Hilangnya Peran Sungai Musi: Bagi Masyarakat Palembang

Activity
Hilangnya Peran Sungai Musi: Bagi Masyarakat Palembang
27 December 2023
297

Sungai Musi Mulai Ditinggalkan

Kita tahu peran Sungai Musi yang begitu besar bagi masyarakat di sepanjangnya yang membentang 705km membelah kota Palembang menjadi dua Ulu dan Ilir, sejak zaman Kedatuaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang yang menjadi tulang punggung: baik sebagai jalur perdagangan, pemerintahan, penyebaran agama, pusat pengajaran maupun sebagai tempat tinggal, tempat mencuci juga mandi, sebagai sumber pangan yang menyediakan ikan baik untuk komsumsi keluarga maupun untuk jual beli.

Pilihan Sungai Musi ini karena dikenal sebagai Jalur Rempah [Indonesia] atau Jalur Sutra Maritim [China] diyakini sejumlah arkeolog dikarenakan Sungai Musi bermuara di Selat Bangka. Selat Bangka adalah pertemuan Selat Malaka [Barat], Laut China Selatan [Utara], dan Laut Jawa [Timur], yang merupakan jalur perdagangan sangat ramai di masa lalu.

Juga dikutip dari Bambang Budi Utomo [1954-2022], arkeolog lahan basah, Sungai Musi yang kini masuk wilayah pemerintahan Sumatera Selatan, juga terhubung dengan Bukit Barisan, dataran tinggi yang membentang dari selatan hingga utara Pulau Sumatera. Bukit Barisan kaya dengan Flora, Fauna, serta Emas.

Di masa Sriwijaya, Sungai Musi yang memiliki delapan anak sungai besar; Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Rawas, Sungai Rupit, dan Sungai Batanghari Leko, merupakan jalur transportasi berbagai komoditas rempah dan emas.

Selama 30 tahun terakhir, sebagian besar ekosistem Sungai Musi mengalami kerusakan oleh aktivitas perkebunan monokultur, penebangan hutan, pertambangan mineral, pembangunan perumahan, perkantoran, dan industri. Juga pembangunan jalan tol yang turut membelah lahan basah sepanjang 116,6 kilometer Jalan Tol Kayuagung-Palembang-Betung.

Tapi, sekarang Sungai Musi kehilangan peran yang membuat masyarakat Palembang mulai meninggalkannya. Tidak peduli lagi dengan aktivitas mencuci dan mandi, karena sudah tersedia PDAM yang mengalirkan 24 jam ke perumahan-perumahan hingga ke pelosok perbatasan antara kota dan kabupaten sudah dialiri oleh PDAM. Masyarakat tidak akan ketakutan, walaupun sampah mencemari Sungai Musi, aliran Sungai Musi dipenuhi limbah rumah tangga maupun limbah dari perusahaan. Bukan hal yang kami pedulikan lagi. Sebab PDAM sudah menyulap semua itu menjadi bening, kami tidak perlu mandi lagi dengan sungai yang berwarna coklat susu.

Dari Pinggir Sungai Menuju Daratan [Rawa yang Ditimbun]

Pada masa pemerintahan Kesultanan Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II, tanah merupakan milik pemerintahan kesultanan. Orang yang bukan dari garis keturunan sultan boleh meminjamnya, sedangkan orang pendatang hanya boleh tinggal di pinggiran Sungai Musi menggunakan Rumah Rakit. Dengan catatan; membangunnya menghadap ke keraton atau berseberangan. Dengan kondisi seperti ini maka pendatang dari Eropa, Cina dan lainnya mendirikan rumahnya dipinggiran Sungai Musi menggunakan rumah rakit.

Aktivitas cuci dan memasak di atas rumah rakit masih menggunakan air Sungai Musi / Photo by: Mahesa Putra

Sejak izin pemukiman dicabut sebab dari peralihan masa pemerintahan dari Kesultanan Palembang menjadi kekuasaan Belanda 1821. Puncaknya pada awal abad 20, sewaktu Belanda menjadikan Palembang sebagai kota Gemeente [struktur administrasi yang otonom] untuk masterplan kota pada tahun 1929.  Belanda mulai menimbun sungai dan rawa untuk pembangunan infrastruktur di daratan, pembangunan jalan Jendral Sudirman, di area sekitar pasar 16 Ilir, Masjid Agung, juga membangun pemukiman untuk tempat mereka tinggal.

Sejak pembangunan perumahan di lahan rawa yang ditimbun, masyarakat mulai perlahan meninggalkan pinggiran Sungai Musi. Masyarakat dulunya yang hidup diatas rawa umumnya membangun rumah panggung, rumah yang arif terhadap lingkungan tanpa harus untuk menimbun rawa. Juga diikuti dengan pembangunan sarana olahraga, gedung BANK SUMSEL, gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota. Pembangunan yang ikut menyumbang penyusutan rawa sebanyak 86 hektare di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.

Pembangunan perumahan yang meningkat di lahan yang dulunya adalah rawa, membuat masyarakat berbondong-bondong untuk memiliki hunian di perumahan-perumahan yang dibangun pihak swasta maupun rumah susun yang dibangun pemerintah. Masyarakat luar daerah seperti Jambi, Pulau Jawa, hingga yang tinggal di Kabupaten Sumatera Selatan. Mulai merapat menuju kota, untuk berdagang di sejumlah yang mulai banyak berkembang terutama di wilayah Jakabaring yakni Pasar Induk, Pasar Retail, dan Pasar Ikan dan Pasar Buah. Juga berkerja sebagai pegawai sipil pemerintahan yang membuka penerimaan skala besar diiringi pembangunan gedung infrastruktur yang masif di pusat kota Palembang.

Sungai Musi sudah ditinggalkan oleh masyarakat, namun tidak pernah merasa kesepian. Sebab Sungai Musi hingga sekarang masih aktif sebagai lalu lintas kapal tongkang Batubara, diantara masyarakat yang meninggalkan sungai. Sungai Musi masih dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas antropogenik yang mengangkut hasil hutan seperti kayu, dan pertambangan mineral menggunakan kapal tongkang yang mampu mengangkat berton-ton dalam satu kali angkut, menuju Selat Bangka, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Pulau Jawa.

Perubahan Orientasi Alat Menangkap Ikan

Masyarakat sepanjang Sungai Musi dulunya melihat sungai dan rawa sebagai Supermarket yang menyediakan kebutuhan pangan, sandang, dan papan bagi penguasa dan masyarakat Sriwijaya. Walau Sungai Musi menyediakan banyak ikan, tetapi masyarakat yang tinggal di lahan basah menangkap ikan dengan cara yang arif terhadap lingkungan misalnya menggunakan alat tangkap seperti; [seruwo] yang berbentuk seperti sangkar menggunakan pemikat atau umpan agar ikan yang dijadikan target masuk kedalam, [tangkul] yang terbuat dari jaring yang membentuk persegi yang setiap sisinya dikaitkan pada bambu yang bersilang tegak lurus dan bambu sebagai gagangnya, di anak sungai pedalaman seperti di Sungai Kelekar masyarakatnya menggunakan [pelunauan] pondok dipinggiran sungai, karena ikan-ikan besar seperti ikan Gabus, ikan Toman dan ikan Baung menyukai tempat dingin. Ketika ikan masuk ke pelunauan—serampang sudah menunggu untuk menembus badan ikan yang seukuran betis orang dewasa, semakin besar ikannya besar pula serampang yang digunakan atau tombak yang memiliki tiga cabang terbuat dari besi dan gagangnya dari kayu atau bambu.

Sebelum adanya jalan darat, masyarakat menggunakan perahu sebagai transportasi air / Photo by: Mahesa Putra

Perubahan menangkap ikan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan dengan perubahan bentang alam, musim yang tidak menentu, banjir besar hingga kekeringan. Membuat sejumlah ikan yang dulunya mudah untuk ditangkap, menjadi sulit untuk ditangkap bahkan beberapa ikan seperti ikan Lais [Kriptopterus bicirrhis], ikan Tapah [Wallago attu] yang sudah jarang ditemukan. Ikan Belida [Chitala Lopis] yang sudah dilindungi karena populasinya sedikit. Padahal sejak dahulu masyarakat Palembang menggunakan ikan Belida sebagai pempek karena mempunyai rasa yang khas mulai dari daging, kulit dan tulangnya.

Berkurangnya populasi ikan air tawar di Sungai Musi dan lahan basah di Sumatera Selatan, membuat sejumlah masyarakat melakukan kegiatan penangkapan yang masif dengan cara melebung di rawang yang masih basah, menyetrum ikan, meracun dan memasang pukat di sepanjang anak sungai. Aktivitas ini membuat anakan ikan juga ikut tertangkap bahkan mati, tidak dapat dipungkiri kedepan masyarakat Sumatera Selatan akan terbiasa dengan ikan tambak budidaya seperti ikan nila, ikan lele dumbo, dan ikan mas. Ikan yang invasif sekaligus hama jika lepas di sungai dan rawa, namun ikan ini menjadi ikan favorit Gen-Z dapat dilihat produksi pada tahun 2021 mencapai 274.051 ton, dihimpun dari Badan Pusat Statistik [BPS] Sumatera Selatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Refrensi:

  1. Dudi Oskandar, “Catatan Sejarah Perjalanan Rumah Rakit Palembang, era Kesultanan, penjajahan Belanda Hingga Kemerdekaan,” RMOL SUMSEL, 2021. https://www.rmolsumsel.id/catatan-sejarah-perjalanan-rumah-rakit-palembang-era-kesultanan-penjajahan-belanda-hingga-kemerdekaan
  2. Taufik Wijaya dan Yusuf Bahtimi, “Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya,” Mongabay Indonesia, 2023. https://www.mongabay.co.id/2023/03/22/sungai-musi-yang-kehilangan-arsipnya/
  3. Mahesa Putra, “Rumah Rakit Media Komunikasi di Sungai Musi yang Mulai Tergerus,” BW KEHATI 2023, https://biodiversitywarriors.kehati.or.id/artikel/rumah-rakit-media-komunikasi-di-sungai-musi-yang-mulai-tergerus/
  4. Feny Maulia Agustin, IDN Times Sumsel, 2020. https://sumsel.idntimes.com/travel/journal/feny-agustin/menulusuri-peninggalan-belanda-di-palembang-kota-venesia-dari-timur
  5. https://sumsel.bps.go.id/indicator/56/685/1/total-produksi-perikanan-budidaya-.html

 

air, deep ekologi, ekologi, ekosentrisme, masyarakat, palembang, sosial, sumsel, sungai musi
About Author
Mahesa Putra
Individu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2024-03-24
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *