Indonesia merupakan negara yang kaya dengan kulinernya, hampir seluruh provinsi yang ada di indonesia memiliki ciri khas kulinenrnya masing-masing. Salah satu yang membuat kuliner itu terasa lengkap yaitu garam sebagai penyedapnya. Kebutuhan garam di Indonesia tidak sesuai dengan stok yang tersedia jadi setiap tahun kita terpaksa impor garam dari luar negeri hampir ribuan ton padahal kita negara dengan garis pantai yang sangat panjang.
Pada tahun 2016 kami tim dari Biodiversity Warriors berkesempatan ikut journey ke salah satu desa mitra dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang ada di Jawa Tengah tempatnya di Desa Kaliwling Dukuh Pandasari Brebes disana terdapat beberapa potensial ekonomi masyarakat salah satunya pembuatan garam rebus, dimana sebagian masyarakat di Desa Kaliwling, Dukuh Pandansari mengunakan garam itu untuk bahan masakan atau dapur.
Pada saat mengunjungi desa ini kami bingung bagaimana cara pembuatan garam rebus. Kemudian untuk mengetahui cara pembutannya, kami mewawancarai ibu-ibu di dapur. Mereka mengatakan bahwa garam dibuat dari air rendaman pasir yang terdapat di desa sejak zaman belanda. Langkah pembuatannya adalah pasir dikeringkan, lalu dimasukan dalam empat templok (sebutan lokal untuk wadah penyaring) dan ditambahkan air sampai penuh.
Air yang menetes dari celah-celah di bagian bawah templok, kemudian air dialirkan melalui seng menuju ke tempat penampungan sementara. Ketika air di penampungan sementara penuh, maka dipindahkan ke ember besar dan dibiarkan hingga air jernih. Selanjutnya air dimasak beberapa jam hingga menjadi garam murni yang belum dicampur dengan iodium. Penambahan iodium dilakukan di meja khusus yang alasnya terbuat dari seng alumunium.
Adanya tempat pembuatan garam ini memudahkan masyarakat sekitar untuk membeli garam. Cukup ke dapur pembuatan atau ke kios-kios yang ada di desa tersebut saja. Secara ekonomi masyarakat di desa ini juga mulai makmur karena garam buatan mereka dikenal makin luas.
Kondisi desa masih tertinggal dari desa-desa lain karena listrik baru ada pada tahun 2010 dan jalan aspal baru ada pada tahun 2014. Kedepannya diharapkan dari pemerintah pusat maupun kabupaten untuk dapat memberikan bantuan alat-alat modern agar produksi dapat meningkat sesuai dengan permintaan pasar. Sehingga mampu mengurangi atau bahkan menghentikan kucuran garam impor.
Ulul Azmi
Tinggalkan Balasan
Terkait