Bagai Pedang Bermata Dua, Inilah Kisah Hidup Si Gulma Eichhornia crassipes

Aktivitas, Flora
Bagai Pedang Bermata Dua, Inilah Kisah Hidup Si Gulma Eichhornia crassipes
8 Agustus 2021
1151

Gulma, kelompok tanaman yang disebut sebagai hama ini banyak dijumpai baik di ekosistem terestrial (darat) maupun perairan. Di perairan, gulma dikenal dengan istilah gulma air. Gulma air yang biasa ditemukan adalah eceng gondok. Tumbuhan air ini umumnya hidup di rawa, danau atau sungai dengan arus yang tenang. Eceng gondok memang kerap dianggap gulma karena dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang pesat di perairan secara alami. Hal ini dikarenakan eceng gondok termasuk jenis tumbuhan yang memiliki pertumbuhan cepat, yakni  dari satu batang eceng gondok dapat menutupi area seluas 1 m2 dalam waktu 52 hari (Soedarsono et al. 2013). Dampaknya, tidak jarang pertumbuhan yang pesat pada tanaman menyebabkan seluruh permukaan air tertutupi oleh eceng gondok tersebut.

 

Eceng gondok dinilai sebagai gulma karena dampak buruk dari keberadaannya yang tidak terkontrol. Tumbuh suburnya eceng gondok yang tidak terkontrol tersebut menimbulkan permasalahan serius apabila tidak ditangani dengan segera. Populasi eceng gondok yang berlebihan akan menutupi perairan sehingga menghambat masuknya cahaya ke badan air. Kondisi ini menghambat kemampuan fitoplankton dalam berfotosintesis sehingga menurunkan produksi oksigen di dalam air. Selain itu, tingginya kemampuan evapotranspirasi pada eceng gondok mengakibatkan jumlah air di perairan cepat berkurang. Diketahui, eceng gondok ini mampu menghilangkan air di permukaan hingga empat kali lebih besar dibandingkan dengan perairan terbuka pada proses transpirasi tumbuhan (Gopal dan Sharma 1981). Maka, tidak mengherankan jika perairan akan semakin dangkal. Ditambah lagi, jika eceng gondok tersebut mati maka akan jatuh dan menumpuk di dasar lalu terurai menjadi sedimen atau bahan organik sehingga bertambah pula pendangkalan perairan.

 

Mengetahui fakta ini, memang rasanya wajar saja jika banyak orang menganggap eceng gondok ini sebagai gulma yang seharusnya tidak ada. Inilah yang mungkin dirasakan bagi sebagian orang saat Rawa Pening mengalami masalah tersebut. Danau di Semarang ini selain populer akan wisata rawanya, juga menyimpan masalah eceng gondok tersebut. Selain menimbulkan masalah ekologi, tingginya populasi eceng gondok di danau tersebut terkadang juga menghalangi jalannya perahu yang menyeberang saat berkeliling membawa wisatawan.

 

Menurut penelusuran, tumbuhan air ini ternyata bukan asli asal Indonesia. Tumbuhan air tersebut dibawa oleh Belanda dari Brazil pada tahun 1894 untuk menambah koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Tumbuhan tersebut pertama kali ditemukan oleh seorang botanis asal Jerman, Carl Friedrich Phillipp von Martius pada saat berekspedisi di Sungai Amazon, Brazil di tahun 1824. (Utomo 2016).

 

Di balik sifat gulmanya, sebenarnya tumbuhan ini memiliki manfaat ekologi dan ekonomis yang besar. Secara ekologi, eceng gondok berperan besar meningkatkan kualitas air menjadi lebih jernih karena mampu menyerap bahan organik di perairan seperti senyawa nitrogen dan fosfor kandungannya tinggi pada air yang tercemar (Ratnani et al. 2011). Biasanya perairan yang di dalamnya terdapat tumbuhan air seperti eceng gondok ini memiliki air yang cukup jernih apabila terkelola dengan baik. Selain itu, eceng gondok hidup di perairan dengan akar yang mengapung di dalam perairan  dan bagian batang, daun serta bunganya mengapung muncul di permukaan. Bagian tumbuhan yang mengapung tersebut biasanya menjadi rumah bagi telur-telur ikan atau sekadar tempat ikan-ikan kecil bermain. Secara tidak langsung, eceng gondok berperan besar menjaga keseimbangan ekosistem perairan jika pertumbuhannya mampu dikendalikan.

 

Sementara secara ekonomis, eceng gondok ini telah banyak dimanfaatkan menjadi sebuah produk yang bernilai lebih. Eceng gondok tersebut diolah menjadi sebuah kerajinan seperti tas, kursi, dan produk tangan lainnya. Pemanfaatan ini menggunakan batang eceng gondok yang dijemur kering kemudian dianyam menjadi sebuah kerajinan tangan. Adapun pada bagian lainnya yang tidak termanfaatkan juga bisa diolah menjadi pupuk kompos. Jadi, rasanya tidak ada hal yang tercipta di bumi ini secara sia-sia. Keberadaan eceng gondok ini memang bagai pedang bermata dua, jika tidak dikendalikan akan menjadi gulma dan apabila dikelola dengan baik akan menjadi barang berharga.

 

Referensi

Gopal B, Sharma. 1981. Water Hyacinth (Eichhornia crassipes (Malt) Solms) The Most Troublesome Weed of The Word. New Delhi(IND): Hindasia.

Ratnani RD, Hartati I, Kurniasari L. 2011. Pemanfaatan eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk menurunkan kandungan COD (Chemical Oxygen Demand), pH, bau, dan warna pada limbah cair tahu. Momentum. 7(1): 41-47.

Soedarsono P, Sulardiono B, Bakhtiar R. 2013. Hubungan kandungan nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) terhadap pertumbuhan biomassa basah eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang berbeda lokasi di perairan Rawa Pening Ambarawa, Kabupaten Semarang. Journal of Management of Aquatic Resources. 2(2): 66-72.

Utomo AW. 2016. Merajut hidup dari bengok : pola-pola pemanfaatan bengok (eceng gondok) di sekitar Danau Rawa Pening dalam perspektif pembangunan berkelanjutan. Jurnal Cakrawala. http://download.garuda.ristekdikti.go.id/ [diunduh 08 Agustus 2021].

Tentang Penulis
Lia Sutiani
Manajemen Sumberdaya Perairan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2021-08-08
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *