Sejuta Pandawara Saja Tidak Cukup Untuk Membasmi Sampah di Indonesia

Kehutanan, Ketahanan Pangan, Tata Kelola Sampah, Tumbuhan Obat
Sejuta Pandawara Saja Tidak Cukup Untuk Membasmi Sampah di Indonesia
13 May 2025
52
2

Kalimat Soekarno tentang: beri aku sepuluh pemuda untuk mengguncang dunia, tampaknya tidak relevan lagi hari ini. Dari masa Angling Dharma hingga Pandawara, dari masa Tan Malaka hingga Bule Sampah. Sampah-sampah tetap menumpuk di Indonesia, dari bawah rumah panggung, sungai, laut, gunung, bahkan Bantar Gerbang yang sudah menggunung. Apakah mungkin dengan sepuluh pemuda cukup untuk membebaskan Indonesia dari sampah?

Mengapa ini terjadi?

Bagaimana bisa kita ingin mengguncang dunia, sementara bangsa kita belum terbebas dari sampah. Dari sampah plastik, hingga limbah pabrik. Sejuta Pandawara tidak akan mampu mengatasi permasalahan ini, yang sejatinya permasalahan dari manusianya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menjumpai setiap yang kita makan—dibungkus menggunakan plastik. Kalau kembali 30 tahun ke belakang, mungkin kita masih akrab dengan bungkus-bungkus organik. Mulai dari dedaunan, paper bag, kardus, hingga bambu.

Pernahkah kita terpikir, dari sehari kita hidup di bumi sudah menghasilkan berapa jenis bungkus plastik. Dari bungkus permen, cup kopi, bungkus rokok, kantong plastik, dan banyak lagi. Bayangkan jika kita rutin menggunakan plastik dalam satu bulan, satu tahun, hingga sepuluh tahun. Berapa ton plastik yang kita buang yang tak pernah tahu muara berlabuhnya. Apakah TPU mampu menampung sampah sebanyak itu?

Belum lagi, microplastik yang bersarang pada tubuh kita hari ini. Dampak yang dihasilkan dari produk plastik yang kita gunakan tidak hanya memperparah kerusakan lingkungan, lebih dari itu. Dampak plastik bagi tubuh, hingga penuaan bagi bumi dan tubuh kita. Penuaan yang berdampak pada saluran pernapasan, metabolisme tubuh, hingga kanker.

Apakah sejuta Pandawara mampu mengatasi ini?

Solusinya, bukan hanya segelintir orang saja yang peduli. Tetapi setiap manusia mampu bertanggung jawab atas sampahnya masing-masing. Jika di Papua mereka menganggap tanah adalah Mama yang berarti adalah ibu mereka, dan ada satu naskah tua di Melayu Musi menyebutkan bahwa “bumi adalah cahaya bayangku.” Yang berarti, bahwa setiap ia berjalan di bumi ia selalu bersama ibunya—menyakiti bumi sama dengan menyakiti ibu.

Kedekatan-kedekatan manusia dengan bumi mempengaruhi manusia itu dalam menjaga keberlangsungan bumi. Di lembahan Bukit Daun, Curup, Bengkulu. Saat itu berkabut, dan perlahan embun yang menempel di dedaunan pecah disinari matahari atau disinari bapak orang Rejang. Musim panen telah usai, ritual setelah panen akan segera dilaksanakan. Matahari yang dianggap sebagai leluhur oleh orang Rejang, menunjukkan hubungan kekerabatan satu sama lain—antara manusia dengan alam semesta.

Hari ini apakah kita memiliki kekerabatan dengan alam semesta? Apakah kita cukup yakin bahwa Ibu Pertiwi yang sudah bergema, dan sering kita sebut itu sebagai bagian dari diri kita. Jika ia, mengapa itu tidak melekat dalam perilaku sehari-hari?

Telah luntur kekerabatan bangsa Indonesia dengan alam menunjukkan bahwa pembangunan kebudayaan hari ini lemah, dalam literatur bahkan dalam tradisi sehari-hari yang perlahan menghilang. Bahkan beberapa tradisi telah kehilangan tempat pada masyarakat hari ini, tradisi yang telah berganti dengan tradisi dari dunia digital.

Untuk menjaga alam, orang-orang dahulu memaknai alam dengan simbol-simbol yang membuat mereka merasa dekat dengan alam itu sendiri. Bukan narasi-narasi yang membuat mereka makin jauh dari alam, standarisasi kaum urban, narasi pembangunan yang tidak mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem lingkungan, hingga narasi food estate dari pemerintah. Semua yang bukan menjadi solusi permasalahan hari ini, dan itu semua dapat kita katakan menimbulkan sampah baru. Secara singkat, bahwa sampah bukan saja yang kita lihat. Namun, proyek-proyek yang merusak hutan dengan dalih Pemerataan Pembangunan (IKN), Ketahanan Pangan (Food Estate). Ini semua sebenarnya adalah cara untuk merubah status hutan lindung menjadi kawasan pembangunan, lalu bisa kita sebut ini sebagai proyek sampah?

 

 

 

Kelola Sampah, Pandawara, bird
Tentang Penulis
Mahesa Putra
-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2025-05-13
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *