PERFORMA MORFOLOGIS DAN TINGKAT KEBERHASILAN HIDUP FRAGMENTASI ANEMON KARPET (Stichodactyla gigantea)

Kelautan
PERFORMA MORFOLOGIS DAN TINGKAT KEBERHASILAN HIDUP FRAGMENTASI ANEMON KARPET (Stichodactyla gigantea)
20 November 2016
3154

 

Anemon karpet (Stichodactyla gigantea) merupakan bagian dari Filum Cnidaria, pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Anemon merupakan salah satu komoditi perairan yang memiliki nilai ekologis dan ekonomis. Anemon bersimbiosis dengan ikan-ikan karang seperti Amphiprion. Anemon laut dan ikan Amphiprion harus hidup dan tumbuh bersama-sama, karena apabila sendiri-sendiri, pertumbuhan dan kelangsungan hidup salah satu atau keduanya akan terganggu Uji (2014). Beberapa jenis anemon laut antara lain, Actinaria equima, Anemonia sulcata, Bunodactis verrocosa, Redianthus malu, adalah ornamental fish. Jenis anemon karpet memilki harga yang lebih mahal dari anemon yang lain, bahkan telah di pasarkan ke beberapa negara seperti, Singapura, Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada sebagai anemon hias untuk akuarium laut dengan harga satu ekor anemon Rp. 12.000.000.

Anemon secara umum memiliki ekologis dapat meningkatkan kinerja efisiensi energi dan mampu mengundang kehadiran ikan-ikan karang terutama ikan giru (Amphiprion) sehingga menimbulkan semakin beragamnya struktur tropik pada ekosistem terumbu karang. Kehadiran ikan-ikan karang ini berdampak positif terhadap penambahan bahan organik yang berasal dari fecesnya. Populasi baru anemon ini ternyata mampu meningkatkan nilai dan fungsi ekosistem terumbu karang. Sebagai biota pioner dan upaya perbaikan emergensi sambil menunggu lambatnya pertumbuhan karang yang hanya mencapai 3 – 5 cm per tahun (Rifa’i, 2013). Di samping itu, benih yang dihasilkan dapat menjadi alternatif baru usaha budidaya laut komersial untuk memasok pasar ikan atau anemon hias dalam negeri dan luar negeri. Teknologi reproduksi secara aseksual ini sangat memungkinkan dikembangkan pada spesies-spesies komersial lainnya yang diminati pasar nasional dan internasional.

Mengantisipasi penurunan populasi anemon laut akibat tingginya intensitas penangkapan di alam, telah dikembangkan teknologi perbanyakan benih secara aseksual dengan teknik fragmentasi terhadap anemon laut. Teknik ini mampu menghasilkan benih-benih anemon dengan cepat dan sintasan yang tinggi ketika dipelihara di perairan alam (Rifa’i, 2012). Reproduksi aseksual lebih baik dari seksual karena menurut Purwati (2002) pertumbuhan individu hasil fragmentasi relatif lebih cepat. Fragmentasi tidak memerlukan jumlah individu yang banyak. Pada reproduksi seksual, jumlah relatif induk dalam populasi terhadap luas habitatnya sangat menentukan. Recruitment (penambahan individu baru ke habitat) melalui fragmentasi tidak memerlukan persyaratan ini.

Melihat potensi, nilai, dan fungsi anemon laut yang dimilikinya, serta kondisi populasinya saat ini yang terus terdegradasi, maka upaya restocking dan budidaya harus segera dilakukan. Upaya ini membutuhkan benih anemon dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Benih yang dibutuhkan tidak mungkin lagi mengandalkan benih alami, melainkan benih dari hasil pembenihan konvensional. Oleh karena itu, tulisan ilmiah ini bertujuan untuk melihat performa morfologis dan tingkat keberhasilan hidup fragmentasi anemon karpet.

Penulis melakukan empat perlakuan dimana sintasan anemon pada perlakuan satu menunjukkan hasil yang baik. hal ini diduga karena sedikitnya pemotongan yang hanya dibelah menjadi dua bagian. Selain itu, faktor lingkungan pemeliharaan yang dilakukan pada keramba jaring apung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sujangka (2014) bahwa anemon karpet memiliki tingkat kelulushidupan lebih baik dari anemon pasir. Hasil pembelahan anemon yang dilakukan di bak terkontrol menunjukkan sintasan anemon karpet sebesar 90% sedangkan anemon pasir 65%. Perkembangan yang cepat pada perlakuan pertama ini diduga anemon tidak banyak mengeluarkan energi untuk menyembuhkan luka. Hal ini juga dipengaruhi oleh suatu hubungan timbal balik dari simbion zooxanthellae. Menurut Jipriandi et al, (2013) hasil penelitian frgamen pada karang lunak, bahwa dalam prosesnya terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara polip dan zooxanthellae dimana zooxanthellae menghasilkan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh polip dan polip.

Tingkat keberhasilan hidup terendah diperlakuan empat diduga karena semakin banyak fragmentasi yang dilakukan maka kelangsungan hidup semakin menurun. Hal ini dikarenakan setiap potongan pada anemon karpet akan membutuhkan energi yang banyak untuk dimanfaatkan penutupan luka, mendapatkan makanan, melakukan pergerakan dan untuk pertumbuhan. Dari itu, secara terus-menerus energi yang digunakan semakin berkurang dan berdampak pada kematian. Ukuran fragmen sangat menentukan keberhasilan hidup, karena berhubungan dengan laju regenerasi. Menurut Harriot dan Fisk (1988) dalam Zulfikar (2003), dikatakan berhasil apabila jumlah karang lunak yang hidup dari keseluruhan lebih besar dari 50%. Kematian anemonmulai pada hari kesembilan, ditandai dengan memutihnya bagian tubuh anemon, hancurnya tentakel, dan mengeluarkan bau busuk. Tingkat kelangsungan hidup terendah diperlakuan empat diduga karena semakin banyak fragmentasi yang dilakukan maka kelangsungan hidup semakin menurun. Hal ini dikarenakan jumlah pembelahan pada anemon karpet akan membuat tingkat kestresan yang berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi kelangsungan hidup pada Stichodactyla gigantea. Sarwono dalam Zulfikar (2003) menjelaskan bahwa untuk mengurangi atau menghilangkan stres, hewan karang akan melakukan penyesuaian tingkah laku. Jika tidak berhasil maka biota akan kembali mengalami stres bahkan stres itu akan bertambah besar dan akan berdampak pada kematian. Hal ini didukung oleh Bak dan Criens (1981) dalam Prastiwi (2011), bahwa ketahanan hidup menurun pada perlakuan P4 diduga karena merupakan respon dari karang tersebut yang telah dipotong sehingga mengalami stres dan tidak sanggup mempertahankan hidupnya. Ukuran fragmen sangat menentukan keberhasilan hidup, karena berhubungan dengan laju regenerasi dan kemampuan melepaskan diri dari tutupan sedimen. Menurut Harriot dan Fisk (1988) dalam Zulfikar (2003), kegiatan transplantasi dapat dikatakan berhasil apabila jumlah karang yang hidup dari keseluruhan yang ditransplantasi lebih besar dari 50%. Dari hasil fragmentasi yang dibagi menjadi 5 bagian sehingga sudah tidak utuh lagi, ternyata bagian-bagian tubuh dari anemon tersebut mampu bertahan hidup, padahal tidak mendapatkan pasokan pakan secara normal (melalui mulut). Dari jumlah individu yang mati, kebanyakan jumlah pemotongan yang melebihi fragment satu dan dua bagian tubuh anemon. Individu dengan potongan banyak dan ukurannya menjadi kecil mengalami stres yang lebih besar dari pada perlakuan yang lainnya sehingga untuk bertahan dalam kondisi tersebut akan sulit. Sedangkan untuk perlakuan atau fragmentasi kedua dan tiga hanya sedikit mengalami kematian. Kematian Stichodactyla gigantea mulai pada hari ke sembilan, ditandai dengan memutihnya bagian tubuh anemon, hancurnya tentakel, dan mengeluarkan bau busuk dan secara terus menerus individu-individu pada perlakuan dua, perlakuan tiga, dan perlakuan empat mengalami pembusukan sampai hari terakhir. Menurut Mannuputty (1998) dalam Subhan et al, (2012). Penurunan ketahanan hidup karang lunak dikarenakan karang mengalami stres akibat gagal melakukan adaptasi. Pada kondisi tersebut mikrosimbion karang, yaitu zooxan-thellae akan keluar dari jaringan polip karang karena tidak mampu untuk berfotosintesis dalam kondisi gelap. Keluarnya zooxanthellae dari tubuh karang dapat terlihat dari warna karang yang pucat kehilangan warna (Rani, 1999 dalam Subhan et al, 2012). Proses kematian karang dapat terdeteksi dengan adanya perubahan warna karang, yatu dari cokelat menjadi putih pucat (Suharsono, 1984 dalam Subhan et al, 2012). Menurut Rani (1999) dalam Prastiwi (2011), polip karang kehilangan warna sebagai akibat keluarnya zooxanthellae dari jaringan polip karang, sebagai tanggapan terjadinya stress pada polip karang akibat perubahan lingkungan. Fragmen tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan juga dipengaruhi dengan luka yang terdapat pada tubuh karang lunak tersebut setelah pemindahan dari lingkungan sebelumnya. Menurut Okubo (2004), faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup karang yang ditransplantasi atau difragmentasi ada tiga yaitu memperhatikan tipe pemotongan karang yang akan ditransplantasi, ukuran potongan fragmen yang ditransplantasi, dan musim pemotongan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Okubo (2004) bahwa ukuran fragmen yang dipotong kecil secara vertikal lebih bertahan dari pada yang dipotong secara horizontal.

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, perlakuan mempengaruhi performa morfologis anemon karpet. Sedangkan untuk fragmentasi anemon karpet yang paling sesuai untuk keberhasilan hidup anemon karpet yaitu perlakuan satu dengan pemotongan satu individu anemon menjadi dua individu baru.

 

 

Tentang Penulis
Muhammad Ridwan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2016-11-20
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *