MENEGENAL PERMASALAHAN DI EKOSISTEM LAUT LEPAS

Activity, Bioprospecting, Climate Change, Ecotourism, Marine, Waste Management
MENEGENAL PERMASALAHAN DI EKOSISTEM LAUT LEPAS
2 July 2024
40

Perairan merupakan satu kesatuan (perpaduan) antara komponen-komponen fisika, kimia dan biologi dalam suatu media air pada wilayah tertentu. Perairan mencakup suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang) seperti danau. Ketiga komponen dalam perairan saling berinteraksi, jika terjadi perubahan pada salah satu komponen maka akan berpengaruh pula terhadap komponen yang lainnya (Rudiyanti, 2009).

Laut lepas merupakan laut bebas atau dikenal dengan istilah Res nullius yang mana laut merupakan wilayah perairan yang tidak dimiliki oleh siapapun, yang artinya laut lepas dapat dimanfaatkan oleh setiap negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai. tetapi pemanfaatan laut lepas hanya untuk kepentingan damai dan tidak ada suatu negara yang boleh mengklaim bagian laut lepas menjadi miliknya atau berada dibawah kedaulatanya (Pinem, 2019).

Permasalahan lingkungan hidup (enveriomental problems) merupakan issu global dunia yang perlu ditangani secara terencana dan terintaegrasi oleh pemerintah dan masyarakat baik negara maju maupun negara berkembang. Penanganan lingkungan hidup dan sumberdaya alam di Indonesia sudah melebihi ambang batas kerusakan, akibat over eksploitasi sumber daya alam pada beberapa dekade terakhir ini. Perberlakuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang otonomi daerah dan disertai tidak memiliki rasa bertanggung jawab pemerintah daerah, dan memarjinalkan masyarakat dari ekoploitasi sumber daya alam. Sementara kerusakan lingkungan hidup terus berlanjut, serta terkurasnya sumberdaya ekonomi mengalami penurunan, akan membawa konsukwensi lingkungan hidup. Semakin besar pemanfaatan sumberdaya ekonomi, dampaknya semakin besar terhadap sumbedaya alam dan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang dapat dilihat pada waktu jangka panjang (2010).

  1. Degradasi Ekosistem Perairan Laut Lepas

Laut adalah kumpulan air asin yang banyak atau luas yang di dalamnya terdapat berbagai kehidupan laut seperti ikan, anjing laut, plankton, dan tumbuhan laut. Laut penting bagi seluruh kehidupan di atas daratan, karena laut mengandung lebih dari 90% air yang dikandung bumi, dan laut penuh akan sumber daya seperti protein, sumber daya alam, sebagai pengatur suhu atau thermostat yang menyerap panas matahari, serta merupakan sarana perhubungan  (Rahmayanti, 2006).

Laut lepas adalah bagian laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman negara-negara kepulauan.4 Sangat jelas bahwa laut lepas merupakan wilayah laut yang tidak merupakan wilayah teritorial dari suatu negara. Laut yang tidak merupakan wilayah teritorial dari negara manapun maka laut lepas merupakan laut yang bebas atau dikenal dengan istilah res nullius dimana laut merupakan wilayah perairan yang tidak dimiliki oleh siapa pun yang artinya laut lepas dapat dimanfaatkan oleh setiap negara baik negara berpantai maupun negara tidak berpantai (Runtunuwu, 2014).

Dengan adanya kebebasan yang diberikan ini maka negara mendapatkan keuntungan untuk dapat memanfaatkan wilayah laut lepas ini demi kepentingan negaranya tanpa merugikan negara lain atau pihak lain. Tetapi selain memiliki hak untuk memanfaatkan wilayah laut lepas ini negara pun terikat dengan kewajibannya untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan pihak lain atau tindakan yang dapat merusak wilayah laut lepas itu sendiri. Setiap negara memang diberikan kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas tetapi kebebasan yang diberikan bukanlah kebebebasan tanpa batas dan tanpa aturan. Kebebasan untuk memanfaatkan laut lepas diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan memiliki syarat dan ketentuan yang harus dilakukan, sehingga terhadap kebebasan di laut bebas tersebut terdapat beberapa pengecualian yang sama sekali tidak boleh dilakukan di laut lepas. Pengecualian kebebasan di laut lepas tersebut antara lain adalah Perompakan laut (piracy), pengejaran seketika (hot persuit), penangkapan ikan dan pencemaran di laut lepas (Runtunuwu, 2014).

  • Kerusakan Ekosistem Laut Lepas Akibat Buangan Minyak

Sejatinya, pengaruh dari pencemaran laut tidak pernah dilihat. Namun, zat-zat seperti minyak, plastik, kotoran, zat-zat kimia untuk keperluan industri, pestisida, dan bahkan keradioaktifan, semuanya membahayakan kehidupan di dalam lautan. Jika manusia terus-terusan menggunakan lautan sebagai tempat pembuangan yang tidak terbatas, maka manusia sendirilah yang akan menanggung resiko pencemaran terhadap salah satu dari sumber daya bumi yang paling berharga. Laut sebagai SDA bagi manusia serta sumber kehidupan bagi ekosistem binatang dan tumbuhan, tercemar akibat ulah manusia yang membuang minyak dari kapal ke laut dan pengeboran minyak di laut lepas.  Pencemaran laut terjadi akibat masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam laut hingga merubah tatanan (komposisi) air karena kegiatan manusia atau karena proses alam, dan kualitas air turun sampai ketingkat tertentu dan menyebabkan fungsi dari laut tidak sesuai dengan peruntukannya (Rahmayanti, 2006).

Semua orang tidak banyak mengenal dasar laut karena belum banyak kepentingan di tempat yang menakutkan itu. Dasar laut sukar dicapai, lebih-lebih yang dalam. Teknologi untuk mencapai dan memanfaatkan dasar laut belum berkembang karena kebutuhan manusia masih dapat dicukupi sepenuhnya dari hasil alam di daratan yang lebih mudah pengambilannya. Dengan pertambahan penduduk dan perkembangan peradaban kebutuhan yang makin kompleks, daratan tidak lagi mampu memberi kecukupan. Maka mulailah dasar laut dieksplorasi dan dieksploitasi (Rahmayanti, 2006).

Dasar laut yang masih merupakan kelanjutan dari benua, mengandung kekayaan serupa yang terdapat di daratan. Batu-batuan, pasir, kapur, minyak bumi, batu bara, dan mineral-mineral lain yang dapat ditambang di dasar laut dengan menggunakan teknologi yang lebih diperkembangkan. Indonesia juga sudah mulai mengeksploitasi dasar lautnya, seperti pengeboran minyak bumi lepas pantai di sebelah utara pulau Jawa untuk konsumsi kota-kota besar yang sudah menghabiskan material di daratan sekitarnya (Rahmayanti, 2006).

Secara sepintas eksploitasi dasar laut tidak merusak lingkungan karena dilakukan di bawah air. Namun resiko terjadinya kebocoran minyak bumi akibat pengeboran lepas pantai menyebabkan minyak menggenang dan mengapung di atas air laut yang akan mempengaruhi proses penyeimbangan oksigen dan karbondioksida (dalam air), dan menutup permukaan yang sangat berpengaruh pada kehidupan laut (Rahmayanti, 2006).

Sebuah perkiraan menyebutkan bahwa sekitar tiga juta ton minyak (seper-sepuluh dari produk minyak tahunan dunia) berakhir di laut setiap tahunnya. Polusi minyak tersebut sebagian besar berasal dari tangker-tangker rongsokan, pembersihan tangker minyak dan sisa produksi minyak yang dibuang ke laut, kecelakaan kapal pada saat beroperasi, serta limbah minyak pabrik dan mobil yang dibuang ke sungai bemuara ke laut (Rahmayanti, 2006).

Contoh kasus pencemaran laut oleh minyak adalah pada tanggal 24 Maret 1989, kapal tangker minyak EXXON Veldez karam di Prince William Sound di Alaska. Kapal tersebut menumpahkan lebih dari 42 juta liter minyak mentah. Tumpahnya minyak tersebut berpengaruh pada perusakan lingkungan sekitar. Sejumlah besar ikan, burung laut, dan berang-berang laut mati. Di pantai-pantai tempat minyak berada, binatang-binatang tersebut mati teracuni pada saat meminum dan berenang di air yang tercampur minyak. Penyebab utama kematian binatang tersebut adalah karena mimyak dapat menyumbat saluran pada bulu-bulu, sehingga kemampuan binatang untuk bertahan melawan suhu dingin menurun dan mengakibatkan kematian (Rahmayanti, 2006).

Kasus tumpahan minyak yang terjadi di Indonesia, antara lain adalah kasus bocornya pipa Pertamina Cilacap (King Fisher) berdampak terbuangnya 600.000 barel minyak mentah pada tahun 2000, kasus Montara (75 hari) berdampak terbuangnya 400 barrel/hari pada tahun 2009, kasus tubrukan kapal MT Alyarmouk dengan Kapal MV Sinar Kapuas berdampak 4500 MT crude oil tumpah ke laut pada tahun 2015, kasus tubrukan MT Wan Hai 301 dengan MT APL Denver menyebabkan 300 ton minyak bumi terbuang pada tahun 2017, kasus tumpahan minyak Balikpapan yang menyebabkan 1.238.619 barrel terbuang pada tahun 2018. Tumpahan minyak dapat berdampak kematian organisme, perubaha reproduksi dan tingkah laku organisme, dampak terhadap plankton, dampak terhadap ikan migrasi, bau lantung (tainting), dampak pada kegiatan perikanan budidaya dan kerusakan ekosistem. Kawasan wisata bahari dan pelabuhan juga terkena dampaknya hingga dapat menyebabkan aktivitasnya berhenti (Kementrian Lingkungan Hidup, 2021).

Beberapa komponen yang menyusun minyak juga diketahui bersifat beracun terhadap berbagai hewan maupun manusia, tergantung dari struktur dan berat molekulnya. Komponen-komponen hidro karbon jenuh yang mempunyai titik didih rendah diketahui dapat menyebabkan anesti dan narkosis pada berbagai hewan tingkat rendah dan jika terdapat pada tingkat konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kematian. Komponen-komponen hidro karbon aromatik yang memiliki titik didih rendah terdapat dalama jumlah besar di dalam minyak dan merupakan komponen yang paling berbahaya, misalnya benzen, toluen dan xilen. Oleh sebab itu binatang dan tumbuhan tidak mampu bertahan melawan zat racun yang terkandung pada minyak. Bukan hanya hewan dan tumbuhan saja yang kehidupannya terganggu, manusia pun turut mengalami berkurangnya persediaan sumber makanan dan protein bahkan menganggu kesehatan manusia yang tinggal di sekitar laut dan manusia yang memakan ikan yang sebenarnya sudah tercemar. Minyak dapat diuraikan oleh bakteri secara alami, tetapi memerlukan waktu yang lama. Proses penguraian minyak dapat dilakukan dengan lebih cepat oleh manusia dan memerlukan biaya yang mahal (Rahmayanti, 2006).

Penyebaran minyak di laut dipengaruhi kondisi tempat terjadi tumpahan minyak seperti angin, pasang surut, dan arus laut serta sifat-sifat minyaknya. Tumpahan minyak di laut akan mengalami fotooksidasi, evaporasi, emulsifikasi, disolusi, adsorpsi, sedimentasi, dan degradasi. Proses itu terjadi secara alami yang dipengaruhi oleh jumlah dan karakter minyak. Namun frekuensi tumpahan minyak yang berlebih menyebabkan beban pencemaran lingkungan lebih besar dibandingkan proses degradasi zat pencemar secara alamiah sehingga dibutuhkan bantuan manusia dengan teknologi yang ada untuk mengatasi pencemaran tersebut (Syafrizal et al., 2020).

  • Upaya Penanganan Ekosistem Perairan Laut Lepas (Studi Kasus: Penenganan Kasus Tumpahan Minyak)

Proses untuk penyelesaian tumpahan minyak dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Proses fisika seperti penggunaan teknik pengumpulan dan skimming namun teknik ini berpotensi merusak biota laut. Proses kimia seperti penggunaan dispersan namun dapat menambah beban lingkungan karena pemakaian bahan kimia. Proses biologi seperti bioremediasi menggunakan mikroorganisme untuk mendegradasi pencemar lingkungan. Mikroorganismenya berupa bakteri alami yang berasal dari daerah yang tercemar maupun bakteri yang diisolasi dari daerah lain lalu diintroduksi ke daerah yang tercemar. Bioremediasi merupakan metode yang aman dan efektif karena menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah) dan tidak menggunakan atau menambahkan bahan kimia dalam prosesnya. Lebih lanjut, nutrien untuk pertumbuhan mikroba menggunakan pupuk untuk kegiatan pertanian dan perkebunan (Syafrizal et al., 2020).

Komposisi hidrokarbon dicemaran minyak bumi sangat kompleks sehingga tidak cukup hanya satu jenis bakteri untuk mendegradasinya. Setiap spesies bakteri membutuhkan substrat yang spesifik untuk mendegradasi keseluruhan komponen penyusun minyak bumi. Sehingga untuk sesuatu yang kompleks dibutuhkan korsorsium mikroba. Pada kultur campur (konsorsium) bakteri akan terjadi dua kemungkinan yang dapat berpengaruh pada proses bioremediasi yaitu sinergisme dan antagonisme. Menurut Aditiawati (2001) bahwa proses sinergisme (simbiosis mutualisme) bakteri kultur campur dapat meningkatkan proses bioremediasi dan sebaliknya jika antagonisme akan terjadi penurunan proses bioremediasi.

 

REFERENSI

Aditiawati, P., Pikoli, M. R. & Indriani A, D., 2001. Isolasi Bertahap Bakteri Pendegradasi Minyak Bumi dari Sumur Bangko. IATMI.Yogyakarta.

Runtunuwu, K. G. 2014. Implementasi Pemanfaatan Laut Lepas Menurut Konvensi Hukum Laut 1982. Lex et Societatis. 2 (3). Hal: 61-70.

Rahmayanti, H. 2006. Pencemaran Laut Oleh Minyak.Menara Jurnal Teknik Sipil.1(1):63 – 74.

Pinem, G. B. 2019. Pengelolaan Sumber Daya Alam Terhadap Penangkapan Ikan Oleh Negara Di Laut Lepas Menurut Hukum Internasional. 7 (5). Hal: 114 – 126.

Drakel, A. 2010. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Barbasis Ekonomi Sumberdaya Di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate). 3 (1). Hal: 90 – 100.

Rudiyanti, S. 2009. Kualitas Perairan Sungai Banger Pekalongan Berdasarkan Indikator Biologis. Jurnal Saintek Perikanan. 4 (2). Hal: 46-52.

Syafrizal., Rahmaniar, R., Partono, T., Zulkifliani., Kristiawan, O., Ardhyarini, N., Handayani, Y., & Rofiqoh. 2020. Biodegradasi Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi Menggunakan Aktivitas Konsorsium Sedimen Laut Dalam. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. 54 (2). Hal:81 – 91.

Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2021. https://kkp.go.id/djprl/p4k. [Online].  Available at: https://kkp.go.id/djprl/p4k/ page/2626-tumpahan-minyak-oil-spill [Accessed by 2022].

laut lepas, permasalahan lingkungan, tumpahan minyak
About Author
aymanisa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2024-07-02
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *