Menyulap ‘racun’ menjadi makanan dengan kearifan lokal

Pangan Lokal
Menyulap ‘racun’ menjadi makanan dengan kearifan lokal
15 Januari 2024
195

Tanaman Pakis Haji (Cycas rumphii Miq.) biasanya ditanam dipekarangan rumah karena rupanya yang cantik. Selain itu, pucuk tanaman ini pun dapat diolah menjadi sayur yang lezat. Akan tetapi, biji dari tanaman ini mengandung mengandung senyawa kimia yang disebut BMAA yang dapat menyebabkan kerusakan saraf juga senyawa sikasin yang merupakan glikosida yang dapat dipecah menjadi senyawa beracun, termasuk metanol dan asam sianida.

Buah pakis haji yang beracun namun dpaat diolah menjadi makanan

Tanaman ini tersebar di Indonesia dari pulau Jawa, Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua. Di Nusa Tenggara sendiri, khususnya di Pulau Timor, tanaman ini disebut dengan kata Petah dengan bahasa Dawan. Pakis Haji tumbuh liar dan tersebar di hutan, lereng bukit dan seringkali banyak ditemukan di area dekat mata air. Karena daunnya menyerupai tanaman Palem, masyarakat pulau Timor yang beragama katolik seringkali memanfaatkan daunnya dalm perayaan Minggu Palem. Selain itu, sejak dulu kala secara turun temurun masyarakat suku dawan mengkonsumsi bijinya. Biasanya biji pakis haji dikonsumsi dengan cara dicampur dengan jagung sebagai condiment atau diolah menyerupai kudapan laku tobe. 

Akan tetapi sebelum akhirnya tiba di piring, biji pakis haji melalui proses pengolahan panjang. Ketika buah pakis haji telah mencapai ukuran dan kondisi sudah cukup matang (tidak terlalu muda), buah pakis haji akan dipetik. Proses selanjutnya adalah mengeluarkan isi biji dari kulit buah. Biji inilah yang disebut beracun. Setelah terkumpul, biji pakis haji kemudian dicuci dan direndam semalaman. Ketika pagi, air rendaman tersebut harus dibuang dan diganti dengan air baru kemudian direndam lagi semalaman.

Biasa disebut dengan petah, ini merupakan daging biji pakis haji yang siap diolah.

Setelah direndam selama dua malam, biji pakis haji harus dijemur hingga benar-benar kering. Proses penjemuran biasa memakan waktu nyaris 2 hari. setelah kering, langkah selanjutnya adalah mengulang kembali proses awal, yakni merendam selama dua malam dengan catatan air hasil rendaman harus diganti setiap satu malam. Setelahnya, biji pakis haji perlu dijemur lagi sebelum benar-benar dapat dikonsumsi. Hasil pengeringan buah pakis haji menyerupai gaplek.

Pembuatan Kudapan Laku Tobe

Dalam bahasa dawan, Laku adalah kata yang biasa digunakan merujuk pada umbi-umbian. Laku Loli merujuk pada ubi manis dan Laku Hau merujuk pada singkong. Laku Tobe sendiri adalah sebutan untuk olahan dari berbagai jenis ubi yang dikeringkan kemudian dihaluskan menjadi tepung.  Kata Tobe sendiri berarti penutup/penutup kepala. Disebut Laku Tobe karna pada proses memasaknya menggunakan cetakan berbentuk kerucut menyerupai penutup makanan yanga dibuat dari anyaman daun lontar/gewang. Hasil akhir olahan ini menyerupai tumpeng namun bedanya dibuat dengan menggunakan singkong/ubi.

Wujud biji pakis haji yang telah dikeringkan.

Cara pengolahannya adalah dengan menghaluskan biji pakis haji yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Cara menghaluskannya dapat dengan cara di hancurkan dengan batu titi (2 buah batu berbentuk lempengan besar), kemudian tepung yang telah jadi ditapis dan dipisahkan partikel-partikel yang sudah menyerupai tepung dengan yang masih berukuran cukup besar untuk ditumbuh kembali. Tepung pakis haji yang telah jadi kemudian dicampurkan dengan parutan kelapa dan gula merah (opsional) lalu dimasukkan ke cetakan (tobe) dan dikukus dengan mengggunakan periuk tanah hingga benar-benar matang.

Kudapan ini dapat dinikmati sebagai snack maupun sebagai pengganti nasi karena biji pakis haji pun mengandung karbohidrat. Kadar karbohidrat pada biji pakis haji mencapai 40-55%. Selain itu terdapat kandungan gizi berupa protein, serat, vitamin dan mineral. Selain itu karena pengolahannya dengan menggunakan sistem pengawetan (pengeringan) karena untuk menghilangkan kandungan racun. Akan tetapi proses ini memberikan keuntungan sebab Biji Pakis Haji yang kering dapat disimpan hingga jangka waktu satu tahun apabila dengan penyimpanan yang benar.

Petah yang dikukus (Pada gambar terlampir tidak menggunakan periuk tanah dan tobe)

Kearifan Lokal, Pakis Haji, Pangan Lokal
Tentang Penulis
Meryana Linome
Arsitektur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2024-01-17
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *