PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKLIM DAN AIR UNTUK ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM

Marine
PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKLIM DAN AIR UNTUK ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM
30 March 2020
934

Perubahan iklim berdampak buruk terhadap sektor kehidupan manusia. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas pertanian dan pendapatan petani. Pemanasan global menyebabkan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (El-Niño dan La-Niña) dan ketidakteraturan musim. Perubahan iklim global masa yang akan datang, diperkirakan akan menyebabkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan meningkat. Untuk mengantisipasi perubahan iklim strategi pengelolaan sumberdaya iklim dan air perlu diformulasikan secara tepat. Perencanaan budidaya tanaman harus memperhitungkan dinamika perubahan iklim yang telah dan sedang terjadi, melalui prediksi iklim, perencanaan kalender tanam, penggunaan varietas tanaman tahan kekeringan dan genangan, varietas berumur pendek (genjah), dan varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit tanaman. Pengelolaan sumberdaya air juga merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengadaptasikan pertanian terhadap perubahan iklim. Perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air harus ditetapkan terlebih dahulu untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan air. Beberapa inovasi teknolgi panen air (water harvesting) dan konservasi air (water conservation) serta pemanfaatan air secara efisien merupakan strategi yang dapat diterapkan untuk sustainabilitas sumberdaya air dan pemenuhan kebutuhan air di masa yang akan datang. erubahan iklim berdampak buruk terhadap sektor kehidupan manusia. Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas pertanian dan pendapatan petani. Pemanasan global menyebabkan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (El-Niño dan La-Niña) dan ketidakteraturan musim. Perubahan iklim global masa yang akan datang, diperkirakan akan menyebabkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan meningkat. Untuk mengantisipasi perubahan iklim strategi pengelolaan sumberdaya iklim dan air perlu diformulasikan secara tepat. Perencanaan budidaya tanaman harus memperhitungkan dinamika perubahan iklim yang telah dan sedang terjadi,melalui prediksi iklim, perencanaan kalender tanam, penggunaan varietas tanaman tahan kekeringan dan genangan, varietas berumur pendek (genjah), dan varietas yang Tahan terhadap hama dan penyakit tanaman. Pengelolaan sumberdaya air juga merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengadaptasikan pertanian terhadap perubahan iklim. Perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air harus ditetapkan terlebih dahulu untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan air. Beberapa inovasi teknolgi panen air (water harvesting) dan konservasi air (water conservation) serta pemanfaatan air secara efisien merupakan strategi yang dapat diterapkan untuk sustainabilitas sumberdaya air dan pemenuhan kebutuhan air di masa yang akan datang. menyerap radiasi gelombang panjang yang menyebabkan suhu bumi meningkat. Di dalam Protokol Kyoto gas-gas yang diklasifikasikan sebagai GRK adalah Karbondioksida (CO2) Metana (CH4), Nitrit Oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC), dan Sulfat Heksafluorida (SF6).   Penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan suhu permukaan sebesar 0,7 tahun 1900. Selama 30 tahun terakhir terjadi peningkatan mekanisme fisik maupun biologis. Sebagai contoh perpindahan berbagai spesies sejauh 6 km kearah kutub setiap dekade selama 30-40 tahun terakhir. Indikator lainnya adalah perubahan kejadian musiman seperti proses pembungaan dan bertelur yang lebih cepat 2-3 hari pada setiap dekade di daerah temperate (Root et al, 2005). otal emisi gas rumah kaca pada tahun 2000 sekitar 42 Gt CO2e dengan peningkatan konsentrasi 2.7 Gt CO2e /tahun. CO2 merupakan penyumbang terbesar emisi GRK yaitu 77%, NH4 sebesar , N2O sebesar 8% dan 1% F-gas seperti PFC dan SF6. Sumber emisi GHG terdiri atas ; a) Pembakaran energi fosil sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan industri merupakan penyumbangan CO2 terbesar (26.1 Gt CO2 pada tahun 2004), b) perubahan penggunaan lahan seperti deforestrasi melepaskan CO2 ke atmosfer , dan c) CH4, N2O, dan F-gas yang dihasilkan oleh sektor pertanian. Pada tingkat dunia sumber emisi energi terbesar dihasilkan oleh sektor energi sebesar 24%, kemudian industri, transportasi, bangunan dan energi lainnya. Sedangkan dari sektor non-energi emisi terbesar dihasilkan dari penggunaan lahan. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 14% dan yang terendah dari limbah sebesar 3% Selanjutnya dinyatakan kandungan GRK saat ini sekitar 430 ppm CO2e (CO2 ekuivalen) dibandingkan dengan hanya 280 ppm sebelum revolusi industri. Konsentrasi ini menyebabkan suhu emisi GRK adalah pesatnya perkembangan ekonomi dunia. Peningkatan emisi berkorelasi positif dengan pengningkatan GDP. Amerika dan Eropa memproduksi 70% emisi CO2 dari sektor energi sejak tahun 1850. Sebaliknya negara berkembang yang termasuk dalam non Annex1 pada protokol Kyoto hanya menyumbang ¼ dari total emisi. Prediksi ke depan sumbangan negara berkembangan mencapai Indonesia sebagai negara kepulauan tidak terlepas dari dampak perubahan iklim. Pemanasan global yang ditengarai menyebabkan mencairnya es di kutub mengakibatkan meningkatnya permukaan air laut. Sebagai negara dengan garis pantai yang panjang dan pulau–pulau kecil yang banyak, peningkatan permukaan laut akan menyebabkan tergenangan daerah pesisir dan hilangnya pulau-pulau kecil di Indoensia. Emisi GRK dari sektor pertanian meningkat 10% antara tahun 1990-2000 yang sebagian besar berasal dari meningkatnya emisi dari kegiatan pertanian lainnya (seperti pembakaran residu pertanian). Menurut World Resources Institute (2006), sektor pertanian memberikan sumbangan sekitar 14% dari total emisi GRK dunia (Gambar 3). Emisi energi sektor pertanian berasal dari berbagai sumber sebagai berikut: 1. Pupuk merupakan sumber emisi terbesar (38%) bagi sektor pertanian. Tanah melepaskan N2O pada proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Penggunaan pupuk baik organik maupun anorganik meningkatkan kadar N2O yang dilepaskan tanah. 2. Peternakan merupakan penyumbang emisi terbesar kedua sebesar 31% dari emisi sektor pertanian. Metana yang dihasilkan dari limbah pencernaan ruminansia (enteric fermentation) terutama sapi, kambing, kerbau, dan domba. 3. Budidaya padi sawah melepaskan sekitar 11% emisi. Penggenangan pada sawah menyebabkan bahan organik tidak dapat terdekomposisi dengan adanya oksigen sehingga terjadi dekomposisi secara anorganik yang menghasilkan metana. Besarnya emisi dari budidaya padi sawah tergantung pada pengeloaan air dan jumlah pupuk yang digunakan 4. Penggunaan pupuk kandang, termasuk proses pembuatan dan penyimpanan menyebabkan 7% emisi sektor pertanian. Metana diemisikan pada saat pupuk kandang disimpan pada kondisi oksigen yang cukup yang menyebabkan dekomposisi anorganik, sebaliknya nitrogen pada faeces dan urine ternak ISSN 1411-3082 memicu terjadinya nitrifikasi dandenitrifikasi yang menghasilkan N2O. 5. Pembakaran sabana dan sisa pertanian, pembukaan hutan dengan pembakaran menyumbang emisi non CO2 sebesar 13%.Sawah irigasi merupakan sumber emisi GRK dalam bentuk gas metana terbesar di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan hasil inventory emisi GRK sektor petanian di Indonesia dari country study tahun 1990 (Kementrian Lingkungan Hidup, 1996). Sumber emisi GRK terbesar adalah gas CH4 (85.6%), N2O (13,4%), dan sisanya adalah CO dan NOx. Sumbangan gas metana terbesar berasal dari padi sawah yaitu 2758 Gg (75.6%). Sumber emisi lahan sawah tersebut 95% berasal dari sawah yang tergenang terus menerus (continously flooded) dan 5% menggunakan sistim irigasi intermitten (intermittenly flooded). Sedangkan sawah lahan kering tidak melepaskan emisi gas metana. terganggunya berbagai sirkulasi udara di atmosfer yang menyebabkan meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim dan ketidakteraturan musim. Perubahan iklim global masa yang akan datang, diperkirakan akan menyebabkan frekuensi dan intensitaskejadian iklim ekstrim akan meningkat. Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003).   Hasil penelitian LAPAN menunjukkan bahwa pada kondisi konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dua kali lipat dari 31 | berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Menurut Las et al (1999), pengaruh El-Niño lebih kuat terhadap hujan pada musim kemarau dari pada hujan pada musim hujan. Secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Niño dapat mencapai 80 mm per bulan sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Niña tidak lebih dari 40 mm Selain itu, juga terjadi pergeseran musim hujan yang menyebabkan a) Musim kemarau yang mulai lebih awal dengan periode yang lebih lama dan jumlah curah hujan di bawah normal, b) Awal musim hujan mundur dengan periode yang lebih pendek dengan intensitas hujan yang tinggi, c) Fenomena MJO yang terjadi lebih sering yang menyebabkan periode kering pada musim hujan atau periode basah pada musim kemarau. Session break yang terjadi karena MJO menyebabkan pertanaman yang baru ditanaman petani mengalami puso karena kekeringan atau banjir. Perubahan jumlah dan intesitas hujan berpengaruh terhadap debit waduk dan sungai yang menjadi sumber air irigasi utama bagi lahan sawah. Kajian yang dilakukan Las et al. (1999) menunjukkan bahwa volume air waduk di daerah Jawa mengalami penurunan yang cukup besar pada tahun El-Niño dibanding tahun normal, dan meningkat jauh dari normal pada tahun La-Niña khususnya volume air waduk pada musim kemarauLoebis (2001) menganalisis datadebit minimum dan maksimum dari 52 sungai yang tersebar di seluruh Indonesia. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah sungai yang debit minimumnya berpotensi untuk menimbulkan masalah kekeringan meningkat, demikian juga halnya jumlah sungai yang debit maksimumnya berpotensi menimbulkan masalah banjir (Gambar 6). Gambar 6 juga menunjukkan bahwa jumlah sungai dengan debit minimum berpotensi menimbulkan kekeringan dan debit maksimum yang berpotensi menimbulkan banjir meningkat tajam pada tahun El-Niño dan La-Niña, khususnya untuk El-Niño (1994, dan 1997) dan La-Niña (1995 dan 1998) yang kejadiannya berlangsung setelah tahun 1990-an. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kondisi daerah aliran sungai di wilayah Indonesia setelah tahun 1990an banyak yang sudah mengalami degradasi sehingga adanya penyimpangan iklim dalam bentuk penurunan atau peningkatan hujan jauh dari normal akan langsung menimbulkan penurunan atau peningkatan yang tajam dari debit minimum atau debit maka akan menimbulkan masalah kekeringan atau banjir (dari 52 data debit sungai seluruh Indonesia. Kejadian kekeringan berdampak terhadap penurunan produksi padi karena turunnya produksi dan gagal panen. Beberapa kabupaten di Jawa Barat yang secara konsisten terkena kekeringan cukup luas khususnya pada tahun-tahun El-Niño ialah kabupaten Indramayu, Bandung, Cilacap, Sukabumi, Tangerang, dan Tasik Malaya, sedangkan di Jawa Tengah ialah kabupaten Cilacap, Pati dan Sragen. Kehilanganproduksi padi pada tahun El-Niño di kabupaten-kabupaten ini meningkat tajam dari sekitar kurang dari 5000 ton menjadi lebih dari 50000 ton (Gambar 7). menyebabkan semakin seringnya terjadi kejadian iklim ektrim berdampak luas terhadap sektor pertanian, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan air dan energi. Keragaman dan ketidakteraturan pola iklim tersbut mempengaruhi rentabilitas produksi sebagian besar komoditas pertanian. Untuk menurunkan dampak negatif akibat kejadian iklim ekstrim atau penyimpangan iklim, perlu strategi adapatasi terhadap perubahan iklim dan pengelolaan sumberdaya air. Strategi antisipasi terhadap perubahan iklim di sektor pertanian dapat dilakukan dengan a) adaptasi/penyesuaian perencanaan tanam terhadap perubahan iklim dan b) pengelolaan sumberdaya air untuk menekan resiko kehilangan hasil akibat perubahan iklim : 1. Adaptasi/ penyesuaian perencanaan tanam terhadap perubahan iklim  Untuk dapat menyesuaikan pola dan waktu tanam dengan perubahan iklim yang akan terjadi, berbagai pihak terkait baik pengambil kebijakan, pelaksana lapang dan petani memerlukan informasi mengenai waktu tanam untuk menyusun strategi budidaya. Infromasi tersebut dapat diberikan dalam berbagai bentuk sebagai berikut : Peta Kalender Tanam Secara sederhana pengertian kalender tanam adalah sistem penjadwalan penanaman. Sejak zaman dahulu petani sudah menerapkan sistim kalender tanam berdasarkan fenomena alam yang terjadi di daerah mereka atau yang sering disebut kearifan lokal (Indigenous Knowledge). Sebagai contoh, untuk menentukan waktu tanam dikenal istilah Pratanamangsa di Pulau Jawa, Wariga di pulau Bali, Porhalaan di Sumatera Utara, Parlontara di Sulawesi Selatan, dan Bulan Berladang di Kalimantan Barat (Wisnubroto, 1998). Namun demikian, seiring dengan pertambahan penduduk, dan perubahan iklim yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan dan kehilangan keanekaragaman hayati, penerapan cara tradisional tersebut akan memberikan resiko pada akurasi dalam menetapalam awal musim tanam akibat telah hilangnya sebagian besar flora dan fauna yang berfungsi sebagai indikator (Syahbuddin dan Runtunuwu, 2007). Sebagai pedoman penyusunan waktu tanam untuk tanaman pangan, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi pada tahun 2007 telah meyusun Peta Kalender Tanam Tanaman Pangan di Pulau Jawa berdasarkan pada berbagai skenario iklim. Kalender tanaman dapat dimanfaatkan pengambil kebijakan untuk mengakomodasi dan mengantisipasi penyimpangan iklim dan bencana alam yang mungkin terjadi pada setiap musim penanaman (Gambar 8). Kasdi Subagyono dan Elsa Surmaini Prediksi Curah Hujan Balitklimat melakukan analisis prakiraan curah hujan bulan di beberapa sentra produksi pertanian, terutama untuk kepentingan di sektor pertanian.   Prakiraan curah hujan menggunakan metode Filter Kalman menyajikan prakiraan langsung (on line forecasting) untuk curah hujan yang dapat diperbaharui setiap saat (updateable), sehingga merupakan suatu model yang berkesinambungan. Metode ini sudah dikembangkan untuk prakiraan curah hujan di Balitklimat sejak tahun 2003 dengan nilai koefisen korelasi antara model dan observasi yang cukup tinggi dari Balitklimat disampaikan secara rutin dalam Pokja anomali iklim Departemen pertanian. Gambar 10 menunjukkan hasil prediksi curah hujan dibeberapa daerah sentra produksi pertanian. Peta Prakiraan musim kemarau dan MH Pemanfaataan data prakiraan musim yang secara rutin pada awal musim hujan dan musim kemarau di keluarkan oleh BMG dapat ditumpangtepatkan dengan penggunaan lahan saat ini sehingga menjadi informasi yang sangat penting. Dari data tersebut dapat diketahui secara spasial wilayah yang mengalami pemunduran masa tanam untuk jangka waktu tertentu dan sifat curah hujannya. Pada tahun 2007, Balitklimat telah mengeluarkan peta prakiraan musim kemarau ISSN 1411-3082 2007 yang memberikan informasi tentang awal, sifat dan pergeseral awal musim kemarau 2007 (Gambar 11). Berdasarkan peta tersebut, selanjutnya diambil langkah langkah antisipasi agar pada pola tanam berikutnya tidak mengalami kegagalan akibat kekurangan air atau kebanjiran dan ledakan hama penyakit.     informasi diatas dan dikonsolidasikan dengan hasil prediksi dari anggota tim pokja lainnya seperti BMG, ITB, IPB, LAPAN, kemudian disusun rekomendasi prakiraan sifat MK/MH yang akan datang dan langkah operasionalnya. Beberapa acuan operasional untuk mengantisipasi kekeringan adalah sebagai berikut : 1. Penggunaan padi varietas unggul yang tahan kekeringan, berumur sedang (< 120 hari) atau genjah (< 100 hari), serta tahan hama dan penyakit utama 2. Optimalisasi pemanfaatan air dengan melakukan penanaman benih dengan teknologi semai kering 3. Penerapan teknologi minimum tillage atau Tanpa Olah Tanah (TOT) untuk memperpendek masa tanam 4. Penerapan teknik irigasi giring dan menanam padi sesuai dengan jadwal penggolongan air. informasi tersebut harus dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami, memenuhi kebutuhan pengguna dan sampai ke tangan pihak yang tepat pada waktu yang tepat sehingga bisa digunakan untuk membuat keputusan yang tepat sehingga kerugian yang mungkin muncul akibat kondisi iklim yang kurang menguntungkan dapat ditekan atau keuntungan yang dapat dicapai dari kondisi iklim yang diperkirakan akan terjadi dapat dimaksimumkan. Sebagai contoh hasil analisis Boer dan Surmaini (2006) menunjukkan bahwa secara kumulatif, petani yang responsif akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih besar dari pada petani yang tidak responsif terhadap informasi prakiraan musim/iklim responsif ialah petani yang mengubah jenis tanaman yang ditanam dari padi ke kedele, atau jagung atau bera kalau diketahui bahwa SOI 1-2 bulan sebelum penanaman mengindikasikan kondisi El-Niño . Petani yang tidak responsif ialah petani yang tetap menanam Sumber: Boer and Surmaini (2006) 2. Pengelolaan sumberdaya air untuk menekan resiko kehilangan hasil akibat perubahan iklim sebagai dampak dari perubahan iklim telah terjadi di berbagai belahan bumi tidak terkecuali di Indonesia. Laju kebutuhan akan sumberdaya air dan potensi ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam mensuplai air. Indonesia termasuk salah satu negara yang diproyeksikan mengalami krisis air pada 2025 (World Water Forum II di Denhaag Maret2000), yang penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satu diantaranya adalah pemakaian air yang tidak efisien. Kelangkaan air derajadnya semakin meningkat. Sementara pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan pola hidup yang semakin menuntut penggunaan air yang sangat voluminous, semakin menambah tekanan terhadap kuantitas air. Daya beli masyarakat (khususnya masyarakat kota) terhadap air yang disediakan oleh lembaga servis pemerintah seperti PDAM cukup memadai, sehingga masyarakat tidak merasa adanya kesulitan mendapatkan air. Kalaupun tidak, masyarakat memanfaatkan air bawah permukaan (groundwater) dengan menggunakan pompa, dan sangat jarang memikirkan dampak penurunan tinggi muka air bawah permukaan (groundwater level) dan intrusi air laut. Demikian halnya dengan petani di kawasan beririgasi, mereka tidak pernah kebingungan selama fasilitas air irigasi tersedia di saluran, padahal tidak jarang saluran-saluran irigasi kering di musim kemarau.   Indonesia menduduki urutan ke lima negara-negara yang kaya air setelah Brazil, Rusia, China dan Canada. Hal ini tercermin juga pada potensi ketersediaan air permukaan (terutama dari sungai) yang menurut catatan Depkimpraswil rata-rata mencapai kurang lebih 15.500 m/kapita/tahun (jauh melebihi rata-rata dunia yang hanya 600 m/cap/tahun). Namun jumlah yang berlimpah tersebut ketersediaannya sangat bervariasi menurut tempat dan waktu. Pulau Jawa yang penduduknya mencapai 65% dari total penduduk Indonesia, hanya tersedia 4.5% potensi air tawar nasional. Faktanya, jumlah ketersediaan air di P. Jmencapai tahun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi seluruh penduduknya. Artinya di pulau yang terpadat penduduknya ini selalu mengalami defisit 1st planting: 1 Jan, 2nd Planting: 1 May-10000000paling tidak higga nanti 2015 dan akan terus meningkat jika tidak ada upaya konservasi dan efisiensi pemanfaatannya. Demikian juga halnya di wilayah lain, walaupun pada tahun yang sama masih tergolong surplus, namun secara umum kelebihan air tersebut jumlahnya menurun (Gambar 13). Dan ketersedianya sangat berfluktuasi antara musim hujan dan musim kering. Catatan Depkimpraswil menunjukkan bahwa pada musim hujan debit Kejadian iklim ekstrim menyebab dua fenomena El-Niño dan La-Niña terjadi. Pada saat El-Niño kebutuhan air sering tidak mencukupi. Sektor pertanian merupakan pemakai air terbesar (> 80%), tanpa pengelolaan yang benar ketersediaan air akan terancam habis.   Adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim salah satunya dapat dilakukan melalui pengelolaan sumberdaya air. Secara ringkas pengelolaan sumberdaya air diilustrasikan pada Gambar 14.   Dinamika ketersediaan sumberdaya air di statu daerah sangat ditentukan oleh siklus hidrologi dan kondisi tutupan lahannya. Pada daerah dengan tutupan lahan yang masih rapat, peluang untuk terjadinya resapan air di daerah tangkapan (catchment areas) sangat besar dan menambah simpanan serta ketersediaan air di dalam tanah. Sebaliknya dinamika kebutuhan air berubah setiap saat tergantung pada perkembangan setiap sector pengguna air seperti untuk pertanian, domestik, industri, minisipal, transportasi, wisata dll.   Menghadapi kedua fenomena tersebut perlu pengelolaan sumberdaya air secara terintegrasi dengan cara membuat prioritas pemanfaatan, merencanakan alokasi air secara tepat, melakukan konservasi air secara berkelanjutan, mengontrol kemungkinan terjadinya polusi dan tindakan-tindakan pengelolaan sumberdaya air lainnya. dua kali lipat dari 31 | berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Menurut Las et al (1999), pengaruh El-Niño lebih kuat terhadap hujan pada musim kemarau dari pada hujan pada musim hujan. Secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Niño dapat mencapai 80 mm per bulan sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Niña tidak lebih dari 40 mm Selain itu, juga terjadi pergeseran musim hujan yang menyebabkan a) Musim kemarau yang mulai lebih awal dengan periode yang lebih lama dan jumlah curah hujan di bawah normal, b) Awal musim hujan mundur dengan periode yang lebih pendek dengan intensitas hujan yang tinggi, c) Fenomena MJO yang terjadi lebih sering yang menyebabkan periode kering pada musim sirkulasi udara di atmosfer yang menyebabkan meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim dan ketidakteraturan musim. Perubahan iklim global masa yang akan datang, diperkirakan akan menyebabkan frekuensi dan intensitaskejadian iklim ekstrim akan meningkat. Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003).   Hasil penelitian LAPAN menunjukkan bahwa pada kondisi konsentrasi CO2 di atmosfer Pembakaran sabana dan sisa pertanian, pembukaan hutan dengan pembakaran menyumbang emisi non CO2 sebesar 13%.Sawah irigasi merupakan sumber emisi GRK dalam bentuk gas metana terbesar di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan hasil inventory emisi GRK sektor petanian di Indonesia dari country study tahun 1990 (Kementrian Lingkungan Hidup, 1996). Sumber emisi GRK terbesar adalah gas CH4 (85.6%), N2O (13,4%), dan sisanya adalah CO dan NOx.      

About Author
dwi nur anggita
sekolah vokasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2020-03-30
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *