Kenalan dengan Cabai Katokkon : Cabai Endemik dari Tana Toraja

Flora, Tumbuhan
Kenalan dengan Cabai Katokkon : Cabai Endemik dari Tana Toraja
22 April 2024
70

Cabai katokkon (Capsicum annum var. chinense) yang juga dikenal dengan nama cabe bakul atau lada katokkon dalam bahasa Toraja, merupakan cabai endemik yang menjadi andalan masyarakat suku Toraja. Cabai ini resmi tercatat di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian dengan nomor publikasi 055/BR/PVL/02/2014.

Sentra pertumbuhan dan produksi cabai berpusat di Kabupaten Tana Toraja. Meskipun asal usulnya masih diperdebatkan, ada kemungkinan benih cabai ini dibawa oleh Portugis atau misionaris Belanda, kemudian beradaptasi secara lokal. Migrasi masyarakat etnis Toraja ke daerah lain menyebabkan cabai ini menyebar di Kabupaten Toraja Utara, Enrekang dan Mamasa.

Morfologi Cabai Katokkon

Sekilas bentuk cabai ini bulat tak sempurna mirip seperti paprika. Namun, ukurannya lebih kecil berkisar antara 3 – 4 cm, pendek, dengan dasar buah yang tumpul dan agak bergelombang. Saat masih muda, cabai ini berwarna hijau keunguan dan akan berubah menjadi merah segar saat matang.  Bijinya berbentuk bulat, pipih, berwarna kuning, dengan kulit yang cukup keras (Nugroho & Sumardi, 2015).

Syarat Tumbuh Cabai Katokkon

Cabai katokkon tumbuh optimal di dataran tinggi pada ketinggian 600 - 1500 m di atas permukaan air laut (mdpl). Jika ketinggian kurang dari 600 mdpl, maka dapat memengaruhi aroma dan tingkat kepedasan. Tanaman juga bisa gagal berbuah karena mengalami kerontokan bunga dan buah. Penelitian yang dilakukan oleh Flowrenzhy dan Harijati (2017) menunjukkan bahwa cabai katokkon yang ditanam pada ketinggian 1.200 mdpl lebih cepat berbunga dan berbuah dengan produktivitas mencapai 916,3-1.089,3 g/tanaman. Sedangkan, produktivitas cabai yang ditanam di ketinggian 600 mdpl hanya mencapai 661,9-989,8 g/tanaman. Ketinggian tempat yang berbeda tidak memengaruhi bentuk dan warna buah.

Tingkat Kepedasan Cabai Katokkon

Berdasarkan Scoville Heat Unit (SHU) atau satuan ukur konsentrasi zat pedas (capsaicin), tingkat kepedasan cabai ini berada pada kisaran 400.000-600.000 SHU. Cukup berbeda jauh jika dibandingkan dengan ukuran konsentrasi cabai rawit biasa yang hanya sebesar 100.000 SHU. Penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2018) menunjukkan kadar capsaicin pada bubuk cabe katokkon hijau sebesar 2665,493 SHU dan bubuk cabe katokkon merah sebesar 3029,7 SHU.

Harga Cabai Katokkon

Aroma yang khas dan rasa yang sangat pedas bercampur manis ketika digigit menjadikan cabai katokkon banyak diminati oleh masyarakat setempat. Hal ini memengaruhi harga cabai ini yang dapat mencapai Rp60.000-Rp80.000/kg. Bahkan dapat melambung tinggi menjadi ratusan ribu per kg di pasaran terutama saat musim hujan atau hari besar keagamaan. Cabai katokkon dapat dinikmati sebagai campuran dalam masakan khas seperti pa'piong, tollo lending, utun tutu, dan tutuk lada. Cabai ini juga dapat diolah menjadi oleh – oleh untuk wisatawan dalam bentuk sambal kemasan siap saji.

Budidaya Cabai Katokkon

Budidaya cabai katokkon dilakukan menggunakan biji yang sehat dari buah yang sudah masak dan pohon yang berbuah banyak. Panen cabai ini dapat dilakukan hingga empat kali dalam 1 kali musim tanam. Panen pertama dapat dilakukan ketika tanaman sudah berusia 3-4 bulan setelah pindah tanam. Satu tanaman cabai ini dapat menghasilkan 100-150 buah dengan berat sekitar 0,8 - 1,2 kg. Panen berikutnya dilakukan setiap tiga hari sekali dengan pemetikan hingga 10 bulan.

Permasalahan yang dijumpai saat membudidayakan cabai ini adalah kondisi buah yang cepat membusuk disebabkan kandungan air yang sangat tinggi dan sulitnya benih untuk berkecambah dengan perkecambahan yang tidak seragam. Kadang kala, sulit memenuhi permintaan cabai dari luar daerah. Salah satu upaya untuk meningkatkan daya kecambah dan hasil cabai Katakkon adalah melalui teknologi seed priming.

Varietas Cabai Katokkon

Penelitian yang dilakukan oleh Wätjen dkk (2021) menemukan tiga jenis cabai katokkon yang berbeda yakni Limbong Sampolo, Leatung I and Leatung II. Pemberian nama disesuaikan dengan nama desa tempat benih diperoleh dan belum terdaftar secara resmi. Ketiga varietas ini memiliki daun berbentuk elips dengan pangkal daun bulat dan tulang daun menyirip. Perbedaan dapat diamati dari bentuk cabainya. Cabai 'Limbong Sampolo' berbentuk bulat, melengkung dan tidak terlalu runcing dengan warna ungu di sekitar kelopaknya yang menghilang saat dewasa. Sedangkan, cabai 'Leatung 1' dan 'Leatung 2' umumnya berbentuk lebih memanjang dan lebih runcing. Ditinjau dari kandungan gizinya, 'Limbong Sampolo' memiliki kandungan capsaicin dan pro-vitamin A tertinggi. Sedangkan, 'Leatung 1' memiliki kandungan vitamin C tertinggi. Penelitian Al – Amanah (2022) menambahkan satu variasi genotip dari cabai ini yakni Jumbo. Keempat variasi ini mungkin bersifat genetik karena dapat tumbuh di semua ketinggian dan lokasi tanpa mengubah bentuk dan warna buah.

Gambar 1. Dokumentasi lapangan dari karakteristik morfologi berupa warna dan bentuk buah dari empat varietas cabai katokkon (C. annum var. Chinense) yang ditanam di Tana Toraja, Toraja Utara, Enrekang, dan Mamasa di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. A. Genotipe Limbong Sangpolo (disebut “Lokal” di beberapa daerah), B. Genotipe Leatung 1, C. Genotipe Leatung 2, D. Genotipe Jumbo (Al - Amanah dkk, 2022).

Saat ini peneliti sedang berupaya untuk mengembangkan varietas baru dari cabai ini yang dapat tumbuh pada ketinggian yang lebih rendah dengan peningkatan tingkat kepedasan atau kemanisan buah. Selain itu, cabai Katokkon juga mulai dikembangkan di luar wilayah Sulawesi Selatan seperti di Pacet Cipanas, Ciapus Bogor, dan Sukabumi.

Referensi

  1. Nugroho, L.H., & Sumardi, I. (2015). Buku Ajar Struktur Perkembangan dan Fungsi Tumbuhan. Fakultas Biologi : Universitas Gadjah Mada.
  2. Flowrenzhy, D., & Harijati, N. (2017). Pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai katokkon (Capsicum chinense Jacq.) di ketinggian 600 meter dan 1.200 meter di atas permukaan laut. Biotropika: Journal of Tropical Biology, 5(2), 44-53.
  3. Amaliah, N. (2018). Penentuan Kadar Capsaicin menggunakan metode kromatografi lapis tipis (klt) pada cabe katokkon. JST (Jurnal Sains Terapan)4(1), 49-56.
  4. Kementerian Pertanian Republik Indonesia : Pusat Perpustakaan dan Literasi Pertanian. 2022. Varietas Cabai Katokkon. https://pustaka.setjen.pertanian.go.id/index-berita/varietas-cabai-katokkon
  5. Wätjen, A., Huyskens-Keil, S., & Stöber, S. (2021, April). Nutritional Assessment of Indonesian Chilli Landraces (Capsicum chinense Jaqc.). In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science(Vol. 748, No. 1, p. 012033). IOP Publishing.
  6. Al-Amanah, H., Sjahril, R., Haring, F., Riadi, M., & Larekeng, S. H. (2022). Mapping distribution of Capsicum annum var. chinense in Tana Toraja and surrounding districts (Indonesia) based on fruit morphology. Biodiversitas Journal of Biological Diversity23(2).
#flora, cabai, endemik
Tentang Penulis
Brenda Febrina Zusriadi
Biologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2024-04-22
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *