Matahari sebentar lagi surut,
tetapi terang nampak
tak kan segera hilang menyusut,
pohon-pohon yang dulu pernah rindang,
tempatnya melepas segala riang
hanya sisa yang kerontang.
Ia berjalan gontai diantara belukar,
tanpa cabang-cabang meranti, matoa
atau segala dipterokarpa yang kekar
tempatnya tinggal dan berkelakar.
Ia melangkah dengan suara
sepi yang mencekam, memandang
rumahnya yang hilang,
dan ia bimbang
: kapan fajar dijemput pulang?
Mungkin ia akan mengingat,
lima moyangnya, hampir dua abad lewat,
tiba di World Museum Liverpool, Inggris,
dikirim Alfred Russell Wallace dari Borneo,
tinggal jasad
: lewat bidikan mata, dan kokang pelatuk senjata.
Sapiens membutuhkan kematian orang utan
untuk ilmu pengetahuan.
Sapiens membutuhkan orang utan
untuk keberlanjutan.
Maka Fajar diberi nama Simea,
Pongo pygmaeus, Homo troglodytes
Homo sylvestris, juga Simia pygmaeus.
Pongo abelii, Pongo tapanuliensis.
Mereka berebut nama
untuk Fajar yang merana.
Mungkin ia akan tetap mengingat,
dua abad mendatang,
nama-nama yang setia
berjalan bersamanya,
melewati hutan yang baru,
tempat segala bersekutu.
Hari Orang Utan Sedunia
Probolinggo, 19 Agustus 2023.
Dwi Rahmad Muhtaman
Catatan:
Puisi ini ditulis untuk ikut merayakan Hari Orang Utan Sedunia, 19 Agustus 2023. Puisi ini ditulis dari inspirasi artikel berjudul Puisi Cinta untuk Fajar yang ditulis oleh Syafrizaldi Jpang, Direktur Eksekutif Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC). Artikel dimuat pada tautan ini https://biodiversitywarriors.kehati.or.id/opini/puisi-cinta-untuk-fajar/
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait