Indonesia: Laboratorium Dunia Penelitian Orangutan

Kehutanan, Satwa
Indonesia: Laboratorium Dunia Penelitian Orangutan
19 Agustus 2021
1723

Selamat Hari Orangutan! Bagi peneliti primata atau yang menekuni bidang anthro-biologi, penelitian kera kesar menjadi bahasan umum baik di dalam kelas bahkan diskusi-diskusi terkait teori evolusi. Dalam pelajaran tingkat sekolah dasar, satwa primata/kera besar juga sudah mulai diperkenalkan secara umum. Namun apakah kita tahu kapan penelitian kera besar ini mulai dilakukan dengan lebih serius? Louis Seymour Bazett Leakey adalah seorang ahli paleantropologi dan arkeologi Inggris-Kenya sangat tertarik dengan teori evolusi manusia mengirimkan mahasiswanya ke negara-negara yang memiliki kera besar. Leakey’s Angels atau The Trimates adalah sebutan para peneliti perempuan yang dikirim oleh Leakey untuk menjawab hipotesa-hipotesanya. Para Angels tersebut adalah Jane Goodall yang ditugaskan untuk meneliti simpanse di Gombe pada tahun 1960; Dian Fossey adalah perempuan peneliti Gorila di Rwanda pada tahun 1966; dan yang terakhir adalah Birutė Galdikas yang ditugaskan untuk meneliti Orangutan di Indonesia pada tahun 1971. Sejak saat itu, penelitian kera besar (Simpanse, Gorila, dan Orangutan) menjadi topik yang sering dibahas hingga saat ini.

 

Sejak dimulainya penelitian orangutan di Indonesia pada tahun 1971, Indonesia memiliki 2 stasiun penelitian orangutan tertua yaitu stasiun penelitian orangutan “Camp Leakey” di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah dan stasiun penelitian orangutan “Ketambe” yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser. Kedua Stasiun penelitian tersebut masih aktif dan telah menghasilkan temuan-temuan ilmiah berskala internasional. Sejak saat itu, Indonesia telah mengembangkan beberapa stasiun penelitian orangutan lainnya yaitu: Mentoko dan Prevab (TN Kutai, Kalimantan Timur), Cabang Panti (TN Gunung Palung, Kalimantan Barat), Bukit Peninjau (TN Danau Sentarum, Kalimantan Barat), Setia Alam (TN Sebangau, Kalimantan Tengah), Punggualas (TN Sebangau, Kalimantan Tengah), Tuanan (areal Mawas-Eks. PLG, HL Kapuas, Kalimantan Tengah), Mangku (Rungan-Kahayan, Kalimantan Tengah), Suaq Balimbing (Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Selatan), Bukit Lawang dan Sikundur (Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara) dan Mayang (Batang Toru, Sumatra Utara), dan masih akan terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

 

Selama 50 tahun, Indonesia menjadi laboratorium alam para peneliti orangutan, baik peneliti asing maupun peneliti Indonesia yang telah diakui di seluruh dunia. Namun, hasil penelitian jangka panjang merupakan aset yang belum dimaksimalkan untuk mendukung implementasi konservasi orangutan dan spesies lainnya di Indonesia. Dokumentasi dan publikasi terkini dari berbagai aspek nutrisi, kesehatan, genetika, kajian lansekap telah benyak memberikan wacana baru dalam mendukung konservasi orangutan. Tantangan saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan wacana keilmuan dalam implementasi konservasi orangutan, serta terus memperbaharui ilmu pengetahuan untuk menjawab tantangan masa depan seperti krisis perubahan iklim, potensi zoonis dan menemukan skema peluang pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

 

Temuan Yang Mencengangkan

Jenis dan Sebaran Orangutan Baru1. Sejarah mencatat bahwa orangutan tersebar dari Tiongkok Selatan sampai dengan ujung dataran paparan sunda. Sebaran terkini orangutan liar hanya dijumpai di Pulau Sumatra dan Kalimantan, termasuk Sabah dan Sarawak di Malaysia. Pada tahun 2017, terdapat penemuan jenis orangutan baru berdasarkan perbedaan morfologi dan genetika yaitu orangutan tapanuli, (Pongo tapanuliensis).  Dengan temuan tersebut, Indonesia memiliki tiga jenis orangutan, yaitu orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), orangutan Sumatra (Pongo abelii) dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Selain itu, sebaran orangutan telah ditemukan di Kalimantan Selatan, area sebaran yang tidak pernah dilaporkan sebelumnya. Secara global, populasi orangutan liar saat ini adalah 71.820 individu pada habitat seluas 17,5 juta hektar. Orangutan kalimantan diperkirakan 57.350 individu pada habitat seluas 16 juta hektar. Sebagian di antaranya berbagi populasi dan habitat dengan orangutan kalimantan di Serawak. Sementara itu, orangutan Sumatra sebanyak 13.710 individu pada habitat seluas 2 juta hektar dan orangutan tapanuli diperkirakan hanya 577-760 individu pada habitat seluas 105 ribu hektar. Perbedaan jumlah populasi masing-masing jenis orangutan memunculkan tantangan baru dalam perlindungan kera endemik ini.

 

Mengamati perilaku orangutan ibu-anak di stasiun penelitian orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah. Dok. Didik Prasetyo

 

Tantangan bagi konservasi orangutan menjadi cukup berat karena setidaknya 78% habitat orangutan Kalimantan tersebar di luar kawasan konservasi (kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam dan taman buru) yaitu kawasan yang dikelola oleh konsesi kehutanan, perkebunan monokultur, pertambangan, area kelola masyarakat dan area kelola Kesatuan Pengelolaan Hutan /KPH. Dampak dari dinamika pembangunan dan lingkungan menyebabkan habitat utamanya pada hutan dataran rendah semakin berkurang. Sementara itu, orangutan lebih menyukai habitat hutan hujan tropis dataran rendah kering dan rawa dibandingkan hutan dataran tinggi. Situasi terkini memperlihatkan bahwa populasi orangutan tersebar di banyak kantong habitat. Aksi kolaboratif yang kuat di tingkat tapak dan dukungan kebijakan dari tingkat regional sampai dengan nasional sangat diperlukan untuk melindungai populasi orangutan dari bahaya kepunahan.

 

Masa Hidup dan Siklus Reproduksi Orangutan2. Masa hidup orangutan di alam dapat mencapai lebih dari 50 tahun dan rata-rata orangutan betina siap mempunyai keturunan pada umur 14.8 tahun dengan masa subur mencapai usia 45-50 tahun. Orangutan memiliki masa kehamilan (gestation) berkisar 245 hari. Induk orangutan membesarkan anaknya sendirian. Selama tahun pertama kehidupan, bayi orangutan terus-menerus digendong oleh induknya. Bahkan setelah tahun pertama ia terus disusui dan dibawa jauh sambil belajar memakan makanan padat. Tahap anak (juvenile) orangutan dimulai sekitar usia tiga tahun. Jarak antar kelahiran (IBI) orangutan sekitar 7,6 tahun (5,5-9,3 tahun), namun anak orangutan masih belum mandiri sepenuhnya hingga mencapai usia sekitar 7,8 tahun (weaning). Berbeda dengan orangutan liar, orangutan yang hidup di pusat rehabilitasi dan kebun binatang memiliki masa hidup dan siklus resproduksi yang lebih cepat. Sebagai contoh orangutan betina dapat mencapai matang kelamin kurang dari 12 tahun dan memiliki jarak antar kelahiran yang lebih pendek yaitu 5-6 tahun. Lambatnya siklus reproduksi pada orangutan menjadikannya sebagai kera yang memiliki resiko sangat tinggi dari perubahan habitat dan perburuan.

 

Status Energi Orangutan3,4. Sebagai kera pemakan buah, ketersediaan buah di hutan sangat penting bagi orangutan. Hampir 60% di dalam menu makanannya adalah buah yang berasal dari sekitar 1.500 jenis tumbuhan. Walaupun demikian, keberadaan buah tidak selalu stabil pada wilayah tertentu, sehingga orangutan membutuhkan strategi dalam pemenuhan nutrisi. Dari hasil penelitian jangka panjang terhadap kebutuhan nutrisi orangutan liar, diketahui bahwa pada musim buah berlimpah orangutan jantan membutuhkan 8.422 kkal/hari dan orangutan betina 7.404 kkal/hari. Kondisi ini sangat berbeda pada saat musim paceklik buah dimana orangutan jantan hanya membutuhkan 3.824 kkal/hari sedangkan betina 1.793 kkal/hari. Perubahan kebutuhan nutrisi harian pada orangutan merupakan bentuk strategi bertahan hidup yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber pakan di alam. Hal ini diketahui bahwa orangutan tidak selalu terpaku pada ketersediaan buah sebagai sumber pakan, tetapi dapat berasal dari daun dan kulit tumbuhan.

 

Strategi pemenuhan nutrisi harian pada kondisi yang berbeda menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan masa tubuh orangutan dan diketahui kebutuhan kalori harian pada orangutan secara lengkap adalah orangutan jantan berpipi (108.18 kkal/kg MBM), jantan tidak berpipi (204.14 kkal/kg MBM), betina dewasa (209.11 kkal/kg MBM), jantan remaja (264.95 kkal/kg MBM), dan betina remaja (299.03 kkal/kg MBM). Temuan ini juga ditemukan pada orangutan yang hidup di pusat rehabilitasi yang ketersediaan nutrisi masih tergantung dengan bantuan manusia. Sebagaimana disimpulkan bahwa orangutan jantan berpipi membutuhkan asupan energi harian sebanyak 83.06 kkal/kg MBM, sedangkan orangutan jantan tidak berpipi adalah 121.88 kkal/kg MBM. Berdasarkan hasil temuan penelitian jangka panjang terhadap status dan strategi kebutuhan nutrisi pada orangutan, disimpulkan bahwa orangutan jantan berpipi membutuhkan asupan energi harian yang paling kecil dibanding kelompok umur lainnya. Temuan ini dapat mengubah paradigma konservasi orangutan di alam liar dan rehabilitasi. Secara langsung informasi mengenai kebutuhan nutrisi ini dapat menjadi landasan bagi penilaian daya dukung habitat secara lebih rinci.

 

Tantangan Masa Depan Penelitian Orangutan

Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan habitat orangutan, tantangan tema penelitian eko-biologi orangutan perlu dikembangkan ke arah yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Penelitian dengan mengusung teori dasar khususnya ilmu primatologi tidak lagi dilakukan secara soliter, tetapi harus dikaitkan dengan berbagai disiplin ilmu seperti penginderaan jarak jauh, genetika, nutrisi, kesehatan, ekonomi, bahkan media sosial. Strategi penelitian orangutan harus bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi inovasi pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Sehingga hasil temuan dan atau rencana jangka panjang penelitian orangutan dapat diselaraskan dengan kebutuhan hidup manusia. Dengan memasukkan bukti ilmiah hasil penelitian ke dalam setiap pembahasan kebijakan konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan spesies akan dapat terus dipertahankan.

 

Beberapa tema penelitian orangutan yang dapat ditambahkan dari beberapa program penelitian jangka panjang di antaranya adalah: Dampak perubahan iklim. Perubahan iklim akibat kegiatan perindustrian, pertambangan, peternakan, kehilangan tutupan hutan, dan berkembangnya moda transportasi menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi dan kebakaran hutan. Pada tahun 2015 dan 2019, kekeringan hutan dan meningkatnya aktivitas manusia telah menimbulkan kebakaran hutan yang besar di Indonesia. Kebakaran hutan ini mempengaruhi produktivitas pohon hutan sebagai sumber pakan utama orangutan. Berdasarkan penelitian jangka panjang fenologi hutan di Tuanan, Kalimantan Tengah; produksi pohon berbuah menurun drastis paska kebakaran hutan (Gambar 1).

 

Gambar 1. Penuruan persentase pohon berbuah terjadi paska kebakaran hutan (warna hijau) di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan, Kalimantan Tengah.

 

Dinamika perubahan perilaku dan strategi bertahan hidup satwa khususnya orangutan, telah merubah arah penelitian orangutan terutama pada habitat yang terganggu. Sebagai contoh perubahan jenis pakan, jarak jelajah, dan pergerakan orangutan Kalimantan mengalami perubahan yang signifikan paska kebakaran hutan. Selain itu, adaptasi fisiologi tumbuhan terhadap perubahan iklim menjadi informasi yang sangat penting dalam penelitian ekologi secara umum di Indonesia, termasuk peran serangga penyerbuk (pada umumnya adalah jenis lebah) yang diindikasi telah mengalami kepunahan lokal.

 

Zoonosis. Orangutan memiliki kemiripan dengan manusia secara biologi dan fisiologi, dengan kemiripan DNA mencapai 97%. Hal ini menjadi nilai penting yang mendorong agar penelitian orangutan tidak difokuskan hanya pada sisi perilakunya, tetapi juga hubungannya dengan fisiologis kesehatan manusia. Berkembangnya teknologi penelitian semakin mempermudah para peneliti untuk mempelajari lebih dalam karakteristik biologi sel pada orangutan. Sebagai contoh, kemajuan analisis genetika saat ini telah mampu memetakan sub-populasi genetika orangutan yang sangat penting dalam penentuan kebijakan konservasi. Informasi struktur protein dan genetika juga dapat memprediksi penyebaran virus seperti SARS-Cov-2 pada kera besar, dan lain sebagainya. Indonesia saat ini memiliki setidaknya 37 laboratorium dengan fasilitas identifikasi pasangan basa protein yang digunakan dalam mengatasi pandemi Covid-19. Hal ini merupakan peluang dan tantangan di masa depan untuk dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dalam kegiatan penelitian pemodelan protein dan genetika orangutan.

 

Nutrisi. Penelitian terhadap nutrisi orangutan dan primata lain untuk memahami pola adaptasi dan kesehatan orangutan, baik orangutan liar maupun rehabilitasi telah dilakukan dalam kurun 5 tahun terakhir. Pengetahuan ini sangat penting dan dapat dijadikan rujukan dalam diskusi tentang perkembangan teori kesehatan pada manusia, contohnya pada penelitian mikroorganisme flora normal usus yang berhubungan dengan strategi reproduksi dan bertahan hidup orangutan. Pemodelan penggunaan habitat orangutan secara lansekap merupakan tantangan penelitian saat ini, dalam era pembangunan berkelanjutan. Analisis kesesuaian habitat orangutan sangat bermanfaat dalam memetakan kawasan habitat yang sesuai bagi orangutan, yang kemudian dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan konservasi spesies pada skala lansekap. Demikian pula, penelitian orangutan di luar kawasan konservasi, seperti di kawasan konsesi juga perlu dilakukan secara komprehensif.

 

Peningkatan Mutu Peneliti. Indonesia, saat ini telah banyak memiliki peneliti primata, khususnya orangutan dengan reputasi ilmiah yang sangat baik.  Kongres primata Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 2019, membuktikan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 200 peneliti primata. Peningkatan dan pemerataan mutu serta kualitas peneliti primata Indonesia perlu ditingkatkan terutama pada generasi muda dan khususnya yang berada di sekitar habitat orangutan. Pengembangan sumber daya manusia peneliti orangutan tidak lepas dari adanya kerja sama antara berbagai lembaga penelitian dalam dan luar negeri yang difasilitasi oleh Kemenristek/BRIN seperti Utrecht University, Belanda; University of Zurich, Swiss; Rutgers University, USA; Boston University, USA; Exeter University, UK; York University, Canada; dan lainnya. Pengembangan kerja sama penelitian dengan pihak luar negeri harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan kebermanfaatan bersama. Peningkatan dan pemerataan mutu serta kualitas peneliti primata Indonesia perlu ditingkatkan terutama pada generasi muda yang berada di sekitar habitat orangutan. Infrastuktur penelitian lapangan orangutan di Indonesia telah dikembangkan sejak tahun 1970-an dan hingga saat ini telah terdapat setidaknya 14 stasiun penelitian orangutan yang aktif. Keberadaan staisun penelitian lapangan juga perlu didukung oleh laboratorium, dukungan teknologi dan peralatan agar semakin mempermudah para peneliti untuk mempelajari lebih dalam tentang biologi molekuler orangutan Indonesia. Selain itu dukungan peningkatan kapasitas kelembagaan bagi universitas dan lembaga penelitian lokal melalui pelatihan, pendanaan serta peluang kemitraan sangat penting untuk diperhatikan.

 

Kerja sama Penelitian Multipihak. Kebijakan penelitian dalam konservasi orangutan menjadi sebuah keharusan untuk mendapatkan suatu keputusan berdasarkan sains. Pusat informasi dan data penelitian orangutan menjadi landasan dasar untuk menyatukan kesimpulan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kolaborasi antar ilmuwan/peneliti orangutan dan pembuat kebijakan menjadi perpaduan yang penting dalam melaksanakan rekomendasi strategi dan implementasi kebijakan konservasi orangutan di Indonesia, diantaranya terkait dengan kolaborasi multi-sektoral, evaluasi kebijakan rehabilitasi orangutan, pengelolaan populasi orangutan di luar kawasan konservasi, teknis penegakan hukum kejahatan satwa, dan evaluasi kebijakan mitigasi konflik manusia-satwa.

 

Rekomendasi Strategi Kebijakan Penelitian Orangutan Indonesia

 

Berdasarkan hasil temuan terbaru penelitian orangutan, dan perkembangan kepeminatan para peneliti untuk lebih memahami keberlangsungan hidup kera endemik Indonesia, beberapa strategi kebijakan penelitian orangutan di antaranya:

  1. Memberi prioritas data ilmiah dan hasil penelitian orangutan yang dilakukan oleh peneliti Indonesia sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan terkait perlindungan orangutan dan habitatnya, baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi.
  2. Mendorong dukungan kebijakan pemerintah dalam kerja sama ilmu pengetahuan strategis dalam rangka peningkatan produktivitas kekayaan intelektual, khususnya publikasi ilmiah dan paten, serta mewujudkan kesetaraan dalam kemitraan riset internasional (equal partnership) dengan prinsip saling menghormati, saling menghargai, dan melakukan pembagian keuntungan dan manfaat secara adil dan seimbang (mutual respect and fair and equitable mutual benefits sharing).
  3. Memberikan pembaharuan teknologi dalam penelitian primata khususnya orangutan serta meningkatkan mutu dan kualitas peneliti orangutan Indonesia melalui kerja sama multisektoral dalam rangka mencapai sumber daya manusia maju dan unggul.
  4. Membentuk Pusat Penelitian dan Informasi Orangutan Indonesia (The Center of excellence on orangutan research) untuk mengakomodasi perkembangan penelitian orangutan. Idealnya, sebuah penelitian orangutan memerlukan perencanaan dan implementasi penelitian jangka Lembaga tersebut diperlukan untuk menjembatani capaian penelitian yang pernah dilakukan, melaksanakan penelitian serta mempromosikan hasil untuk dapat dikembangkan bagi peningkatan ilmu pengetahuan, teknologi dan rujukan kebijakan.

 

Bahan bacaan:

  1. Nater, A., Mattle-Greminger, M. P., Nurcahyo, A., Nowak, M. G., de Manuel, M., Desai, T., . . . Krutzen, M. (2017). Morphometric, Behavioral, and Genomic Evidence for a New Orangutan Species. Curr Biol, 27(22).
  2. van Noordwijk, M.A., Utami Atmoko, S.S., Knott, C.D., Kuze, N., Morrogh-Bernard, H.C., Felicity,, Caroline, S., van Schaik, C. P., and Willems E. P. (2018). The slow ape: High infant survival and long interbirth intervals in wild orangutans. Journal of Human Evolution 125: 38-49.
  3. Prasetyo D. (2019). Understanding Bimaturism: The Influence Of Social Conditions, Energy Intake, And Endocrinological Status On Flange Development In Bornean Orangutans (Pongo Pygmaeus Wurmbii). Dissertation. Rutgers, the State University of New Jersey. New Jersey.
  4. Vogel, E. R., Alavi, S. E., Utami-Atmoko, S. S., van Noordwijk, M. A., Bransford, T. D., Erb, W. M., . . . Rothman, J. M. (2017). Nutritional ecology of wild Bornean orangutans (Pongo pygmaeus wurmbii) in a peat swamp habitat: Effects of age, sex, and season. Am J Primatol, 79(4), 1-20. doi:10.1002/ajp.22618
Tentang Penulis
Didik Prasetyo, Ph.D
Dosen Fakultas Biologi dan Prodi Magister Biologi Universitas Nasional Jakarta, Ketua umum Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia (PERHAPPI)

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan