Kukang Jawa

Satwa
Kukang Jawa
13 Mei 2016
1132

            Javan Slow Loris (Nycticebus javanicus, E. Geoffroy, 1812) atau yang dikenal dengan nama lokal Kukang Jawa, muka, oces termasuk primata primitif tidak berekor dengan sub ordo Prosimii atau Strepsirrhini, famili Loridae dan jenis Nycticebus. Primata nokturnal ini memiliki ciri tubuh mata yang menonjol keluar, pada bagian mata terdapat garis berwarna coklat muda atau coklat tua mengelilingi mata yang membentuk pola “garpu” lalu menyatu membentuk garis panjang dari dahi hingga pangkal ekor, warna rambut tubuh berwarna coklat muda. Menurut Wirdateti et al., 2005 berat tubuh berkisar antara 300 hingga 1.500 gram dengan panjang tubuh berkisar 33 cm. Salah satu cara membedakan satwa arboreal ini dengan satwa lain yang aktif pada malam hari, yaitu apabila menyorotkan cahaya kebagian matanya  maka akan memantulkan cahaya berwarna oranye yang di refleksikan pada bagian tapetum. Kukang dapat melahirkan satu hingga dua anak setelah masa hamil berkisar 190 hari.
              Primata soliter ini merupakan satu-satunya primata di dunia yang memiliki racun ditubuhnya, racun tersebut terdapat di dalam gigi taringnya Kandungan racun tersebut merupakan golongan polipeptida yang di produksi oleh kelenjar brachial di lengannya (Ballenger, 2000 dalam Winarti, 2003) racun tersebut digunakan untuk bertahan dari serangan predator. Menurut Wiens (2002) Kukang terlihat mengkonsumsi sari buah, getah kayu, nektar, buah-buahan dan pakan asal hewan (serangga, kadal pohon, telur burung). Tetapi satwa ini lebih dominan mengkosumsi sari buah atau buah dan nektar. Menurut Pambudi (2008) menyatakan bahwa satwa quadropedal (bergerak dengan  empat anggota gerak) ini banyak menggunakan pohon kaliandra (Caliandra calothrysus) sebagai pohon pakan dan mencari pakan di sekitar pohon tersebut.
              Satwa ini tidur pada siang hari di percabangan pohon atau  rumpun bambu namun tidak membuat sarang, tidur dengan posisi melingkar dengan kepala tersembunyi di antara kedua kakinya. Habitat satwa ini berada di Hutan hujan tropis, hutan primer, hutan sekunder serta hutan bambu (Supriatna, 2000). Perusakkan habitat di pulau Jawa dan maraknya perdagangan satwa ini sebagai hewan peliharaan menyebabkan menurunkan jumlah populasinya dialam sehingga mengakibatkan status konservasi saat ini menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) termasuk kategori spesies terancam punah (endangered) dan termasuk kedalam Appendix I (CITES).

Tentang Penulis
Enggar Oktaviyanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2016-05-13
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *