Bumi kini dihuni lebih 7,9 miliar kepala. Setiap malam terdapat 219 ribu perut baru minta diisi makanan. Dunia terasa kian sesak. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan membuat harapan hidup bisa lebih dari 85 tahun. Di sisi lain, lahan pertanian yang kian sempit, degradasi lingkungan yang kian meluas, air yang kian terbatas, dan emisi gas rumah kaca yang tak terkendali membuat iklim/cuaca sulit diramal. Anomali iklim jadi fenomena keseharian yang membuat produksi pangan tak mudah, bahkan bisa gagal.
Produksi pangan sejatinya cukup untuk menyuapi 1,5 kali warga Bumi (Foodfirst, 2011), dimana pelbagai inovasi pertanian telah menepis pesimisme kaum Malthusian. Namun, pangan yang melimpah tak mengalir pada yang lapar, melainkan (hanya) menuju yang berduit. Target Sustainable Development Goals nomor 1 dan 2, yaitu mengakhiri kemiskinan dan kelaparan pada tahun 2030, sepertinya bakal kembali gagal. Apalagi dihadapkan pada krisis dan resesi, dan proteksionime dari negara-negara eksportir pangan kian menguat.
Langkah pembatasan ekspor dan tindakan proteksionis sebagai respons atas krisis seperti ini juga bukan hal baru. Saat krisis pangan 2007-2008 dan 2011, resep generik itu selalu diulang. Dalam dua periode itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai. Ketika pintu ekspor ditutup, pasar panik, dan harga-harga pangan pun meroket. Ditambah krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas yang membuat krisis pangan kian dalam. Sialnya, krisis pangan selalu berimpit dengan krisis politik, yang tak jarang diikuti oleh kejatuhan rezim.
Krisis pangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi dan krisis BBM membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi pangan. Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan jadi penentu gerak bandul geopolitik global. Kondisi ini memaksa tiap negara merancang politik pangan, terutama untuk kepentingan domestik. Kala negara-negara kampiun ekspor pangan menutup ekspor, sebagai importir pangan yang cukup besar (pada 2021 mencapai US$18,7 miliar), maka nasib Indonesia sejatinya tak lebih baik dari negara-negara jazirah Arab.
Bagi Indonesia, dengan jumlah populasi 273 juta jiwa, keberlanjutan ketersediaan pangan menjadi krusial. Apalagi, diketahui sistem pangan Indonesia ternyata rapuh dan tak berkelanjutan. Ini ditandai oleh sistem pangan yang seragam dan terpusat, diproduksi petani kecil dan miskin, ditopang impor, bertumpu pada sumber daya yang rentan dan terbatas, rantai pasok yang tidak adil, dan besar dalam pemborosan pangan (food lost and waste). Pertanyaannya, di manakah harapan masa depan pangan Indonesia ditumpukan? Jawabannya adalah desa.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa desa jadi tumpuan. Pertama, 82% dari 74.961 jumlah desa hidup dari sektor pertanian. Ada desa persawahan sebagai produsen beras, desa nelayan sebagai produsen ikan dan hasil laut lain, desa perkebunan sebagai penghasil hasil kebun, seperti sayuran, kopi, karet, kakao, tembakau, dan lain-lain. Kedua, desa mencakup 91% pemerintahan terendah, sisanya berupa kelurahan. Ketiga, desa didiami 71% warga negara Indonesia. Jadi, memastikan produksi pangan di level desa sejatinya menggaransi pangan bagi sebagian besar anak bangsa di nusantara.
Di masa lalu, desa-desa atau wilayah adat di berbagai pelosok negeri bertumpu pada pangan lokal. Keanekaragaman hayati yang berlimpah dan kondisi ekologi beragam menciptakan aneka pangan lokal. Pangan ‘warna-warni’ ini dileluri dan diwariskan turun-menurun untuk menjamin kedaulatan pangan warga. Sejarah mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jateng, Jatim, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Papua) jadi penopang pangan pokok warga selama bertahun-tahun. Berkat rekayasa negara, lewat kebijakan at all cost pada padi, pola makan unik, khas, dan beragam itu digiring ke pola makan monolitik, yakni beras.
Mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit) bertahun-tahun, termasuk dalam pangan, bukan hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indera (terutama perasa dan penglihatan), pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), dan kebudayaan (akulturasi dan adaptasi). Dalam hal beras, hasilnya seperti ini: memasak beras mudah, harganya murah, gampang didapat kapan dan di mana saja. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lokal. Pelbagai kelebihan beras ini belum tertandingi oleh aneka pangan lokal yang ada.
Apakah kemudian gagasan ini absurd? Tentu saja tidak. Modal utama desa adalah ketersediaan lahan dan SDM. Belajar dari rangkaian krisis dan resesi sebelumnya, desa dengan aktivitas pertanian selalu menjadi penolong akhir (the last resort) kala sektor lain tersuruk. Itu pula yang terjadi saat pandemi covid-19, yang ditandai naiknya tenaga kerja perdesaan. Yang menggembirakan, jumlah petani milenial di perdesaan dan perkotaan juga terus naik. Petani milenial di perdesaan dan perkotaan masing-masing 9,54 juta dan 1,8 juta pada 2019, naik menjadi 10,05 dan 2,13 pada 2020 (Sakernas-BPS, 2021).
Berbeda dengan sebelumnya, sosok-sosok muda ini secara sadar ingin berkarya dan hidup di desa. Mereka ini selalu terpapar internet, lebih terbuka, pembelajar, dan teknologi minded. Dengan bantuan internet, mereka memasarkan produk yang dihasilkan. Kembalinya penduduk usia produktif meniscayakan tersedianya SDM yang potensial dan mumpuni di desa. Perpaduan dengan lahan produktif, dana desa, dan hadirnya lembaga ekonomi perdesaan, dan BUMDES membuat peluang desa untuk berdaulat pangan lokal terbuka lebar.
Peran pemerintah desa sebagai penggerak ekonomi menjadi penting. Yang memandu adalah membangun kemandirian dengan menyatukan kekuatan. Desa-desa sekawasan bisa membentuk BUMDES bersama lalu mengembangkan pangan (lokal) terintegrasi sesuai potensi lokal, mulai dari pertanian, peternakan, pemeliharaan ikan hingga aneka tanaman hortikultur. Alhasil, Warga desa jadi konsumen utama. Padi, aneka umbi, daging (sapi, kambing, dan ayam), telur ayam, sayuran, buah-buahan, dan ikan dijual lewat BUMDES bersama untuk kebutuhan warga desa setempat.
Untuk menghindari peran tengkulak, surplus produksi dijual lewat BUMDES bersama. BUMDES bersama juga menjual barang-barang konsumsi sehari-hari yang tidak dihasilkan desa dengan harga terjangkau. Harga-harga kebutuhan pokok menjadi terkendali, inflasi bisa ditekan rendah. Air seni ternak bisa diolah jadi pupuk cair bagi tanaman, sedangkan kotoran ternak bisa jadi pakan ikan, pupuk alami hingga sumber energi terbarukan berupa biogas. Sistem terintegrasi ini membuat tidak ada keluaran yang mubazir.
Secara ekonomi, penguatan ketahanan pangan desa akan meningkatkan ketahanan ekonomi desa. Rantai pasok yang pendek menjamin produk lebih segar dan lebih murah ketimbang produk dari luar, dan petani berpeluang memeroleh keuntungan lebih baik. Secara sosial, kemampuan produksi pangan desa yang melibatkan warga dari beragam status sosial-ekonomi akan membentuk rantai pasok lokal inklusif. Secara lingkungan, rantai pasok yang lebih pendek membuat jejak karbon dan air lebih rendah. Praktik ekonomi sirkular ini menjanjikan keberlanjutan dan resiliensi dari shock.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan