Mengenal Tiga Jenis Capung Hutan Genus Drepanosticta Endemik Jawa di Hutan Petungkriyono

Kehutanan, Satwa
Mengenal Tiga Jenis Capung Hutan Genus Drepanosticta Endemik Jawa di Hutan Petungkriyono
30 April 2021
1905

Hutan Petungkriyono terletak di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah yang terbentang oleh pegunungan-pegunungan. Hamparan kehijauan terbentuk dari rapatnya vegetasi pepohonan. Petungkriyono merupakan daerah dataran tinggi dengan kelerangan lahan 40% yang terletak di kawasan pegunungan Ragajambangan. Hutan Petungkriyono merupakan kawasan hutan yang masuk dalam Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Timur dan memiliki kawasan Hutan Lindung seluas 1.931,90 Ha.

Hutan Petungkriyono merupakan salah satu hutan di Jawa yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, menjadi tempat tinggal yang layak bagi berbagai macam flora dan fauna. Biodiversitas yang ada di Petungkriyono menyimpan banyak keunikan. Berbagai flora dan fauna langka serta endemik dapat ditemukan disini, diantaranya adalah capung endemik Jawa anggota Genus Drepanosticta.

Klasifikasi Capung Drepanosticta:

Kingdom         : Animalia

Filum               : Arthropoda

Sub Filum        : Hexapoda

Kelas               : Insecta

Sub Kelas        : Pterygota

Ordo                : Odonata

Sub Ordo        : Zygoptera

Famili              : Platysticidae

Genus              : Drepanosticta

 

Capung Genus Drepanosticta merupakan jenis capung (Odonata) hutan endemik pulau Jawa, yang populasinya tercatat terbatas di beberapa lokasi seperti di Pegunungan Telomoyo dan daerah Gunung Slamet Jawa Tengah. Berdasarkan data terbaru, ketiga spesies Genus Drepanosticta yakni Drepanosticta sundana, Drepanosticta gazella, dan Drepanosticta spatulifera, ditemukan di Gunung Ungaran, dan pada tahun 2018 ketiga jenis capung tersebut dijumpai di Hutan Petungkriyono.

Status keterancaman dalam IUCN dari Drepanosticta sundana dan Drepanosticta spatulifera adalah DD (Data Deficient), dimana informasi mengenai distribusi dan populasinya masih kurang, sehingga status kepunahan dan resiko kepunahannya belum jelas. Hal ini menunjukan bahwa masih kurangnya data yang terkumpul mengenai populasi dan distribusi dari capung anggota Drepanosticta ini. Padahal ketiga jenis ini merupakan capung endemik Jawa yang dimiliki Indonesia, sehingga masih diperlukan eksplorasi lebih luas di daerah pegunungan Pulau Jawa untuk dapat mengetahui secara pasti dan mengumpulkan data populasi serta distribusi dari ketiga jenis capung Drepanosticta tersebut.

Morfologi dari ketiga jenis capung Drepanosticta memiliki kemiripan pada bentuk dan warna tubuh, dimana warna tubuhnya didominasi oleh warna hitam. Drepanosticta sundana atau Capung-hutan pita-ganda memiliki ukuran paling panjang (panjang abdomen 40-42 mm) dalam Famili Plastysticidae yang tercatat di Pulau Jawa. Bagian protoraks berwarna putih dan toraks lainnya berwana hitam kecuali pada sintoraks terdapat 2 garis putih. Abdomen pada ruas ke-8 terdapat bercak biru pucat. Mata berwarna hitam pada bagian atas dan kehijauan pada bagian bawah. Bagian kaki berwarna putih pada pangkalnya dan lebih gelap pada ujungnya.

Drepanosticta gazella  atau Capung-hutan pita-tunggal,  tubuhnya dominan hitam-putih daging dengan cincin cokelat kekuningan. Mempunyai ukuran yang kecil (panjang abdomen 30-32 mm). Protoraks berwarna putih daging yang mencolok dan terdapat seperti tanduk berwarna hitam. Sintoraks berwarna hitam mengkilap dan terdapat satu garis putih. Bagian abdomen ruas ke-9 terdapat dua bercak biru. Mata berwarna hitam, dengan mandibula dan labrum berwarna putih daging.

Drepanosticta spatulifera memiliki ukuran yang paling kecil (panjang abdomen 26-29 mm) dibanding dua jenis Drepanosticta lainnya. Bagian Sintoraksnya berwarna hitam mengkilap dan memiliki mata berwarna coklat gelap.  Abdomen berwarna hitam kecokelatan, terdapat cincin berwarna cokelat kenuningan pada bagian ujung ruas ke 3-7.  Abdomen ruas ke 8-10 sebagian besar terselimuti warna biru.

Capung Drepanosticta memiliki kemampuan terbang yang pendek, karena mereka memiliki tubuh yang kecil dan tipis, aktivitas terbang mereka hanya beberapa sentimeter dari tempat hinggapnya yang kemudian akan hinggap kembali. Perjumpaan ketiga spesies capung tersebut sering dijumpai di tempat-tempat aliran air yang mengalir seperti sungai kecil hingga rembesan. Tempat tersebut ada di dalam maupun di pinggiran hutan. Dimana sekelilingnya bertajuk pepohonan yang rapat dan sejuk dengan keadaan udara yang lembab serta  intesitas cahaya yang rendah. Mereka menyukai daerah rembesan air dan aliran air yang bersih serta berbatu dengan arus yang deras. Habitat tersebut dapat dijumpai di Hutan Petungkriyono diantaranya adalah di Tirta Muncar, Sokokembang, Curug Lawe, dan Karanggondang.

Sokokembang dan Tirta Muncar berada pada ketinggian sekitar 382-583 mdpl, sedangkan Curug Lawe dan Karanggondang pada ketinggian sekitar 777-1.236 mdpl. Tirta Muncar dan Curug Lawe memiliki air terjun yang cukup tinggi di dalam hutan. Mikrohabitat dari Drepanosticta sundana dan Drepanosticta spatulifera adalah di sekitar sungai dan anak sungai hutan, sedangkan mikrohabitat dari Drepanosticta gazella sendiri pada aliran sungai kecil dan daerah rembesan dalam hutan. Diantara ketiga jenis Drepanosticta yang dijumpai di Hutan Petungkriyono, perjumpaan jenis Drepanosticta spatulifera lebih sering dan cukup mudah dijumpai di sekitar sungai Hutan Petungkriyono dibandingkan perjumpaan dengan Drepanosticta sundana dan Drepanosticta gazella.

Capung sendiri sudah diklaim menjadi Bioindikator suatu kawasan atau lingkungan perairan. Capung dapat dijadikan sebagai bioindikator karena mereka cukup sensitif terhadap perubahan atau gangguan yang terjadi dalam habitatnya, terutama lingkungan perairan. Siklus hidup capung sangat bergantung pada lingkungan perairan, karena hidup capung lebih banyak dihabiskan di dalam perairan saat fase pradewasa (naiad).

Salah satu penerapan penggunaan capung sebagai bioindikator kawasan konservasi adalah dengan menggunakan penilaian DBI (Dragonfly Biotic Index). Suatu kawasan atau lingkungan dikatakan masih sehat dan tidak tercemar dilihat dari nilai jenis-jenis dan distribusi populasi capung yang masih bertahan di lingkungan tersebut. Sehingga penting bagi kita untuk tetap melestarikan ketiga jenis capung Drepanosticta endemik Jawa yang ada di Hutan Petungkriyono ini, dengan tetap terus menjaga lingkungan dan habitatnya di Hutan Petungriyono.

 

Referensi:

Diniarsih, S. 2016. Studi Mikrohabitat dan Populasi Capung Endemik Jawa Anggota Genus
Drepanosticta (Odonata: Platystictidae) di Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Tesis
Program Studi Magister Biologi Universitas Gadjah Mada.

Lieftinck, M.A. 1954. Handlist of Malaysian Odonata. Treubia 22: 99-10.

Samways, M. J; McGeoch, M. A. N. T. R. 2010. Insect Conservation (W. . Sutherland (ed.)). Oxford University Press Inc.

Setiyono,J.,S.Diniarsih, E.N.R.Oscilata., & N.S.Budi. 2017. Dragonflies of Yogyakarta, Jenis Capung Daerah Istimewa Yogyakarta. Indonesia Dragonfly Soeciety, Yogyakarta.

Simaika, J. P., & Samways, M. J. 2009. An easy-to-use index of ecological integrity for prioritizing freshwater sites and for assessing habitat quality. Biodiversity and Conservation, 18(5), 1171–1185.

Simaika, J. P., & Samways, M. J. 2011. Comparative assessment of indices of freshwater habitat conditions using different invertebrate taxon sets. Ecological Indicators, 11(2), 370–378.

Tentang Penulis
Plutonesia
Komunitas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2021-06-21
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *