Gambut: Si Miskin Hara yang Kaya Manfaat

Flora, Kehutanan, Perubahan Iklim
Gambut: Si Miskin Hara yang Kaya Manfaat
2 Februari 2022
1305

Istilah gambut mungkin masih terdengar asing bagi sejumlah kalangan, khususnya bagi mereka yang tinggal tidak berdekatan dengan lahan tersebut. Padahal, jenis lahan ini sudah santer dibicarakan sejak tahun 1972-1987 saat Presiden Soeharto menetapkan Program Nasional Transmigrasi di Kalimantan dan Sumatra. Penamaan gambut sendiri berasal dari bahasa Banjar di Kalimantan Selatan dan mulai masuk dalam kosa kata Bahasa Indonesia pada tahun 1970-an.

 

Keberadaan lahan gambut di Indonesia diprediksi telah ditemukan lebih dari 300 tahun yang lalu saat para penjelajah menemukan sebaran lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan. Kedua pulau inilah yang hingga sekarang memiliki sebaran lahan gambut yang luas di Indonesia diikuti dengan pulau Papua.

 

Gambut berdasarkan Permentan No. 14 Tahun 2009 adalah tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi  lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Sedangkan berdasarkan PP No 71 tahun 2014 yang telah disempurnakan menjadi PP No 57 tahun 2016 mengartikan gambut sebagai material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada daerah rawa. Pada harkatnya lahan gambut adalah lahan basah (wetland) yang materi penyusunnya berupa bahan organik yang miskin hara dengan kondisi selalu tergenang.

 

Lahan gambut di Indonesia masuk dalam kategori gambut tropis yang terbentuk dari proses paludifikasi, dimana terjadi penebalan lapisan gambut akibat tumpukan material organik dalam kondisi tergenang air. Gambut dalam kategori ini umumnya mengandalkan sumber air dari curah hujan, luapan sungai atau pengaruh dari laut khususnya untuk gambut pantai dalam proses pembentukannya. Material organik yang menyusun terdiri dari sisa-sisa tumbuhan atau hutan jenis pohon kayu (tiang) yang terakumulasi dalam waktu yang cukup lama. Akibatnya, material organik berupa timbunan batang, cabang maupun akar dengan struktur yang masih terlihat utuh mudah dijumpai ketika lahan gambut digali.

 

Gambar 1. Struktur material organik yang masih utuh pada tanah gambut (Foto Almo Pradana/WRI Indonesia)

 

Jika dibandingkan dengan jenis tanah lainnya, tanah gambut memiliki karakteristik yang unik. Gambut mampu menyimpan cadangan air (water storage) hingga 850% dari bobot keringnya, namun ketika dikeringkan, ia tidak dapat kembali ke bentuk asal (irreversible drying) dan mudah amblas (subsidensi). Gambut juga memiliki berat isi  yang rendah sehingga tanah ini cenderung lembek dan daya menahan bebannya rendah. Lahan gambut juga menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar serta memiliki kandungan bahan organik yang tinggi namun cenderung tidak subur karena kandungan hara yang rendah. Mengingat sifat gambut yang unik tersebut, pemanfaatan dan pengelolaannya juga tidak bisa disamakan dengan jenis lahan pada umumnya. Tanaman yang dipilih haruslah jenis tanaman yang tidak menyebabkan gambut kering dalam proses persiapan lahan, serta harus mampu bertahan dikondisi gambut yang asam dan tergenang air.

 

Pemanfaatan lahan gambut sebenarnya sudah lama dilakukan oleh masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan Selatan sebelum tahun 1920. Mereka mengelola lahan gambut tipis di dekat tanggul sungai (petak lawau) untuk sawah tadah hujan. Dalam pengelolaannya, mereka menerapkan sistem ladang gilir balik (ladang berpindah) yang senantiasa menjaga keseimbangan alam dan mempertimbangkan siklus alami lingkungan, masyarakat akan berpindah dan mencari lahan produktif di tempat lain ketika lahan yang ditempati saat itu mulai tidak subur, namun tetap menghindari pemanfaatan dan pembukaan lahan pada area yang sudah ditetapkan sebagai zona lindung dan zona keramat. Pada prinsipnya, lahan yang ditinggalkan akan dibiarkan untuk menjadi hutan kembali dalam kurun waktu tertentu hingga sampai akhirnya mereka kembali ke area tersebut untuk dikelola lagi.

 

Dalam hal tata kelola air di lahan gambut, masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan menggunakan sistem handil atau membangun saluran drainase utama dan parit untuk membuang kelebihan air asam gambut, serta untuk saluran irigasi dan jalur transportasi. Umumnya saluran air tersebut dibuat dengan kedalaman tidak lebih dari 1 meter untuk mencegah pengeringan berlebih dan memperlambat subsidensi tanah. Mereka juga menambahkan tabat (pintu air) untuk mengatur air sesuai kondisi yang dibutuhkan. Dengan pengaturan tata kelola air seperti ini, masyarakat Banjar mampu menjaga produktivitas lahan gambut sampai dengan 20 tahun lamanya.

 

Namun sayangnya, semakin terbatasnya lahan mineral untuk dikelola serta anggapan yang salah bahwa gambut adalah lahan yang tidak berguna sehingga harus dialih fungsikan dan dikeringkan agar bisa produktif, menjadi penyebab degradasi lahan gambut di Indonesia. Sebagian besar hutan gambut yang asal mulanya adalah hutan kayu (tiang) ditebang secara berangsur menjadi hutan sekunder, hutan belukar, hutan tanaman industri, area perkebunan dan penggunaan lain untuk menopang kehidupan manusia. Memang betul kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut sudah berlangsung sejak lama oleh masyarakat pedalaman gambut. Namun, kegiatan yang dilakukan dalam skala kecil dan tetap memperhatikan kelestarian gambut sesuai warisan leluhurnya sehingga tidak berdampak buruk pada kerusakan lahan.

 

Seiring berjalannya waktu, alih fungsi dan pengeringan lahan gambut semakin masif dilakukan dalam skala luas terutama oleh perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit dan akasia. Saluran drainase dibuat dengan kedalaman >1m dan lebar bahkan ada yang mencapai >5m. Hal ini dilakukan agar tanaman jenis lahan kering (dryland species) dapat tumbuh dengan optimal dan tidak terendam.

 

Gambar 2. Alih Fungsi Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Teluk Bintuni, Papua Barat (Foto Alvi KGS Gemindo HKV untuk Pantau Gambut)

 

Alih fungsi lahan gambut yang diikuti dengan aktivitas pengeringan lahan menyebabkan gambut mudah terbakar, terutama pada saat musim kemarau. Gambut yang terbakar akan sulit untuk dipadamkan karena api menjalar pada pori-pori lapisan bawah tanah gambut (ground fire) sampai kedalaman tertentu tergantung sedalam mana gambut tersebut kering. Pemadaman yang dilakukan secara manual melalui alat pemadam api dan bantuan penyiraman air melalui udara (water boombing) oleh helikopter dinilai tidak mampu memadamkan secara menyeluruh api di bawah tanah gambut tersebut. Hanya hujan dengan intensitas tinggi yang dapat memadamkan api tersebut.

 

Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut tidak hanya menyebabkan terlepasnya simpanan karbon yang ada di area tersebut. Kebakaran gambut menyebabkan gas CO2, CO, NO2 dan gas rumah kaca lainnya terlepas ke atmosfer. Huijinen et al, 2016 dalam laporannya menyatakan bahwa tingkat emisi rata-rata yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan pada periode September – Oktober 2015 sebesar 11,3 Tg CO2 per hari. Level emisi ini diperkirakan melebihi tingkat emisi CO2 yang dihasilkan oleh seluruh bagian Uni Eropa pada periode yang sama. Selain mengakibatkan polusi udara di Indonesia dan negara-negara sekitar, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 lalu mengakibatkan kerugian ekonomi negara yang sangat besar. Analisis Bank Dunia menyebutkan bahwa total kerugian ekonomi saat bencana asap tersebut diperkirakan mencapai Rp 221 triliun atau US$ 16,1 miliar. Angka tersebut dua kali lipat dibandingkan dengan biaya reksonstruksi Provinsi Aceh pasca tsunami 2004 dan setara dengan 1,9 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

 

Gambar 3 Asap menyelimuti lahan gambut bekas terbakar di Rokan Hilir Riau (Foto Agiel Prakoso/Pantau Gambut)

 

Dalam rangka memperingati hari lahan basah dunia yang jatuh tepat pada tanggal 2 Februari setiap tahunnya, perlu konsistensi dalam memberikan informasi dan pemahaman kepada publik maupun pihak-pihak terkait yang mengelola gambut bahwa lahan gambut bukanlah lahan terlantar dan tak berguna. Lebih lanjut, sesuai dengan tema tahun ini yaitu “Wetland action for People and Nature”, perlu mempromosikan bahwa lahan gambut sebagai salah satu jenis lahan basah yang unik harus dijaga untuk dapat terus memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung, dan kepada mahluk hidup lainnya yang berada dalam satu ekosistem tersebut.

 

Meskipun lahan gambut miskin hara dan tidak mudah untuk dikelola, nyatanya jenis lahan basah ini berperan sangat penting dalam sistem hidrologi suatu kawasan. Gambut kerap kali disebut juga sebagai tandon air karena sifatnya yang mampu menyimpan air dalam jumlah besar. Lahan gambut yang berkondisi baik dapat menyerap air ketika musim hujan sehingga banjir dapat dihindarkan. Sebaliknya, ketika musim kemarau, tanaman yang tumbuh di atasnya tidak akan mengalami kekeringan karena gambut akan melepaskan air. Namun demikian, semua manfaat hidrologi ini tidak bisa dirasakan jika gambut sudah terdegradasi karena gambut memiliki sifat hidrofobik yaitu kondisi dimana gambut tidak mampu lagi menahan air dan cenderung menolak air ketika rusak. Lahan gambut yang telah bersifat hidrofobik akan berdampak pada sistem tata air pada suatu kawasan yang rusak tersebut dan selanjutnya berpengaruh terhadap produktivitas lahan pada suatu ekosistem, bahkan menimbulkan bencana hidrometeorologi.

 

Selanjutnya, gambut juga sangat berperan dalam mengendalikan perubahan iklim global karena kemampuannya sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau penyimpan karbon (carbon stock). Nilai stok karbon pada gambut sangat besar jika dibandingkan tipologi lahan basah lainnya. Menurut Murdiyarso et.al, 2017, lahan gambut di Indonesia menyimpan karbon sekitar 55 PgC atau lebih dari 60% cadangan karbon gambut secara global. Namun, lahan gambut juga dapat berkontribusi sebagai penyumbang emisi terbesar di atmosfer ketika kondisi alaminya terganggu. Faktor-faktor antropogenik yang menyebabkan gambut terdekomposisi dan rentan terbakar pada akhirnya akan menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah karena Indonesia memiliki target iklim yang sudah disampaikan kepada dunia.

 

Selain memberikan manfaat dari sisi ekologi, lahan gambut juga memiliki nilai sosial dan ekonomi khususnya pada masyarakat yang beririsan langsung pada lahan basah tersebut. Kekayaan biodiversitas yang ada dalam hutan gambut sudah sejak lama dimanfaatkan oleh komunitas masyarakat setempat seperti suku Dayak, suku Anak Dalam, suku Kubu, suku Banjar, suku Melayu dan komunitas adat lainnya yang tinggal di atas lahan gambut. Bagi mereka, lahan gambut berperan sebagai sumber kehidupan dan mendukung kebutuhan sandang, papan dan pangan mereka. Serat alami untuk sandang seperti rami, rotan dan kulit kayu sudah lama dimanfaatkan oleh mereka. Kemudian, sumber makanan seperti talas, keladi, sagu, padi, jagung ditanam di lahan gambut dengan tetap menjaga sifat alaminya. Bahkan, di lahan yang unik ini terdapat tumbuhan liar yang dapat dimanfaatkan sebagai obat (biofarmaka).

 

Ketika lahan gambut rusak, sumber daya yang tadinya bermanfaat secara sosial dan ekonomi untuk masyarakat akan terganggu atau bahkan musnah. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan bahkan mengancam keberadaan mereka.

 

Meninjau semua manfaat yang mampu diberikan lahan gambut kepada kita, sudah seyogyanya lahan ini wajib dijaga dan dilindungi agar tidak rusak. Meskipun seringkali kalah ketika bertarung melawan kepentingan dan kekuatan ekonomi, tetaplah penting untuk mempertimbangkan batasan yang telah ditentukan dalam peraturan perlindungan dan pengelolaan gambut yang ada di Indonesia. Para pihak yang berperan dalam pembangunan ekonomi harus melihat sifat dan fenomena alam di area gambut yang terus berkembang serta dampak lingkungannya yang sudah dijelaskan di atas ketika gambut rusak.

 

Memang, kita semua paham bahwa proses pembangunan amatlah vital untuk memfasilitasi kepentingan manusia yang terus bertambah seiring perkembangan zaman. Namun, pembangunan seharusnya tidak hanya menitikpusatkan pada faktor ekonomi saja, namun ada faktor ekologi yang perlu diperhatikan mengingat kapasitas alam dan lingkungan hidup juga ada ambang batas daya dukungnya. Bukankah selama ini kita bisa hidup nyaman di bumi berkat peran alam dan ekosistem pendukungnya?

 

Sumber bacaan:

World Bank. 2016. The Cost of Fire : An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis. World Bank Group. Diakses pada https://olc.worldbank.org/content/cost-fire-economic-analysis-indonesia%E2%80%99s-2015-fire-crisis

Murdiyarso D, Hergoualc’h K, Basuki I, Sasmito S, Hanggar B. 2017. Cadangan Karbon di Lahan Gambut. CIFOR. Diakses pada http://www.cifor.org/publications/pdf_files/factsheet/6440-factsheet.pdf

Huijnen V, Wooster MJ, Kaiser JW, Gaveau DLA, Flemming J, Parrington M, Inness A, Murdiyarso D, Main B, van Weel M. 2016. Fire carbon emissions over maritime southeast Asia in 2015 largest since 1997. Scientific Reports. Diakses pada https://www.nature.com/articles/srep26886

Tentang Penulis
Agiel Prakoso
Peneliti di Pantau Gambut

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *