Jika ada waktu luang, cobalah tengok sungai di sekitar rumah kita. Masihkah ada anak-anak yang mandi dengan suka-cita seperti cerita ayah-ibu kita dulu? Ada dua kemungkinan keadaan yang akan kita temui: jernih dengan ikan berenang dan tetumbuhan asri, atau malah penuh dengan sampah yang tak sedap dipandang mata. Memang, sungai yang jauh dari sampah sangat jarang kita temui, apalagi di kota-kota besar. Jangan salahkan siapa-siapa jika sungai meluap saat hujan. Bisa jadi kita juga menjadi penyumbang mengapa sungai-sungai tak lagi indah seperti dulu. Apakah kita sadari?
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah populasi penduduk Indonesia meningkat sangat pesat. Pada tahun 2011 populasi telah mencapai 237 juta orang dan diprediksi pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 264,4 juta (Sucipto,2012). Berbanding lurus dengan bertambahnya populasi, jumlah sampah pun meningkat pesat. Berdasarkan data BPS, dari 80.235,87 ton sampah yang ditimbulkan oleh 384 kota setiap harinya, 4,2% diangkut dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir), 37,6% dibakar, 4,9% dibuang ke sungai, dan 53,3% tidak tertangani (Sejati,2009).
Pada umumnya masyarakat Indonesia hanya membuang sampah begitu saja di suatu lokasi, tanpa adanya pengolahan lebih lanjut. Kesalahan fatal terjadi pada tingkat dasar, masyarakat tidak memilah sampah berdasarkan sifatnya: organik, anorganik, dan sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Sebagian besar masyarakat hanya membuangnya sehingga memenuhi tempat pembuangan akhir (atau bahkan ke sungai dan jalan). Berdasarkan data penelitian (Sejati, 2012), sebanyak 45,76% masyarakat langsung membuang sampah, 28,81% menjualnya ke tukang loak, dan hanya 25,52% yang memanfaatkan kembali. Hal ini diperkuat dengan data (TVRI, 2012) bahwa TPS Piyungan Yogyakarta menerima 428m² sampah setiap harinya. Dengan fakta tersebut, permasalahan sampah akan semakin pelik karena laju pertambahan luas tempat penampungan tak sebanding dengan jumlah sampah yang masuk.
Selama ini pengelolaan sampah di Yogyakarta terbagai menjadi dua sistem yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Kebanyakan pemukiman masih menerapkan sentralisasi. Sentralisasi pengelolaan sampah adalah pengelolaan yang terpusat dan muara akhirnya adalah TPA (Tempat Penampungan Akhir). Kelemahan dari sistem ini adalah biaya pengangkutan besar, membutuhkan lahan yang sangat luas untuk penampungan akhir, dan minimnya peran serta masyarakat. Berbeda dengan sistem desentralisasi. Pengelolaan sampah terjadi di penghasil sampah pertama, yaitu masyarakat sendiri. Sistemnya cukup sederhana, yaitu setiap rumah tangga memisahkan sampah berdasar jenisnya. Sampah organik akan dimanfatakan sebagai pupuk kompos, sedangkan sampah anorganik dipilah-pilah kembali sehingga dapat didaur ulang. Sistem seperti ini disebut juga sistem pengelolaan sampah terpadu.
Ada banyak wilayah di Yogyakarta yang menerapkan pengelolaan sampah terpadu. Sebagai contoh bank sampah “Gemah Ripah”, Badegan. Bank sampah ini didirikan tahun 2008 dan merupakan pelopor Bank Sampah berbasis masyarakat di Yogyakarta. Bank Sampah ini menerapan konsep 4R (Reuse, Recycle, Reduce, dan Replace). Ada juga contoh lain, yaitu bank sampah di Dusun Plalangan, Sleman. Seperti halnya bank sampah di Badegan, Bank Sampah Plalangan juga menerapkan solusi mengelola limbah sampah anorganik menjadi barang-barang bernilai ekonomi tinggi. Terciptanya Bank Sampah berdampak positif pada masyarakat. Pola pikir masyarakat pada sampah akan berubah. Bank sampah dapat mengedukasi masyarakat agar peduli lingkungan dengan mengelompokkan sampah sesuai jenisnya. Sampah tak lagi dianggap sebagai barang tak berharga dan dibuang, namun sampah dapat menjadi sumber pendapatan.
Pengelolaan sampah yang bijak akan berbanding lurus dengan kesehatan masyarakat, menjaga lingkungan, dan kualitas kehidupan pada umumnya. Kebijakan dalam mengelola sampah seharusnya berpedoman pada pengelolaan terpadu. Dari sumber sampah pertama (rumah tangga, tempat bisnis, penyapu jalan) sampah dikumpulkan dan dipilah berdasarkan jenis. Sampah yang bernilai jual dapat didaur ulang, sampah yang berbahaya distabilkan terlebuh dahulu dan dibawa ke mesin pembakar (incineration) agar bahan kimianya tak mencemari lingkungan, sedangkan yang organik dapat dimanfaatkan untuk kompos.
Banyak aspek yang mempengaruhi dalam pengolahan sampah secara terpadu. Pertama, masyarakat memegang peranan penting sebagai pihak pertama yang berkontribusi. Pemilahan sampah berdasarkan jenisnya sangat besar dampaknya bagi kehidupan yang brekelanjutan. Kedua, kebijakan dari pemerintah sangat diperlukan untuk mengarahkan masyarakat. Hukum dan aturan yang jelas dirasa perlu untuk menggerakan masyarakat Ketiga, teknologi yang digunakan, beserta pengembangan mesin-mesin pencacah, daur ulang sangat membantu bagi pengelola sampah. Keempat, managemen pengelolaan sampah yang terstruktur akan sangat berguna (pengumpulan, pengangkutan, pengolahan tahap awal, pengolahan akhir). Selain itu juga hendaknya menjalin kerjasama seluruh lapisan masyarakat melalui koordinasi dengan kepala RT/RW setempat. Kelima, kebermanfaatan pengumpulan sampah dan pengelolaan terpadu harus selalu disosialisakan, misalnya dari segi ekonomi (finansial). Dan keenam adalah edukasi. Edukasi dapat dilakukan dengan penyuluhan dan pelatihan pengolahan sampah agar memiliki nilai ekonomi.
Memilih dan memilah sampah sejak dari rumah tangga (awal), mendaur ulang sampah (reuse dan recycle) sampah anorganik, dan melakukan pengomposan sampah organik merupakan usaha yang mampu menciptakan lingkungan berkualitas. Kita sebagai warga masyarakat pun seharusnya dapat mengelola sampah secara mandiri dengan menerapkan 4R. Konsep 4R ini berdampak luar biasa jika diupayakan secara serius.
Reduce, mengurangi sikap konsumtif yang cenderung menghasilkan sampah. Hal sederhana yang dapat kita lakukan misalnya mengurangi pemakaian tas kresek saat berbelanja, maupun memilih pembungkus makanan yang ramah lingkungan. Reuse, memakai barang-barang yang dapat digunakan berkali-kali dan mengindari barang sekali pakai. Hal sederhana yang dilakukan misalnya menggunakan tempat minum yang digunakan berkali-kali. Recycle, mendaur ulang barang-barang misalnya dibuat kerajinan yang bernilai seni dan jual. Replace, memakai barang-barang ramah lingkungan (tidak menggunakan barang-barang yang membahayakan diri sendiri dan lingkungan misalnya semprotan ber-CFC, styrofoam, mengganti AC dengan membuat sirkulasi udara yang baik).
Sudah saatnya kita peduli. Sudah bukan zamannya lagi membuang sampah seenaknya tanpa memilahnya terlebih dahulu. Diperlukan kampanye pengolahan sampah terpadu agar masyarakat semakin sadar lingkungan. Kontribusi sekecil apapun akan berbuah nyata jika dilakukan secara berkesinambungan. Mari mengolah sampah secara bijak agar lingkungan kita semakin berkualitas!
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait