Mereka yang Menembus Batas Pandemi

Animal
Mereka yang Menembus Batas Pandemi
8 September 2020
1092

Pandemi Covid-19 di negeri ini semakin hari dianggap kian menghantui. Per 8 September 2020, kasus positif Covid-19 di Indonesia telah menyentuh angka 200.000 dengan korban meninggal lebih dari 8.200 jiwa. Pada sisi yang lain, dokter yang gugur dalam tugasnya sudah lebih dari 100 pahlawan. Keadaan yang semakin memburuk dengan layanan medis terbatas ini, tidak heran menjadikan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika mengeluarkan peringatan level 3 (tertinggi) agar wisatawan tidak melakukan perjalanan ke Indonesia. Warga Indonesia juga dilarang untuk memasuki 59 negara karena dikhawatirkan menyebarkan virus corona. Sekat yang muncul karena pandemi seakan semakin kentara memisahkan Indonesia dengan banyak negara. Batas karena pandemi pada saat ini menjadi penghalang yang mencegah wisatawan asing untuk naik pesawat mengunjungi Indonesia. Wisatawan betul-betul tercegah, kecuali bagi mereka yang bisa terbang sendiri: burung bermigrasi!

 

Indonesia -entah kapan mulainya, dari tahun ke tahun menjadi tujuan burung bermigrasi. Secara umum terdapat empat kelompok burung yang melakan migrasi/ruaya menuju atau melewati Indonesia, yaitu: 1) burung pemangsa, 2) burung terestrial, 3) burung air, 4) burung pantai. Jika merujuk pada Konvensi Ramsar, burung pantai dimasukkan ke dalam kelompok burung air. Konvensi Ramsar mendefinisikan burung air (waterbirds/waterfowl) adalah semua burung yang yang secara ekologi bergantung pada lahan basah [1]. Burung pantai secara umum memang membutuhkan lahan basah. Akan tetapi karena memiliki banyak keunikan, burung pantai seringkali dikelompokkan secara terpisah dari burung-burung air.

Burung pantai migran famili Scolopacidae. foto oleh: Rahmadiyono Widodo

 

Migrasi yang dilakukan oleh burung-burung menuju Indonesia atau negara lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik untuk diamati dan dipelajari. Aristoteles pada zamannya pun telah mengamati migrasi burung yang pada akhirnya ia simpulkan jika burung-burung yang hilang (yang sejatinya melakukan migrasi) itu berhibernasi atau menjelma menjadi spesies lain. Ada pula pendeta di abad ke-17 yang beranggapan jika saat burung-burung hilang dari daerahnya berarti mereka (burung) sedang terbang ke bulan [2]. Dua anggapan tersebut menunjukkan pernah ada masa di mana migrasi burung betul-betul sangat misterius. Meskipun saat ini kemisteriusan migrasi burung masih ada di beberapa lini, setidaknya dengan berkembangya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dapat membantu kita memahami dengan lebih baik tentang migrasi. Pemahaman yang lebih baik ini salah satunya pada aspek “bagaimana burung menentukan arah migrasi”. Burung dalam bermigrasi menggunakan beberapa”panduan” agar sampai di tujuan. Panduan tersebut adalah posisi matahari dan bintang, tengara visual seperti gunung dan garis pantai, dan merasakan medan magnet bumi. Deteksi magnet bumi ini dibantu dengan adanya magnetit (suatu mineral) yang berada pada paruh (beberapa) burung yang terhubung dengan sensor pada mata.

 

Selain memberikan manfaat untuk mempelajari panduan dan pola migrasi burung, berkembangnya IPTEK juga menjadi angin segar konservasi burung bermigrasi. Ibarat perjalanan pada umumnya, meskipun memiliki peta atau panduan tetap akan menjumpai beberapa rintangan atau ancaman. Bagi burung bermigrasi terdapat  ancaman yang menghambat perjalanan atau lebih parahnya menghentikan mereka untuk selama-lamanya. Beberapa ancaman tersebut adalah:

  1. Alih fungsi lahan (baik di daratan atau pesisir)
  2. Kebakaran hutan
  3. Pemanasan global
  4. Polusi cahaya
  5. Gedung-gedung pencakar langit (terutama yang memiliki banyak kaca)
  6. Spesies invasif
  7. Perburuan (untuk dikonsumsi atau menjadi hewan peliharaan).

Melihat banyaknya ancaman yang mengancam keberlangsungan hidup burung bermigrasi, perkembangan IPTEK (termasuk juga semakin luasnya jejaring kolaborasi) semoga dapat membantu para konservasionis (dan siapa saja yang peduli) untuk melindungi burung bermigrasi.

 

 


 

[1] Woo-Shin Lee, Chang-Yong Choi, and Hankyu Kim (Text) and Takashi TAniguchi (Ilustration). 2018. Field Guide to The Waterbirds of ASEAN. Seoul: ASEAN-Korea Environmental Cooperation Unit (AKECU).

[2] Bhattacharjee, Y. (Maret 2018). Hikayat Ruaya Kukila. National Geographic Indonesia, vol. 14 no. 3, 58-59.

About Author
Rahmadiyono Widodo
Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2022-01-17
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *