“Mengenal Kalender Agraris Budaya Lio-Flores”

Pertanian
“Mengenal Kalender Agraris Budaya Lio-Flores”
5 Mei 2016
3581

Waktu atau tempo menjadi aspek integral dalam sebuah peristiwa. Kita mengenal sebuah kejadian secara holistik hanya dalam koridor waktu. Waktu menentukan sebuah sejarah peradaban. Sebagaimana kita saat ini mengenal urutan waktu dalam hitungan matematis, 1 hari ada 24 jam, 1 minggu 7 hari, 1 bulan 30 hari, dan dalam 1 tahun ada 12 bulan, merupakan warisan tradisi Yunani-Romawi dan Arabik yang dikenal luas di seluruh penjuru dunia dan digunakan hingga saat ini. Namun masyarakat Lio, salah satu suku di Flores bagian tengah punya perhitungan sendiri.

Waktu yang dipahami dan dimaknai oleh masyarakat suku-suku di wilayah Lio Ende tidak hanya sebatas perhitungan untuk membedakan satu waktu dengan waktu yang lain, tapi juga berhubungan erat dengan tradisi perladangan. Tradisi inilah yang menjadi corak dan cirikhas masyarkat agraris yang hidup dari kemurahan alam.

Dalam masyarakat Lio, urutan waktu yang dikenal sangat bertautan dengan keadaan Bulan dan matahari. Sebagaimana orang mengenal urutan bulan dalam satu tahun, masyarakat suku Lio juga mengenalnya, ini beberapa sebutan dalam urutan waktu. Po'o Are atau nasi bambu yang tengah dibakar untuk dihidangkan. (Foto : FBC/Nando Watu) Wula mapa More: (Oktober) inilah waktu menyongsong musim tanam dan menyiapkan benih padi dan tumpangsari. Pada bulan ini dilakukan permurinian tanah dan juga benih padi. Ritual yang dilakukan dalam bulan ini adalah jokaju, ka po’o, ka pena, keu uwi (ritual tolak bala). Pada moment ini dilaksanakan upacara ka Po’o atau upacara pemurnian tanah yang pada dasarnya adalah upacara kesuburan. Dimohonkan restu dari kekuatan langit tertinggi (Dua Gheta luu wula) sebagai prinsip lelaki dan kekuatan bumi terdalam sebagai prinsip perempuan (Nggae Ghale Wena tana) sebagai dua partner perkawinan kosmos. Dengan upacara ini tanah persekutuan dianggap diselubungi kekuatan religi dan magi. Waktu ini dianggap suci dan sakti karena bertepatan dengan perkawinan kosmos, dasar kesuburan di mana semua penggarap berpartisipasi. Wula more, atau bulan November dalam bulan ini dilakukan penanaman padi, jagung dan tanaman semusim lainnya, bulan more ini adalah masa atau musim tanam (wula tedo) karena semua petani peladang menanam (tedo) padi sebagai makanan utama. warga sedang membersihkan pematang sawah. Wula Nduru. (Bulan Desember) usia awal tanaman dan serakan kayu dibiarkan tak disentuh dan tak dibakar. Wula more, wula duru, :

Bulan November dan Desember ini waktu yang tepat untuk menanami benih di ladang, waktu ini disebut nebu tedo atau musim menanam. Sebelum menanam, diadakan upacara mengaduk padi bibit, yaitu upacara gewugini, dengan upacara ini, padi bibit dianggap telah memperoleh kekuatan magi protektif dari dua objek penting yaitu batu kelimpahan panen atau watu bo’o dan emas murni yaitu ngawu genugini. Dua alat ini dianggap mengandung magi anti rusak yang dapat diindikaskan sebagai bibit. Ditambahkan lagi dengan resep dedaunan muda tumbuhan yang segar selalu yaitu, lelu atau daun paku dan gelagah rawa. Pucuk paku atau lelu tumbuhan air filicinea, pucuk alang atau soko ialah seacharum spontaneum, daun baling yang menghijau selalu, pucuk rose/talas atau colocacia esculenta dan ae nio atau air kelapa untuk mendinginkan yaitu cocos nucifera (KBBI). Dengan ini diharapkan agar kesegaran dedaunan diinduksikan ke dalam padi bibit sehingga bertumbuh segar dan menghijau selalu. Musim menanam ladang umumnya ialah bulan November, Desember, dan Januari, bergantung dengan kecepatan atau lambatnya curah hujan. Salah satu petani yang tengah memanen pad di kebun miliknya. (Foto : FBC/Nando Watu) Wula bekeria: (bulan januari) dalam bulan ini dilakukan penyiangan rerumputan yang mengganggu tanaman padi jagung, kacang, dan sebagainya. Persediaan pangan dalam bulan ini) sangat minim dalam bulan Bekeria. Wula Beke loo (Februari) dari bulan ini jagung muda dan sayur mayur sudah dapat mengisi kekurangan pagan sebagai hasil pola tumpangsari di sela-sela lahan yang tidak ditanami padi dan jagung. Dalam bulan bekeria dan beke loo ini di mana terjadi pula umumnya kelaparan. Sesudah menanam tidak ada lagi dilakukan upacara religi luar biasa kecuali meneliti pertumbuhan benih. Jadi menyusulah kerja menyiangi ladang.

Ada yang bekerja gotong-royong ada yang bekerja sendirian dan dalam upaya membersihakn ladang biasanya dinyanyikan syair-syair lagu sekiar ibu padi (ine pare), dalam bula beke loo (Februari) kelaparan berkurang gawat karea mulai dipetik sayur-sayuran untuk dimakan, malah juga jagung muda sekalipun dalam jumlah yang terbatas. Wula fowo: (Maret) umumnya pada bulan ini curah hujan yang tinggi . Fowo berarti berbau busuk. Karena curah hujan tropis terus menerus, kotoran dan pekerangan rumah tidak dibersihkan sehingga berbau busuk mengganggu kesehatan karena itu orang tinggal di rumah saja dan tidak bepergian. Adanya genangan air menjadi ciri alam dalam bulan ini, akibatnya aneka penyakit yang berkatian dengan tidak terjaminnya kesehatan lingkungan dan sanitasi menyebabkan munculnya sejumlah penyakit. Kecerahan harapan, hidup berkat mulai panennya jagung muda terjadi pada bulan ini. Selama bulan ini dilakukan upacara Nggua Uta (ritual khususny untuk petik syuran) oleh tua adat (laki pu’u) yaitu upacara menghalalkan petik sayur, jagung muda dan buah labu, hasil ini untuk dimakan atau untuk ditukar/dijual) dengan barang lain sesuai kebutuhan rumah tangga. Seorang pertani tengah bekerja menceraikan tangakai cengkeh hasil ladang. (Foto : FBC/Nando Watu) Wula balu ree (bulan april) para peladang mempersembahkan sesajian kepada penguasa alam (Dua gheta lulu wula nggae ghale wena tana) sehungunan dengan adanya hasil panen jagung dan sayur perdana. Pada bulan inilah dilaksanakan ritual (keti Uta, Sepa Uta, atau Nggua uta) Wula Balu Jie (Bulan Mei).

Bulan ini dijadikan sebagai berkat ritual yang diselenggarakan maka pelbagai penyakit dan kelaparan mulai teratasi. Persiapan panen dan panen mulai dilakukan pada bulan ini. Dalam bulan inipula para peladang dilarang menanam apa saja dan masa penghentian menanam itu ditandai dengan ritual Leda Su’a yakni upacara khusus menyimpan alat-alat perladangan (tugal, tofa, dan sebagainya) pada bulan balu re’e dan balu ji’e diadakan po’o te’u dan po’o ko’a untuk menghalau tikus dan walangsangit. Wula base Ae ( Bulan Juni) hasil padi dan jagung dipanen pada bulan ini upacara panen ini diawal dengan pa’a ha’i lewa yakni pemberian sesajian kepada ine Pare, Dewi Padi, upacara ini dilaukan pada malam hari menjelang pagiharinya mulai petik padi. Wula Base Gega (Bulan Juli) pada bulan ini padi yang baru dipanen dibersihkan, dijemur, dan disimpan di lumbung (kebo, lewa) dalam bulan ini juga dilakukan ritual bermkna sayur panen padi baru sebagai saat untuk berterimakasih kepada Tuhan dan kepada leluhur. Bulan ini juga berkaitan dengan sejenis buah base merengkah dan menjadi lambang perkembangan biologis pria. Bua base ini berkaitan pula dengan sakit penyakit ru’u base (sejenis penyakit, kelamin pria) berupa membesarnya buah zakar. Wula dero bebo (bulan Agustus) bulan istirahat, bulan ini juga merupakan bulan bersukacita dengan aneka permainan rakyat karena hasil panen telah dinikmati.

Meskipun demikian diamanatkan pula kepada masyakrat untuk tidak boleh lupa bersyukur dan berterimkasih kepada Tuhan (Du’a Nggae) sehubungan dengan perladangan dan peternakan (gaga bo’o kewi ae, peni nge wesi nuwa) Wula Dero Mbe’o (bulan September) bulan persiapan untuk musim tanam, pembukaan ladang baru juga dilakukan pada bulan ini. Perhitungan Jam Dalam hubungan dengan pekerjaan dan ritual perladangan, suku lio juga mengenal sebutan jam atau urutan waktu dalam sehari yang juga berhubungan dengan pekerjaan harian di ladang dan pemeliharaan ternak. Pembagian waktu selama 24 jam antara lain . Bha jaja pukul 05-06 pagi, koka sedho, bagnun pagi untuk menyiapkan peraltan kerja. Buga lae 06-07 saatnya tiba dikebun mulai kerja Sia dega, leja geju (matahari mulai terbit) 070-07.30 para ibu menyiapkan makanan pagi, memebri makan hewan piaraan. Leja niru mu waktu pukul 7.30-08.30 para ibu dan anak permepuan ke kebun dan minum pagi. Leja bewa 08.30-09.30 kegiatan bekerja di kebun Leja Ngara Wadho pukul 09.30-10.30 kegiatan bekerja di kebun Leja petu 10.30-12.00 bekerja di kebun Leja gei bewa 12.00-13.00 waktu istirahat di pondok Leja leu 13.00-14.00 waktu untuk makan siang Leja detu/detu pembu 14.00-15.00 waktu mulai untuk bekerja kembali. Leja kiri/kiri ria: 15.00-15,30 waktu bekerja, leja kiri loo waktu pukul 15.00-16.00 waktu bekerja, Leja loo : 16.00-17.00 waktu bekerja, Leja molu :17.00-17.30 petani siap kembali ke rumah Leja ghale 17.30-18.00 pemberian makan ternak piaraan. Ola mbewu/manu modho :18.00-19.00 mandi dan istirahat para ibu siap makan malam. Nelu ka/ka sawe 19.-00-21.00 makan dan bercerita Nelu Boka roke :21.00-22.00 saat mulai tidur Nelu Roke Bebo: 22-23.00saat tidur lelap Roke Ndate 23.00-00.30saat tidur lelap Nelu Roke Bepa 00.30-01.30 saat terbangun Nelu manu kako sedeka 01.30-03.00 ayam berkokok pertama kali Nelu manu kako dekarua 03.00-04.00ayam berkokok ke dua kali Nelu manu kako ndawi: 04.00-05.000 mulai sadar akanbangun pagi.

Demikianlah beberapa urutan waktu ini masyarakatsuku Lio Flores Tengah, yang melihat waktu sebagai yang suci, sakral, sebagai momentum memberikan persembahan dan syukuran kepada pemberi hidup (Du’a Gheta Lulu Wula Ngga’e Ghale Wena Tana) atas segala pemberian melalui hasil panen. Suku Lio selalu melihat hubungan dalam relasi dengan alam, sesama manusia dan dengan wujud tertinggi. Dalam berbagai ritual adat dan persembahan terungkap jatidirinya sebagai makhluk yang merupakan bagian dari kosmos ini. Ritual bulanan dan adat yang bertautan dengan panen adalah ungkapan nyata bagamana masyakat adat mendefenisikan dirinya, menempatkan eksistensinya di tengah dunia. Dalam dan melalui ritual itulah, wujud nyata komunikasi antara manusia dengan alam dan dengan sang Pencipta. (Nando Watu, Dari berbagai Sumber )

Tentang Penulis
Fernando Watu

Tinggalkan Balasan

2016-07-11
Difference:

Tinggalkan Balasan