Aves (burung) adalah salah satu satwa yang mempunyai banyak jenis. Diperkirakan 8700 spesies yang hidup tersebar diseluruh dunia, dari Artik hingga Antartika (Sukiya, 2001). Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keanekaragaman jenis burung sangat tinggi. Spesies sebanyak 1598 burung tercatat di Indonesia (Sukmantoro, 2007) dengan 426 spesies termasuk spesies endemik menjadikan Indonesia sebagai peringkat pertama untuk endemisitas satwa burung (Burung Indonesia, 2014). Menurut MacKinnon (2010) total jenis burung yang tercatat di Pulau Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau Indonesia bagian timur distribusinya cukup besar, sedangkan burung di Pulau Jawa termasuk relatif sedikit.
Menurut Fachrul (Dewi, 2015: 13-14) keanekaragaman jenis burung disuatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ukuran luas habitat, struktur dan keanekaragaman vegetasi, keanekaragaman dan tinggi kualitas habitat secara umum di suatu lokasi, dan pengendalian ekosistem yang dominan. Selain itu keanekaragaman burung dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik.
Jenis burung di Pulau Jawa relatif sedikit bukan hanya disebabkan karena ukuran pulau lebih kecil jika dibanding Pulau Kalimantan dan Sumatera, tetapi juga kurangnya penelitian mengenai inventarisasi burung di Pulau Jawa dan pulau-pulau disekelilingnya. Laju pertumbuhan pembangunan di Jawa tertinggi dibanding pulau yang lain, hal ini pun menyebabkan habitat alami burung di Jawa lebih cepat berkurang dibandingkan yang lain.
Beberapa wilayah di Jawa yang masih terdapat habitat alami burung, salah satunya disebabkan oleh masyarakat sekitar yang menjaga kawasan tersebut. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat membuat kawasan tersebut menjadi kawasan hutan adat sehingga habitat alami hewan dan burung khususnya akan tetap terjaga. Salah satu hutan adat yang ada di Pulau Jawa adalah Hutan Adat Wonosadi terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tentang burung sebelumnya telah dilakukan komunitas Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) di Hutan Adat Wonosadi, akan tetapi belum diketahui keanekaragaman jenis burung jika dihubungkan dengan kerapatan kanopi pada hutan tersebut.
Strata Hutan Adat Wonosadi yang merupakan hutan berbukit mempunyai perbedaan kanopi pada beberapa ketinggian. Kerapatan kanopi di jalur pendakian Hutan Adat Wonosadi memiliki kerapatan kanopi sedang pada ketinggian paling rendah, kerapatan kanopi paling rimbun atau paling tinggi pada bagian tengah /ketinggian sedang, sedangkan kerapatan kanopi paling rendah berada di puncak ketinggian jalur pendakian. Perbedaan tutupan kanopi (tinggi rendahnya tutup kanopi) telah ditentukan sebelumnya sebelum dilakukan pengambilan data di lapangan dengan cara melihat intensitas cahaya yang masuk pada titik pengamatan Hutan Adat Wonosadi.
Studi keanekaragaman burung pada perbedaan kanopi di jalur selatan Hutan Adat Wonosadi merupakan penelitian awal dan terbatas. Studi ini sebagai studi pendahuluan untuk melakukan studi yang lebih luas yaitu dalam satu lingkup Hutan Adat Wonosadi (semua jalur pendakian). Penelitian dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Biologi 2013 UNY yaitu Rahmadiyono Widodo, Ratih Dewanti, Lanna Murpi, dan Triajeng Nur Amalia pada awal bulan Desember 2016.
Penelitian keanekaragaman burung berdasarkan kerapatan kanopi di jalur pendakian selatan Hutan Adat Wonosadi dilakukan selama dua hari. Penelitian dilakukan sepanjang jalur pendakian dengan membagi menjadi tiga stasiun pengamatan, yaitu hutan bagian dasar (ketinggian 244 mdpl), tengah (ketinggian 293 mdpl), dan puncak (343 mdpl). Pada setiap stasiun pengamatan dilakukan pengambilan data faktor abiotik meliputi intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban. Pengambilan data biotik mencakup jenis burung yang ditemukan beserta jumlahnya.
Pengamatan pada hari pertama hanya dilakukan pada sore hari dan hanya pada hutan bagian dasar. Pada pengamatan hari pertama tidak dilakukan pengambilan data faktor abiotik, sehingga data tidak dimasukkan karena tidak ada pembandingnya. Pada hutan bagian dasar, nilai intensitas cahaya 270 Lux dengan suhu 23 oC dan kelembaban udara >100%. Hutan bagian tengah mempunyai nilai intensitas cahaya 120 Lux dengan suhu 21,5 oC dan kelembaban udara >100%. Hutan bagian puncak mempunyai nilai intensitas cahaya 500 Lux dengan suhu 22 oC dan kelembaban udara >100%. Jika diperhatikan nilai intensitas cahayanya, hutan bagian dasar termasuk memiliki kerapatan kanopi kategori sedang karena nilai intensitas cahayanya berada diantara hutan tengah dan puncak. Hutan bagian tengah dengan nilai intensitas cahaya paling kecil menjadikannya sebagai stasiun dengan kategori kerapatan kanopi paling tinggi. Hutan bagian puncak memiliki nilai intensitas cahaya paling tinggi sehingga kerapatan kanopi termasuk kategori paling rendah. Suhu pada setiap stasiun pengamatan berbeda-beda, pertambahan ketinggian dataran tidak menjadikan suhu semakin tinggi atau semakin rendah. Kelembaban udara pada semua stasiun pengamatan >100 %, hal ini disebabkan karena selama pengamatan hujan turun.
Pengamatan terhadap jumlah dan jenis burung dilakukan pada setiap stasiun pengamatan. Pengamatan dilakukan dua hari, tetapi data hari pertama tidak dimasukkan karena tidak adanya pembanding. Pengamatan hari kedua pada hutan bagian dasar didapatkan empat jenis burung teramati, yaitu: Cabai jawa (Dicaeum trochileum) berjumlah satu individu, Burung-madu sriganti (Cynniris jugularis) satu individu, Cekakak sungai (Todiramphus chloris) satu individu, dan Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) lima individu. Stasiun kedua yaitu hutan bagian tengah teramati tiga jenis burung yaitu; Kipasan belang (Rhipidura javanica) satu individu, Cingcoang coklat (Brachypteryx leucophrys) satu individu, dan Delimukan zamrud (Chalcophaps indica) dua individu. Pengamatan pada stasiun ketiga atau puncak hutan didapatkan lima jenis burung; yaitu Walet linchi (Collocalia linci) satu individu, Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) satu individu, Caladi ulam (Dendrocopas analis) satu individu, Merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier) satu individu, dan burung dari famili Timaliidae satu individu. Total jenis burung yang teramati sebanyak 12 jenis.
Jumlah jenis burung yang teramati pada setiap stasiun dihubungkan dengan kerapatan kanopi yang didasarkan pada intensitas cahaya menunjukkan semakin tinggi kerapatan kanopi (nilai intensitas cahaya semakin rendah) maka jumlah jenis burung semakin sedikit. Pada kerapatan kanopi rendah (titik pengamatan puncak) dengan ketinggian 343 meter terdapat lima jenis burung antara lain adalah walet linci (Collocalia linci), cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), spesies burung dari suku timaliidae, caladi ulam (Dendrocopas analis), dan merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier). Empat spesies burung ditemukan pada kerapatan kanopi sedang (titik pengamatan dasar) dengan ketinggian 244 meter, burung yang ditemukan antara lain burung dari suku dicaidae (Dicaeum trochileum), burung madu sriganti (Cynniris jugularis), cekakak sungai (Todiramphus chloris), dan sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus). Tiga spesies burung ditemukan pada kerapatan kanopi tinggi (titik pengamatan tengah) dengan ketinggian 294 meter, terdapat tiga spesies yang ditemukan antara lain burung kipasan belang (Rhipidura javanica), cingcoang coklat (Brachypteryx leucophrys), dan delimukan zamrud (Chalcophaps indica).
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.