainnya adalah suaranya yang keras menyerupai suara tertawa gila (maniacal laugh) yang kadang membuat takut dan sedikit mengerikan saat mendengarkannya di hutan. Karena suara itu sendiri ditujukan untuk menarik perhatian individu lain dan untuk menunjukkan kemampuan fisiknya.

Rangkong Badak (Buceros rhinoceros). Foto: Purnama Esatria Nasri

 

Hutan primer dan sekunder menjadi habitat dari berbagai spesies rangkong yang ada di Indonesia. Bagi para peneliti dan peminat burung, tentu saja menjadi suatu keberuntungan jika bisa melihat keberadaan rangkong langsung di alam dan mengabadikannya. Karena hal ini adalah suatu kesempatan yang cukup langka jika mengingat habitat rangkong hanya hidup di hutan primer dan sekunder dengan ketinggian 1500 mdpl. Tumbuhan-tumbuhan dalam hutan tropis memiliki berbagai pola pembuahan seperti semi annual, annual, dan supra-annual sehingga sebagian pohon dapat berbuah bersamaan dan sebagian lain secara musiman. Hal ini sangat penting bagi rangkong yang merupakan pemakan buah karena pola tersebut dapat mempengaruhi kepadatan populasinya. Selain itu, umumnya spesies rangkong lebih menyukai daerah hutan yang jauh dari manusia. Semua jenis rangkong di Asia bersarang pada lubang pohon yang merupakan hasil pembusukan dari proses yang cukup lama. Meski berukuran tubuh besar dengan paruh yang meruncing, Rangkong tidak dapat membuat lubang sarang sendiri, melainkan hanya mengandalkan lubang alami yang sudah tersedia. Apabila lubang tersebut sudah sesuai, maka betina akan masuk ke dalam lubang dan memulai proses berbiaknya. Lubang pintu masuk ke sarang akan ditutup dengan tanah dan lumpur dengan menyisakan lubang kecil yang cukup untuk paruh betina untuk mengambil makanan yang nantinya akan di antar oleh rangkong jantan. Betina akan keluar sebelum anakan keluar dari sarang, anakan akan tetap berada di dalam sarang dan burung betina akan ikut andil menghantarkan makanan sampai anakan tersebut siap terbang. Namun, untuk mendapatkan lubang sebagai sarang tidaklah mudah bagi rangkong, karena ia harus berkompetisi dengan lebah, ular dan tupai sebagai competitor alami. Sebagian besar jenis rangkong menghabiskan waktunya di atas pohon karena rangkong termasuk jenis hewan arboreal. Namun, ada spesies rangkong yang juga bisa hidup di tanah namun spesies ini belum pernah ditemukan dan dijumpai di Kawasan Asia.

 

Berdasarkan tempat dijumpainya, spesies rangkong memiliki nama yang berbeda. Seperti spesies rangkong gading, di Kalimantan, rangkong gading dikenal sebagai tajay, batu ulu atau tajak. Sedangkan di Sumatera, masyarakat Gayo mengenal rangkong gading sebagai reje bujang. Rangkong gading memiliki nilai budaya yang sangat penting bagi suku-suku asli di Kalimantan dan sebagian suku-suku asli di Sumatera. Rangkong gading dipakai sebagai lambang provinsi Kalimantan Barat. Rangkong secara umum dianggap sebagai unsur kosmos di pohon kehidupan dan berperan sebagai “pyschopomp” atau kendaraan yang mengantar arwah dan persembahan ke seluruh penjuru alam. Trofi dari bulu-bulu burung rangkong gading sering dipakai untuk dekorasi, selain itu tari-tarian adat Dayak di Kalimantan menirukan cara burung ini terbang di alam yang menggambarkan kedekatan manusia dengan alam. Suku Punan mempercayai bahwa rangkong rading menjaga perbatasan antara dunia hidup dan mati. Aksesoris gading juga menjadi favorit sebagai hiasan kepala bagi ksatria Dayak. Nilai spiritual ini juga dituangkan dalam kerajinan-kerajinan gading dan bulu ekor yang dipakai dalam upacara adat dan tarian tradisional suku-suku Dayak pada umumnya. Strategi untuk mengurangi konflik antara tradisi dan konservasi pernah dilakukan WCS Indonesia Program dengan mengumpulkan bulu ekor yang meluruh (molting) dari beberapa kebun binatang Amerika dan Eropa, yang kemudian ditandai dengan tinta khusus dan dikirimkan ke kelompok masyarakat Dayak di Kutai Barat.

 

Ancaman Terhadap Kehidupan Rangkong

Keindahan dan keunikan yang dimiliki oleh rangkong, tentu saja mengundang ketertarikan sendiri bagi para peminat burung. Namun, tak jarang ketertarikan ini berujung dengan membuat kehidupan spesies unik ini terancam. Berbagai macam faktor yang mengancam kehidupan rangkong salah satunya yaitu kerusakan habitat. Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan yang dapat mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya salah satunya habitat dari rangkong. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab meningkatnya laju deforestasi yang menyebabkan berkurangnya habitat dari rangkong. Selain itu, kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh baik industri maupun pemerintah seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi yang membuat laju kerusakan hutan semakin tinggi.

 

Selain kerusakan hutan yang merupakan habitat asli rangkong, kegiatan deforestasi juga berdampak terhadap meningkatnya perburuan terhadap satwa liar seiring dengan meningkatnya akses masuk ke dalam hutan. Jika melihat kembali kepada sejarah, perburuan spesies rangkong telah terjadi sejak zaman dahulu dimana hasil perburuannya banyak diekspor ke Tiongkok sejak Dinasti Ming untuk dijadikan hiasan para bangsawan dan dari semenjak itu, dimulai pula perdagangan dari Tiongkok ke pulau Kalimantan. Tak hanya dari luar, ancaman terhadap kehidupan rangkong juga berasal dari masyarakat Indonesia. Seperti banyak ditemukan di pulau Kalimantan, oleh masyarakat suku Dayak, di mana bulu ekor Rangkong gading digunakan sebagai simbol keberanian dalam ritual ngayau untuk suku Kayan, Kenyah dan Kelamantan dan gadingnya kerap digunakan sebagai anting bagi para tetua suku Dayak yang hidup di sisi timur pulau Kalimantan. Namun informasi terperinci mengenai perburuan dan perdagangan rangkong gading tidak banyak diketahui. Selain itu, juga ditemukan fakta bahwa di Thailand, spesies rangkong lainnya yaitu jenis kangkareng perut putih dijadikan souvenir sedangkan di Myanmar biasa dijadikan sebagai hewan peliharaan. Hal ini tentu saja menjadi hal yang sangat miris jika kita mengingat status keberadaan rangkong saat ini. Tingginya permintaan dan keuntungan ekonomi dari perburuan rangkong mendorong masyarakat untuk masuk ke hutan dan melakukan pemburuan. Dalam perjalanannya, masyarakat yang masuk ke hutan tidak hanya berburu rangkong gading, tetapi juga memburu semua hewan yang memiliki nilai jual, seperti harimau, badak, trenggiling maupun gajah.

 

Rangkong merupakan satwa arboreal yang umumnya hanya hidup di atas kanopi dan pepohonan tinggi di hutan primer. Hal ini berarti para pemburu melakukan aktivitas perburuan di kawasan hutan primer atau di kawasan yang masih memiliki pohon tinggi. Beberapa kantong habitat yang menjadi sasaran perburuan antara lain Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Gunung Palung dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Namun, dari informasi yang terkumpul ada juga kantong habitat yang berada di luar kawasan konservasi, seperti di konsesi HPH dan KPH.

 

Perdagangan ilegal satwa liar merupakan salah satu kejahatan terhadap satwa liar yang memiliki nilai perdagangan tinggi. Dewasa ini, spesies rangkong seperti rangkong gading telah menjadi salah satu spesies primadona yang menjadi target utama para pelaku kejahatan perdagangan ilegal satwa liar. Rangkong gading banyak diburu untuk diperdagangkan, baik secara lokal maupun internasional. Salah satu negara tujuan utama penyelundupan/perdagangan ilegal paruh rangkong gading adalah Tiongkok, mengingat di negara tersebut paruh rangkong gading sangat diminati untuk dijadikan hiasan. Di Tiongkok, harga jual paruh rangkong gading bisa mencapai lima kali lipat harga jual gading gajah, hal ini disebabkan karakteristik paruh yang lebih lunak, sehingga mudah diolah untuk membentuk hiasan/ornamen yang lebih rumit dibandingkan dengan menggunakan gading gajah. Di Sumatera, lokasi-lokasi yang umum dijadikan tempat pengepul rangkong gading dan satwa lainnya adalah Medan, Riau, Palembang, dan Lampung, sedangkan di Kalimantan lokasi pengepul ditemukan di wilayah Kalimantan Barat, seperti di Ketapang, Sintang, Melawai, Putusibau, dan Kalimantan Timur (Samarinda). Tindakan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah belum mampu memberikan efek jera. Pada beberapa tahun terakhir penyelundupan spesimen dari dan ke Indonesia melalui bandar udara internasional di Indonesia telah berhasil digagalkan. Setidaknya 25 kasus penyelundupan telah berhasil digagalkan dalam kurun waktu 2011 hingga 2016 dengan jumlah paruh yang disita mencapai 1398 buah (belum termasuk paruh yang sudah diolah).

 

Konservasi Rangkong

Sejalan dengan semakin tingginya kerusakan yang menimpa habitat populasi rangkong, maka perlu dilakukan tindakan konservasi untuk melindungi keberadaan spesies ini. Sejak tahun 1988 rangkong gading dimasukkan ke dalam daftar terancam (Threatened) dari Red List yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Selama 24 tahun status ini tidak mengalami perubahan, namun di tahun 2015, seiring dengan meningkatnya perburuan besar-besaran untuk diambil paruhnya, status rangkong gading berubah dua tingkat menjadi kritis (Critically Endangered), yang merupakan satu langkah lagi menuju kepunahan jika tidak dilakukan tindakan konservasi dengan segera. Perdagangan paruh rangkong gading sudah terjadi semenjak abad ke-14. Rangkong gading telah dimasukkan ke dalam daftar Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Rangkong gading adalah spesies rangkong yang memiliki status paling kritis dari jenis lainnya. Namun, 12 jenis spesies lainnya juga termasuk spesies yang dilindungi secara penuh berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, sehingga menjadikan semua spesies Rangkong tidak boleh diburu, diperjualbelikan maupun dipelihara tanpa izin.

 

Hubungan Rangkong dan Hutan

Semua jenis rangkong di Asia merupakan pemakan beragam buah (Frugivorous) dan hewan-hewan kecil yang proporsinya dapat disesuaikan pada musim berbiak. Rangkong gading adalah pemakan utama buah ara/ficus. Di Sumatera diperkirakan 98% pakannya berupa buah ara/ficus, sedangkan di Kalimantan spesies ini tercatat memakan buah lain dalam porsi yang sangat kecil. Buah ara mengandung gula, lemak, protein, dan kaya serat. Selain itu juga mengandung kalsium yang tinggi dibandingkan jenis buah lainnya di hutan tropis Asia, sehingga sangat bermanfaat untuk pembentukan cangkang telur, tulang, perkembangan asam nukleat, dan metabolisme.

Julang Emas (Rhyticeros undulates). Foto: Purnama Esatria Nasri

 

Rangkong adalah Si Petani Hutan yang memberikan jasa ekologis yang sangat besar. Julukan ini diberikan bukan tanpa sebab. Rangkong dan jenis Bucerotidae lainnya memegang peranan penting dalam ekologi hutan sebagai pemencar biji yang baik. Rangkong dapat menyebarkan berbagai macam jenis buah dan biji jauh dari pohon induknya karena daerah jelajah terbangnya yang luas. Penyebaran biji ini efektif karena enggang hanya mencerna daging buah dan mengeluarkan/ membuang bijinya. Biji tersebut tersimpan cukup lama sebelum dikeluarkan sehingga meningkatkan kemungkinan biji untuk tersebar luas seiring dengan aktivitas enggang di daerah jelajahnya. Rangkong dikenal sebagai agen penting untuk regenerasi hutan secara alami. Burung rangkong selalu mengkonsumsi buah yang sudah masak sambil menjelajah dalam kecepatan tinggi tanpa menjatuhkan bijinya. Biji yang telah melewati saluran pencernaannya mempunyai tingkat kesuksesan germinasi yang tinggi, karena bij-biji tersebut akan dijatuhkan pada tempat-tempat yang jauh dari pohon induknya seperti pada pohon sarang. Biji yang ditelannya juga jarang sekali rusak, maka dari itu penting sekali untuk mempertahankan biodiversitas tumbuhan hutan tropis.

 

Kemampuan rangkong sebagai Petani Hutan tentu saja menjadi sebuah hal yang luar biasa yang patut kita syukuri Bersama. Jika satu rangkong dapat memencarkan satu biji setiap hari, maka aka nada minimal 365 biji per tahun yang akan tersebar di hutan. Bayangkan saja, seberapa luas hutan hutan yang akan bergenerasi jika semua populasi rangkong masih terjaga di alam dan spesies ini masih menjalankan peranannya sebagai Petani Hutan. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat menjadi ancaman bagi kehidupan rangkong seperti perburuan, pembalakan liar, deforestasi dan pembakaran hutan, memelihara, eksploitasi dan perdagangan illegal harus menjadi fokus utama yang harus selalu kita waspadai dan berusaha dengan maksimal untuk mencegahnya demi keselamatan habitat dan keberadaan rangkong.

Terima Kasih

Salam Lestari!!!

Tentang Penulis
Eka Yuliastuti
Biologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel
Terkait
Tidak ada artikel yang ditemukan
2021-04-22
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *