Krisis Ekologi dan ”Bla Bla Bla” Elite

Aktivitas, Kehutanan, Perubahan Iklim
Krisis Ekologi dan ”Bla Bla Bla” Elite
31 January 2025
7
0

Ilustrasi Kompas/Cahyo Heryunanto

Elite pemerintahan sering menyampaikan janji-janji kosong, meminjam istilah Greta Thunberg, sebagai ”bla bla bla” saat mereka berbicara tentang iklim dan ekologi. 

===========================================================================================

We didn’t even realize we were destroying everything.”

Anda yang menonton film The Day After Tomorrow (2004) mungkin masih ingat kalimat pendek Wakil Presiden Raymond Becker (diperankan Kenneth Welsh) setelah luluh lantaknya New York akibat superbadai dan gelombang laut dahsyat. Kalimat itu menjadi inti cerita: kita tak menyadari telah merusak segalanya hingga bencana menghancurkan kita.

Dikisahkan, berkali-kali ahli memperingatkan agar manusia menghentikan kerusakan atas planet ini. Namun, peringatan itu diabaikan, termasuk oleh Becker yang merepresentasikan Pemerintah AS. ”Tidak, perekonomian kita sama rapuhnya dengan lingkungan,” ucap Becker dengan pongah, memilih memprioritaskan ekonomi daripada lingkungan. Kesadaran datang saat bencana tiba—terlambat.

Dalam kehidupan nyata, sikap abai terhadap perubahan iklim, kerusakan lingkungan, deforestasi, dan kehilangan biodiversitas, seperti dalam film tersebut bukan hal asing.

Frasa-frasa seperti ”pembangunan berkelanjutan”, ”transisi hijau”, atau ”mitigasi perubahan iklim” sering muncul dalam pidato politik dan dokumen pembangunan nasional. Namun, kebijakan konkret yang signifikan sering tidak mengikuti. Bahkan, kebijakan yang diambil kerap paradoks dengan prinsip keberlanjutan itu sendiri.

Menjelang pergantian tahun 2024 ke 2025, publik dikejutkan oleh dua pernyataan pejabat tinggi terkait pengelolaan sumber daya kehutanan. Pada 30 Desember 2024, dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia perlu menambah penanaman kelapa sawit tanpa takut dinilai menyebabkan deforestasi. Menurut dia, anggapan bahwa sawit merusak hutan keliru karena sawit juga menyerap karbon dioksida.

Sehari berselang, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan bahwa 20 juta hektar lahan cadangan hutan akan dimanfaatkan untuk ketahanan pangan, termasuk mendukung proyek food estate hingga tingkat desa.

Pernyataan-pernyataan tersebut kontradiktif dengan poin kedelapan Asta Cita, visi Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran, yang menekankan ”penyelarasan kehidupan harmonis dengan lingkungan alam dan budaya”. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 juga menyatakan pentingnya pengelolaan hutan berkelanjutan serta pencegahan deforestasi untuk mencapai target pengurangan emisi dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Namun, terlepas dari kontradiksi tersebut, pernyataan dua pejabat tinggi tersebut seakan menyembunyikan kenyataan betapa mendalamnya krisis kehutanan Indonesia. Deforestasi terus berlanjut, mengakibatkan kerusakan besar-besaran pada hutan, kehilangan habitat biodiversitas, konflik lahan, dan ketimpangan ekonomi.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021), laju deforestasi pada 2000-2012 mencapai 1,1 juta hektar per tahun. Pada 2019-2020, laju ini dilaporkan turun menjadi 115.459 hektar. Meski demikian, Indonesia telah telanjur kehilangan 9,75 juta hektar tutupan hutan primer antara 2002-2022 (Forest Watch Indonesia, 2022).

Deforestasi disebabkan oleh ekspansi kelapa sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Sawit Watch mencatat bahwa pada 2014-2019, perluasan perkebunan sawit mencapai 500.000 hingga 1 juta hektar per tahun.

Pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang, dan infrastruktur mengurangi tutupan hutan tropis yang menjadi penyerap karbon alami. Perkebunan sawit menyerap CO2, tetapi kapasitasnya rendah, yaitu 3-10 ton CO2 per hektar per tahun, jauh di bawah hutan tropis yang menyerap 20-50 ton CO2 per hektar per tahun (FAO, 2020).

Pernyataan dua pejabat tinggi tersebut seakan menyembunyikan kenyataan betapa mendalamnya krisis kehutanan Indonesia.

Pada 2019, Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat deforestasi mencapai 1,1 miliar dollar AS per tahun (sekitar Rp 15 triliun). Kerugian itu mencakup hilangnya sumber daya hutan, emisi karbon, dan dampak biodiversitas. Kebakaran hutan akibat pembukaan lahan juga menimbulkan kerugian Rp 74 triliun, termasuk hilangnya produktivitas lahan, kerusakan kesehatan masyarakat, dan ekosistem.

Krisis kehutanan ini memengaruhi implementasi pembangunan berkelanjutan Indonesia. Laporan SDGs 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-78 dari 166 negara, dengan nilai 69,43, turun dari posisi ke-75 pada 2023.

Laporan tersebut menunjukkan stagnasi dalam indikator lingkungan, seperti kehidupan di laut, hutan, kota berkelanjutan, dan konsumsi pangan. Indonesia juga dinilai stagnan dalam pengurangan emisi CO2 serta perlindungan daratan dan perairan.

Desain politik pembangunan

Mengapa ini terjadi? Pembangunan ekonomi kerap mengorbankan hutan dan lingkungan. Ekologi menjadi prioritas terakhir, sering kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Desain politik pembangunan semacam ini diabdikan sekadar untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan cenderung mengabaikan dampak jangka panjang kerusakan lingkungan. Dampaknya bersifat kumulatif dan sulit diprediksi kapan akan terjadi. Para pengambil kebijakan lebih fokus pada manfaat jangka pendek yang langsung terlihat, seperti pertumbuhan ekonomi, demi mendukung populisme politik.

Situasi ini sering mendorong elite menyampaikan janji-janji kosong, meminjam istilah Greta Thunberg, aktivis iklim asal Swedia, sebagai ”bla bla bla” saat mereka berbicara tentang ekologi dan iklim. Komitmen iklim hanya menjadi pencitraan sementara deforestasi dan polusi terus berlanjut.

Namun, mengatasi krisis kehutanan sambil tetap memanfaatkan hutan untuk ekonomi bukan hal mustahil.

Untuk Ilustrasi Tulisan Krisis Iklim Diusianya yang ke-495, Jakarta belum mampu membereskan buruknya kualitas udara yang sering terjadi. Berdasar data kualitas udara IQAir pada pukul 11.00, Rabu (22/6/2022), nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) kota Jakarta adalah 163 atau masuk dalam kategori tidak sehat. Sementara kandungan partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil (PM2,5) sebesar 79 mikrogram per meter kubik. Sumber: Kompas/Totok Wijayanto

Langkah solusi

Berdasarkan studi Yayasan KEHATI dalam buku Memulihkan Keanekaragaman Hayati (Yayasan KEHATI, 2024), ada sembilan langkah untuk menyeimbangkan pelestarian dan pemanfaatan hutan. Pertama, menghentikan deforestasi dan konversi lahan. Kedua, menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan bersama masyarakat lokal melalui program perhutanan sosial dan sertifikasi berkelanjutan (Forest Stewardship Council).

Ketiga, mengalihkan fokus ekonomi ke hasil hutan non-kayu, seperti ekowisata, madu hutan, rotan, tanaman pangan lokal, dan tanaman obat. Keempat, rehabilitasi dan restorasi lahan hutan yang rusak. Kelima, meningkatkan transparansi data kehutanan dan penegakan hukum. Keenam, diversifikasi ekonomi di wilayah hutan dengan insentif ekonomi hijau.

Ketujuh, mendorong pendanaan inovatif dan kemitraan swasta untuk konservasi. Kedelapan, edukasi dan pemberdayaan komunitas lokal serta pengakuan hak masyarakat adat. Kesembilan, reformasi kebijakan dan tata ruang berbasis daya dukung lingkungan.

Langkah-langkah tersebut membutuhkan komitmen politik yang kuat dan keberanian untuk menempatkan kepentingan jangka panjang di atas kepentingan jangka pendek. Jika tidak, di masa depan, kita mungkin akan mengucapkan kalimat Becker di awal tulisan ini: ”We didn’t even realize we were destroying everything.”

 

Sumber artikel: https://www.kompas.id/artikel/krisis-ekologi-dan-bla-bla-bla-elite?utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_ios_traffic&utm_source=link

Ekologi Politik, Keanekaragaman hayati, perubahan iklim
Tentang Penulis
Muhamad Burhanudin
Manajer Kebijakan Lingkungan Hidup KEHATI Foundation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *