Budaya Hijau, Membangun Keharmonisan dengan Alam

Aktivitas
Budaya Hijau, Membangun Keharmonisan dengan Alam
20 Juni 2023
985

"Hijau adalah suatu proses, bukan status. Kita perlu memikirkan hijau sebagai suatu kata kerja, bukan sebagai kata sifat. Pergeseran semantik tersebut mungkin bisa membantu kita untuk lebih berfokus pada upaya ramah lingkungan."

 

Daniel Goleman

 

Arus modernisasi dan globalisasi dengan segala konsekuensinya terhadap ekologi kita telah melanda umat manusia dewasa ini, baik secara positif maupun negatif. Ini ditandai misalnya dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi informasi, yang membawa berbagai dampak dalam kehidupan, baik ekonomi maupun sosial budaya dan ekologi fisik manusia itu sendiri.

 

Globalisasi telah menyebabkan semakin tingginya mobilitas orang, suatu hal yang tidak bisa kita hindari saat ini, perubahan pola hidup masyarakat akan globalisasi pun tidak dapat dihindari. Segala macam masuk melalui globalisasi, mulai dari budaya asing sampai pada penggunaan teknologi yang tidak semuanya memberikan dampak positif untuk masyarakat.

 

Pemanasan global (global warming) akibat penggunaan bermacam alat hasil dari modernisasi tanpa aturan yang tepat tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, pembiasaan hidup berbasis konservasi sangat digencarkan saat ini. Bumi akan semakin panas dan semakin memberikan stimulan negatif kepada mahluk hidup khususnya manusia jika kita tidak sadar untuk dan menjaganya dengan baik.

 

Kehadiran arus modernisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi juga meningkatkan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Hal ini bukan saja mengancam keberadaan manusia dan mahluk hidup lainnya serta terdegradasinya lingkungan hidup, namun juga menggerus budaya dan identitas suatu komunitas masyarakat. Generasi mudah sudah tidak terikat secara emosional dengan alam yang terpupuk melalui rangkaian perjalanan ke hutan, ritual, atau warisan pengetahuan para leluhur.

 

Masyarakat merupakan bagian dari bumi, mereka tinggal bersama dalam suatu komunitas di wilayah tertentu, dan dari berbagai wilayah-wilayah tersebut akan berkumpul menjadi suatu negara yang besar. Membiasakan hidup dengan budaya hijau (green culture) untuk mencegah pemanasan global dan kembali hidup selaras dengan alam menjadi sebuah keharusan. Berbudaya hijau memulai dari level individu, keluarga dan wilayah akan sangat mendukung kesuksesan dalam lingkup negara.

 

Di samping itu, merevitalisasi kembali kearifan lokal adalah salah satu langkah yang harus diambil, saat gempuran globalisasi datang dari segala penjuru. Menggali kembali kearifan lokal yang secara perlahan mulai tergilas oleh arus globalisasi akan meningkatkan kepedulian kita terhadap alam.

 

Menghadapi masalah-masalah lingkungan di atas, faktor penyebab yang paling signifikan adalah lahir dan disebabkan oleh faktor manusia dibandingkan dengan murni faktor alam itu sendiri. Manusia dengan berbagai dimensinya, terutama dengan mobilitas pertumbuhannya, akal pikiran dengan segala aspek-aspek kebudayaannya, dan begitu juga dengan faktor proses zaman yang mengubah karakter dan pandangan manusia, merupakan faktor yang lebih tepat dikaitkan dengan masalah-masalah lingkungan hidup.

 

Manusia dan lingkungan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduannya sama-sama memberikan sumbangsih. Manusia membutuhkan lingkungan untuk hidup dan berperilaku, sedangkan tanpa manusia lingkungan juga tidak pernah ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya merupakan suatu jalinan transactional interdependency atau terjadinya ketergantungan satu sama lain (Soesilo, 1989).

 

Manusia adalah pemilik kekuasaan penuh untuk mengendalikan kualitas lingkungan. Sayangnya kekuasaan ini sering kali disalahgunakan sehingga membawa dampak negatif bagi lingkungan. Sehingga sangat penting untuk segera merubah perilaku masyarakat menjadi sebuah kebiasaan yang dapat selalu menjaga lingkungannya.

 

Guna meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan, maka gagasan yang dapat menjadi sebuah solusi untuk segera diimplementasikan adalah pendekatan berdasarkan konsep budaya hijau (green culture). Budaya hijau (green culture) adalah refleksi budaya masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan merupakan sebuah konsep yang memadukan isu sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat memberikan pengertian yang mudah terhadap pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai dan pengetahuan lokal untuk menyelamatkan masa depan lingkungan hidup.

 

Eko Nurmardiansyah (2014), mengungkapkan bahwa pada saat ini banyak sekali istilah-istilah yang ditampilkan dan digunakan dengan mengaitkan kata green (hijau), seperti green politic (politik hijau), green banking (bank hijau), green market (pasar hijau), green building (pembelajaran hijau/ramah lingkungan), green economy (ekonomi hijau), green democracy (demokrasi hijau), dan lain-lain.

 

Tetapi, begitu banyak produk yang diberi label green hanyalah omong kosong belaka, dan menyoroti ketidakkonsisten manusia dalam menanggapi krisis ekologi. Produk-produk yang diberi label green tersebut sebenarnya tergolong greenish (kehijau-hijauan), yaitu dihiasi dengan penampilan yang seakan ramah lingkungan (Goleman, 2007).

 

Dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berbudaya hijau (green culture), maka terlebih dahulu yang harus dikedepankan adalah menanamkan kesadaran masyarakat yang bersifat autonomous, yaitu kepatuhan untuk melestarikan lingkungan hidup yang didasari oleh kesadaran pribadi yang ada pada diri seseorang. Dengan kesadaran pribadi maka kepatuhan seseorang untuk menjaga lingkungan hidup merupakan suatu keniscayaan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Budaya hijau (green culture) merupakan aplikasi kesadaran dan kepahaman manusia yang dilaksanakan secara konsisten dalam mewujudkan dan memelihara lingkungan lestari. Upaya mengubah perilaku harus dimulai dari level individu. Saatnya budaya hijau harus dijadikan sebuah trend baru.

 

Strategi menghadirkan generasi berbudaya hijau harus dapat diupayakan melalui sektor pendidikan dan sosial budaya. Pendidikan lingkungan hidup meski hadir di sekolah dan perguruan tinggi, baik normatif maupun aplikatif. Program sekolah ramah lingkungan dan kampus ramah lingkungan perlu dikembangkan lebih intensif. Penting bahwa keluarga dan lingkungan masyarakat menciptakan suasana kondusif dan membuka kesempatan bagi anak muda untuk berkiprah dalam aksi lingkungan. Sudah saatnya anak mudah diberikan porsi tugas rumah untuk menyapu, mengolah sampah, menanam atau merawat tanaman. Anak mudah mesti sadar bahwa gaya hidup hijau (peduli lingkungan) itu juga “gaul” atau dengan kata lain“tidak gaul kalau tidak hijau”.

 

Dalam buku Etika Lingkungan Hidup, Arne Naess, filsuf Norwegia yang mengembangkan pemikiran The Deep Ecology, menawarkan sebuah solusi bagi krisis lingkungan hidup berupa perubahan radikal dalam pola dan gaya hidup kita sebagai manusia. Sebuah pola dan gaya hidup yang didasarkan pada kesadaran tentang pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup demi menyelamatkan kehidupan.

 

Akan tetapi, bagi Arne Naess, perubahan pola dan gaya hidup itu tidak hanya dilakukan oleh masing-masing individu. Yang dibutuhkan adalah perubahan pola dan gaya hidup menyeluruh sebagai sebuah masyarakat. Pola dan gaya hidup baru itu harus melembaga menjadi sebuah budaya baru masyarakat modern, budaya ramah lingkungan (Keraf, 2010).

 

Dari pemikiran Naess yang telah dipaparkan di atas, maka untuk memelihara dan menyelamatkan lingkungan hidup diperlukan perubahan pola dan gaya hidup pada level masyarakat. Pola dan gaya hidup yang hanya sebatas pada diri individu masing-masing tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi kelestarian lingkungan hidup.

 

Akan tetapi, mengubah kebiasaan berbudaya hijau dari level individu merupakan sebuah keharusan. Karena, dari dalam diri individu tersebut yang telah terbiasa dengan pola dan gaya hidup yang ramah lingkungan, maka Ia akan mempengaruhi individu-individu yang lain. Kita harus memulai dari level terkecil yaitu dari dalam diri masing-masing. Di sini, yang kita butuhkan adalah kesadaran pribadi yang ada dalam diri kita (autonomous).

 

Strategi membangun budaya hijau juga dapat dilakukan dengan pendekatan kearifan lokal (local wisdom). Adaptasi manusia dalam lingkungannya telah merangsang perilaku dan tindakan yang beragam. Di sinilah budaya muncul dalam perikehidupan masyarakat. Budaya yang menjadi penciri suatu komunitas selain berusaha bertahan dalam poros orisinalitasnya juga dituntut berkembang tanpa harus ada perombakan. Dari kebudayaanlah pola kehidupan masyarakat terbentuk menjadi gagasan maupun perilaku yang melekat pada setiap individu. Karena itu, antara budaya dan moralitas memiliki hubungan timbal balik yang tidak bisa terpisahkan.

 

Berangkat dari ajakan Arne Naess tentang mengubah pola dan gaya hidup menyeluruh dalam suatu komunitas masyarakat di suatu wilayah, maka kita dituntut untuk tetap berpegang pada adat istiadat, budaya, serta kearifan lokal yang telah tertanam dan merupakan warisan dari para leluhur kita.

 

Menjadikan kearifan lokal sebagai suatu pandangan untuk menata kehidupan yang selaras dan harmoni dengan alam adalah hal yang paling utama. Karena bagaimana pun juga kearifan lokal (local wisdom) mencakup semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupannya di dalam suatu komunitas ekologis.

 

Tentang Penulis
Arifin Muhammad Ade
IPB University

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2024-05-11
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *