Membicarakan lahan basah tentu tidak lepas dari orang-orang yang membicarakannya, baik melalui artikel, seminar lingkungan, maupun puisi dan prosa—yang paling penting bagaimana kita dapat hadir di dalamnya. Dengan membaca sudut pandang lahan basah dari sudut penulis, dari sudut puisi, dari sudut tokoh dalam prosa. Semua itu akan mengalami penerimaan ketika kita mengosongkan pikiran kita sejenak, sebagai pembaca, sebagai orang yang belajar melepaskan pakaian ideologi, dan menerima sudut pandang baru dari penulis yang mendiami lahan basah itu, ataupun dari sudut pandang orang yang baru menginjakkan kaki ke lahan basah.
Tentu saja, bagaimana tulisan serta pemikiran itu lahir tidak sama. Dan kita juga perlu belajar itu, narasi-narasi baru ataupun lama. Sebab ketika kita menutup mata, dan tidak melepaskan pakaian ideologi—mustahil untuk menerima hal yang baru. Hadirnya kawan-kawan dari bermacam latar belakang, membicarakan lahan basah, dan memperbincangkannya. Tentu saja makin banyak gagasan-gagasan yang lahir dari sini, anggaplah seorang yang baru saja ke lahan basah dan ia menumpahkan pikirannya ke dalam bentuk puisi. Tentu itu hal menarik, kita akan menyelami puisi itu dan melihat apa yang keluar dari empiriknya. Barang tidak perlu ia seorang aktivis lingkungan, ataupun seorang penyair urban, atau seorang turis. Hendaklah kita belajar darisitu.
Apakah penting orang-orang membaca syair, prosa atau artikel tentang lahan basah? Di tengah gejolak krisis iklim yang menyebabkan perubahan bentang alam [kegiatan antropogenik], dan prakiraan musim yang tak tentu. Sastra yang lahir dari lahan basah—baik pedalaman maupun pinggiran kota terutama Palembang, juga akan mempengaruhi kecemasan-kecemasan baru, juga dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat urban.
Dampak tentu terasa dari perubahan bentang alam yang terjadi di lahan basah, pembangunan perumahan, perkantoran, sarana juga sarana olahraga yang tidak arif terhadap lingkungan. Di pedalaman, pembukaan hutan dan mengganti dengan tanaman industri, juga menimbun ranting-ranting sungai demi kebutuhan kelompok dan golongan untuk keuntungan.
Tidak saja masyakarat pedalaman yang merasakan dampak dari kerusakan lahan basah [banjir, longsor, dan kekeringan]. Juga masyarakat urban yang hidup di atas perumahan yang dibangun di lahan basah, merasakan air pasang yang berkepanjangan mengenangi rumah-rumah. Pasang besar terjadi mungkin 4-5 tahun sekali, sekarang setiap musim penghujan rumah-rumah tergenangi.
Bagaimana seorang penyair, dengan kacamatanya menggambarkan suatu kejadian dalam bentuk puisi ataupun prosanya. Dan pembaca karya sastra hadir sebagai orang yang juga terdampak, maupun yang berada jauh dari luar pulau atau pembaca yang tidak merasakan bentuk dari lahan basah. Tentu jadi ini menjadi suatu respon dari kerja-kerja seorang penyair yang menghadirkan kecemasan yang lahir dari perubahan orientasi melihat lahan basah sebagai keuntungan, dimana seluruh kekayaan yang berada baik di dasar laut, maupun seluruh tanah di bawahnya yang menghasilkan kekayaan—adalah milik negara maupun penanam modal.
Hal inilah yang mengakibatkan, lahan basah tidak dipandang sebagai kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat yang hidup dan menggantungkan mata pencarian tunggal disana. Lahan basah juga dianggap tanah, dalam pandangan kontinental. Pergeseran orientasi inilah yang menjadi kacamata penyair dalam menggambarkan, aktivis dalam pendampingan, dan para akademisi meluruskan disorientasi.
Juga sekali lagi peran pembaca, yang sejenak mengkosongkan pikirannya untuk lebih masuk ke dalam. Baik teks pada puisi, artikel, dan memahami watak tokoh yang hidup di lahan basah yang ditulis oleh penulis pada cerpen, maupun novel. Dan tentu sinergi ini—bukan hanya sebagai selebrasi memperingati hari lahan basah, ataupun belasungkawa terhadap korban kebanjiran.
Tidak akan terjadi perubahan, ketika kita tidak menerima narasi-narasi baru, pandangan-pandangan baru yang lahir dari seluruh elemen baik masyarakat terdampak maupun pemerhati lingkungan. Dan menganggap pemikiran kita adalah mutlak, tidak dapat diubah. Tentu hal ini tidak dapat merubah, walau seribu puisi, puluhan buku, ratusan artikel, dan belasan kali mengikuti seminar lingkungan. Sepulangnya, juga bagian dari kerusakan itu sendiri; dan pembaca semacam ini, juga penulis, aktivis, maupun akademisi yang menganggap mutlak. Tentu tidak akan mendapat tempat dari kesusasteraan yang lebih maju, dan pemikiran yang terbuka dari para pembaca yang telah merasakan dampak kerusakannya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait