Seperti apa bau air pasang yang merendam bunga-bunga padi di sawah yang banjir? Atau bantal kapuk yang lupa diangkat terjemur di tiang-tiang bambu yang bersusun. Apakah masih tersisa embun pagi musim kemarau, yang menempel di dinding rumah kayu yang basah dan kemudian kering diserap matahari. Sementara rumah-rumah panggung sudah berganti dengan rumah beton, dan embun enggan menempel.
Apakah penyair akan dikatakan gagal romantik ketika tidak bercinta di tengah gemerlap kota sambil menegak bir. Seperti kampus-kampus yang gagal melahirkan pujangga baru di Palembang, baik bahasa dan sastra yang monoton dengan acuan refrensi yang dangkal. Dan lagi-lagi, ensiklopedi tentang kota yang dituliskan seorang penyair tak lepas dari hujan, senja, rindu dan kalimat-kalimat patah hati dan kemurungan. Yang membuat sastra semakin bosan untuk dibaca, dan kata-kata patah hati di tiktok semakin laku. Aku pun, setuju dengan itu. Sebab tak ada bedanya sastra hari ini di Palembang, dengan curhatan remaja patah hati.
Bagaimana percintaan, dan kebahagiaan dari penyair-penyair urban kota Palembang, apakah bisa ditemukan lewat sajak? Tentu hampir mustahil ditemukan, hanya kemurungan yang ditampakkan, dan kebahagiaan remaja mekar mengenal cinta selangkangan tidak ada dalam metafora sajak-sajaknya. Dan itu tentu melemahkan, tidak jujur, dan fakir metafora. Barangkali aku akan membaca, ketika ia mengisyaratkan percintaan yang liar kedalam sebuah sajak seperti seorang Charles Bukowski yang vulgar diterjemahkan kedalam bahasa prokem oleh Hamzah Muhammad yang makin ditelanjanginya. Keluar dari puisi-puisi normatif Indonesia, yang membuatnya makin beda.
Gue teguk bir
terus bangun nyamperin kasur
dan nyingkap roknya lebih tinggi lagi;
aduhai banget;
pahanya mulus dong
tersibak, pasrah.
Tentu, aku akan membayangkan bagaimana Bukowski lahir di lahan basah. Dan akan banyak melahirkan puisi dan bercinta di atas perahu, jika ia hidup di lahan basah barangkali begini puisinya. Aku mencoba meramal kepala Bukowski, barangkali tidak berdosa. Sebab aku sedang tidak mengejek puisi-puisi penyair yang fakir metafora, bukan salahnya. Refrensi buku dari sekolah, yang membuat sastra makin mati dan stuck.
Jika Bukowski hidup di lahan basah;
Aku nemui pacarku duduk di atas perahu
mengajakku menebar pukat
lalu pacarku cemberut
mukanya lesu kayak ikan tanpa air.
Namanya Lusi,
matanya merah
aku pusing karena ia merengut
padahal kami sedang tidak mabok.
Perahu oleng
kami berpegangan
makin perahu oleng
lalu terungkup
kami pelukan tenggelam
di sungai yang tenang.
Sungguh hari ini di Palembang, sastra sangat beku dan kaku, tidak enak dinikmati. Lagi-lagi kepentingan-kepentingan dikaitkan dengan sastra. Seperti salah satu kampus di Seberang Ulu, yang mengadakan lomba menulis dan pembacaan puisi tentang kelapa sawit. Sementara seorang peserta, dusunnya terendam banjir di Muratara. Akibat perkebunan, dan kerusakan hutan. Lagi-lagi sastra sangat membosankan, pantas saja kalimat gombal di tiktok dan twitter lebih laku ketimbang karya sastra hari ini.
Lagi-lagi, apakah ensiklopedi di kota telah habis. Sehingga sastra begitu monoton untuk dibaca? Berbahagialah mereka yang tinggal di atas rumah panggung yang menikmati pasang surut air rawa dan lantai kayu yang beku sehabis hujan.
Maka lahan basah yang kaya akan ensiklopedi siap menyambut para penyair urban yang hijrah dan melahirkan puisi disana. Aku pun salah satunya.
Marry tidak makan tempoyak
jepang menghiasi kamar tidur marry
yang berdinding kayu tua yang lapuk
dan takoyaki jadi hidangan
di tudung saji
Sebuah puisi pendek penutup, nikmatilah. Tidak perlu sambil mengenggam botol bir, atau mencoba bercinta di atas perahu untuk menikmati tulisan ini.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait