Hijau Yang Tak Lagi Alamiah

Kehutanan, Pertanian
Hijau Yang Tak Lagi Alamiah
1 Februari 2024
142

“Awan Terhimpun Awan Membuyar: Perubahan Sosial dan Dilema Lingkungan”. Demikian judul buku yang di tulis oleh Hery Santoso, sebuah buku yang berusaha mengungkap fenomena perubahan sosial dan permasalahan lingkungan yang melanda beberapa daerah di Indonesia, terutama pada masyarakat yang hidup di lingkungan pedesaan.

Membaca buku tersebut, seakan membawa kita (pembaca) menyusuri hijaunya hamparan lahan pertanian yang ditumbuhi aneka macam tanaman, mengajak kita menengok kehidupan masyarakat pedesaan yang ramah dan bersahaja. Bahkan membaca buku tersebut seakan membawa kita kembali bernostalgia dengan masa lalu, menyusuri dan merasakan indahnya menjalani kehidupan yang harmonis antar sesama manusia serta antara manusia dengan alam.

Tetapi, terdapat hal lain yang muncul dalam pikiran saya setelah menjejaki kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragraf dalam setiap lembaran demi lembaran buku yang dirangkai oleh Hery Santoso tersebut. Adalah sebuah pertanyaan klise dan klasik, yang lebih mengarah pada persoalan lingkungan, terutama dalam sistem pertanian. Sebuah pertanyaan yang akan membuat kita kembali berpikir hal-hal yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja.

“Apakah hijau berarti alamiah?” Demikian pertanyaan yang muncul dalam benak saya setelah melahap habis buku dengan sampul berwarna cokelat tersebut.

Saya kemudian berargumen bahwa jika para aktivis, pegiat, dan pemerhati lingkungan, serta berbagai elemen yang menaruh perhatiannya pada isu-isu lingkungan menilai bahwa hijau adalah warna yang melambangkan kesejukan, keindahan, kealamiahan, dan sebagainya. Maka, dengan menggunakan pendekatan yang lebih radikal lagi, ternyata hijau yang menempel dalam semua objek tersebut tidak selalu berkonotasi baik.

Artinya, warna hijau yang menghiasi hamparan persawahan dan lahan-lahan pertanian yang memanjakan mata kita saat melihatnya, juga dapat berkonotasi buruk. Mengutip sepotong lirik lagu D’Masiv “cinta itu membunuhmu” atau tulisan peringatan di bungkus rokok “merokok membunuhmu”. Maka, sekali lagi, hijau yang selama ini dianggap sejuk, indah, dan alamiah juga menyimpan sifatnya sebagai pembunuh. Singkatnya “hijau itu membunuhmu”.

Sebagai contoh, jika kita melihat hamparan hijaunya pertanaman kentang di dataran tinggi Dieng yang dari kejauhan menyerupai sambungan karpet-karpet hijau persegi, terbentang menyelimuti bukit-bukit runcing hingga ke puncak-puncaknya, bahkan menjadikannya sebagai objek berswafoto, sebagaimana yang digambarkan Hery Santoso dalam bukunya. Nyatanya dibalik itu semua, kentang yang dibudidayakan petani Dieng tersebut menyimpan sejuta racun-racun kimia yang akan berbahaya bagi tubuh manusia jika dikonsumsi.

Hijaunya hamparan perkebunan tembakau di Wonosobo yang mengeluarkan aroma khasnya, nyatanya adalah seperti pembunuh berdarah dingin. Dengan kata lain, tanaman tersebut dapat merusak paru-paru seseorang ketika dikonsumsi dalam bentuk rokok kretek. Selain itu, ladang-ladang ganja di perkebunan Aceh yang menumbuhkan pucuk-pucuk hijau nan-segar, ternyata termasuk dalam salah satu jenis tanaman yang dapat mempidanakan si pembudidayanya. Hal ini disebabkan karena banyak sekali stigma buruk mengenai ganja sebagai tanaman candu dan peredarannya dilegalkan di Indonesia.

Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang jelaskan oleh Suwardi Endraswara dalam bukunya Ekologi Sastra (2016), yang mengatakan bahwa hijau berarti kesejukan, keberuntungan, dan kesehatan. Hijau melambangkan alam, kehidupan, dan simbol fertilitas. Hijau memang penuh ketentraman. Filosofi warna hijau akan menciptakan suasana tenang.

Artinya, hijau yang dalam konteks ekologi (alam) selalu berkonotasi baik, nyatanya memiliki dampak negatif bagi manusia dan mahluk hidup secara keseluruhan. Dengan kata lain, melihat hijau sebagai warna yang melambangkan kesejukan, kesegaran, dan keindahan serta kehidupan, justru dapat mengganggu ekosistem suatu kehidupan itu sendiri.

Selain itu, ketika kita melihat industri perkebunan monokultur, dalam hal ini perkebunan sawit yang dalam proses penanaman ditata secara rapi, serta membutuhkan perawatan intensif sehingga menumbuhkan pucuk-pucuknya hijau dan segar. Nyatanya, menyimpan berbagai persoalan yang sangat pelik. Mulai dari persoalan kelangkaan air yang dialami masyarakat yang bermukim di sekitar perkebunan sawit, perubahan ekosistem alam, sampai pada perampasan ruang hidup masyarakat adat.

Melihat berbagai problem yang telah dijabarkan di atas, menggiring saya untuk membuka kembali bukunya Daniel Goleman yang berjudul judul “Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impact of What We Buy Can Change Everything”. Dalam bukunya tersebut, Goleman menjelaskan bahwa sekian banyak produk yang berlabel hijau (ramah lingkungan), sebenarnya tergolong “kehijau-hijauan” yaitu dihiasi dengan penampilan yang seakan ramah lingkungan. Ia juga menambahkan bahwasanya apa yang digembar-gemborkan sebagai “hijau” pada kenyataannya hanya suatu fantasi atau sesuatu yang dibesar-besarkan.

Gagasan yang disampaikan oleh Goleman tersebut sebenarnya mengkritisi perilaku kita yang dianggap ramah lingkungan. Tetapi pilihan ramah lingkungan itu, seringkali meninabobokan kita untuk mengabaikan fakta bahwa apa yang sekarang ini kita pikir sebagai “hijau” barulah suatu permulaan, secuil hal baik di antara sekian banyak dampak buruk dari barang-barang produksi pabrik. Standar “kehijauan” yang sekarang ada itu mungkin kelak akan dianggap eco-miophia, pandangan yang dangkal terhadap lingkungan.

Dengan demikian, berangkat dari keresahan yang dituliskan Hery Santoso dalam “Awan Terhimpun Awan Membuyar” dan Daniel Goleman dalam “Ecological Intelligence”nya. Maka, Masanobu Fukuoka dalam “Revolusi Sebatang Jerami”, mencoba menjawab keresahan tersebut dan berusaha sebisa mungkin mengajak kita semua untuk membangkitkan keberanian dan melakukan sebuah perubahan, yaitu mengubah sikap kita terhadap alam, dan cara bertani kita yang selama ini semakin bergantung pada bahan-bahan kimia.

Dengan membangkitkan keberanian untuk melakukan sebuah perubahan atau “revolusi jerami” ala Fukuoka. Maka kita akan menemukan kembali filosofi hijau yang penuh ketentraman, hijau yang dapat membawakan kita pada kesejukan, keuntungan, kesehatan, serta ketenangan atau oleh bahasa Endraswara disebut “budaya hijau” . Dengan kata lain, kita akan menemukan filosofi hijau yang benar-benar melambangkan alam dan kehidupan, hijau yang alamiah dan bukannya “hijau yang membunuh”.

Untuk itu, sebagai penutup tulisan singkat ini, kiranya pernyataan Daniel Goleman  di bawah ini dapat menjadi bahan perenungan bagi kita semua, ia menegaskan bahwa “Hijau adalah suatu proses, bukan status. Kita perlu memikirkan hijau sebagai suatu kata kerja, bukan sebagai kata sifat. Pergeseran semantik tersebut mungkin bisa membantu kita untuk lebih berfokus pada upaya ramah lingkungan”.

greenfriendly, hijau, hijauyangtakalamiah
Tentang Penulis
Arifin Muhammad Ade
IPB University

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2024-03-06
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *