Kematian Dukun

Activity, Climate Change, Medicinal Plants
Kematian Dukun
7 May 2024
502
[wp_ulike button_type=”text” wrapper_class=”like-front”]

Seorang dukun sedang merapal jampi, sambil melihat catatan pada gulungan kertas yang menguning; sebuah sastra lisan yang diwariskan turun-temurun. Sementara pasien memegang gusi dan berharap sakit giginya hilang dengan satu kali tiupan dan rapalan jampi-jampi.

Namun, eksistensi seorang dukun sudah kalah dengan jarum suntik dan pil. Bagaimana praktek pengobatan tradisional perlahan menghilang, bahkan di dalam dusun yang sepi; orang rela membayar ongkos lebih ke kota hanya untuk mengobati sakit gigi. Dengan demikian, praktek pengobatan tradisional perlahan akan mati, dan dukun menguburkan jampi. Bagaimana seorang dukun melahirkan jampi-jampi? Setiap jampi yang terucap pada bibirnya menyebut; nama-nama tumbuhan sebagai perantara. Sehingga ketika bertemu dengan dukun menjadi pengalaman menarik, seperti bertemu dengan seorang penyair dengan kemampuan sihirnya. Bim salabim.

Tapi kita tidak terus terang membayangkan itu sebuah sihir, perantara pengobatannya jelas. Lalu, penyair masa kini pun kalah. Dengan teks yang jelas, bukan lahir dari igauan. Permasalahan yang disampaikan seorang sastrawan dalam karya sastra, beranjak dari kenyataan yang terjadi di lingkungan tempatnya berada. Tidak terkecuali seorang dukun. Sebagai sebuah genre sastra lisan yang eksis sebagai sebuah jampi ini, teksnya bergantung dengan unsur-unsur ekologi yang terdapat dalam alam semesta.

Segelas air putih, daun kumis kucing, dan sepelintir jampi yang terucap tidak jelas; sakit gigiku lenyap. Sebuah pengalaman di dusun, jauh dari bidan bahkan puskesmas.

Dalam sebuah acara bertajuk “Sarasehan Kesenian 1984” di Solo, 28-29 Oktober. Arief Budiman dan Ariel Heryanto mencetuskan sebuah pemikiran tentang “Sastra Kontekstual” yang kemudian menimbulkan beragam tanggapan. Meraka mengusung pikiran sastra yang lebih terlibat, lebih kontekstual, terkait situasi dan lingkungan masyarakat Indonesia.

Gerakan sastra kontekstual ini memiliki tujuan ingin melebarkan jangkauan sastra hingga ke daerah-daerah, yang selama ini daerah kesusasteraan yang baru tertutup oleh bayang-bayang sastra kelas menengah kota, mereka yang menguasai dunia universal. Gagasan sastra kontekstual ini agar sastra yang ada di daerah-daerah, lebih terdengar suara dan keberadaannya, dan melahirkan sastrawan muda yang menciptakan karya-karya sastra yang didasarkan kenyataan sosial yang mereka alami sehari-hari, dengan bahasa yang mereka pergunakan. Karena menurut Arief Budiman, dengan cara seperti ini, mereka akan menjadi diri sendiri dalam menghasilkan karya sastra.

Sebelumnya juga Arief Budiman dan Goenawan Mohamad memperkenalkan Kritik Ganzheit merupakan kritik seni (sastra) lewat esainya “Metode Ganzheit Dalam Kritik Seni” yang dimuat majalah Horison No.4 Th.III, April 1968. Terjadi perdebatan dan polemik kritik sastra antara golongan pengikut kritik sastra Ganzheit dan pengikut kritik sastra akademik (yang kemudian menamakan dirinya kritikus Kritik Sastra Aliran Rawamangun). Di antara tokoh kritik sastra Ganzheit itu sebagaimana dikemukakan di atas adalah Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, sedangkan kritikus aliran Rawamangun di antaranya ialah M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, M. Saleh Saad, dan Boen Sri Oemarjati. Dari mereka itu yang lebih-lebih bersemangat adalah M.S. Hutagalung.

Sasaran dari gerakan ini yang istilahnya Mannake Budiman ialah melempar bom, bukan menembak menggunakan sniper yang ditujukan pada satu orang, tapi melempar bom yang bisa kena semua. Memang tujuannya bukan untuk mengajak semua orang ramai-ramai menulis sastra kontekstual, tetapi mengingatkan bahwa ada yang tidak beres. Gerakan sastra kontekstual bisa dikatakan sukses menganggu kemapanan, seperti batu yang dilempar ke air yang tenang—yang menciptakan lingkaran yang kecil dan membesar-besar—begitupun media yang memberitakan.

Mereka mendapatkan tanggapan dari sejumlah budayawan-sastrawan, seperti Umar Kayam, Afrizal Malna, dan Abdul Hadi WM. Di antara tanggapan, tak sedikit yang menuduh Arief dan Ariel berupaya membangkitkan kembali pemikiran kesusastraan gaya Lekra—tuduhan yang ditepis keduanya. Uniknya, Arief Budiman adalah salah satu peneken Manifes Kebudayaan, sebuah pernyataan para sastrawan penentang Lekra, pada 17 Agustus 1963.

Perdebatan ini disebut dengan “sastra kontekstual” versus “sastra universal”. Artikel-artikel pemicu perdebatan dan tanggapan-tanggapannya kemudian disusun oleh Ariel Heryanto menjadi buku berjudul Perdebatan Sastra Kontekstual.

Bahkan sastra lisan (dukun) dalam hal ini sebagai media pengobatan, yang dalam jampinya menggunakan diksi yang beranjak dari lingkungan sekitarnya. Lalu, apakah hari ini sastra kontekstual dapat dikomsumsi dengan baik? Mengingat bahwa hari ini, penulis menuliskan apa yang jauh dari jangkauannya. Seperti kata Arief Budiman dalam artikel yang dinukil dari buku Perdebatan Sastra Kontekstual (CV Rajawali, 1985). Menyebut kebanyakan karya sastra Indonesia tak berakar pada buminya; sastra kelas menengah, yang lebih suka mengisahkan awan-awan yang mengawang dan riak-riak danau daripada kenyataan ruang dan waktu.

dukun, jampi, penyair, sastra
About Author
Mahesa Putra
Individu

Leave a Reply

2024-05-07
Difference:

Leave a Reply