Burung kuntul (Bubulcus ibis) dan manusia memiliki hubungan yang erat sejak dahulu. Dalam masyarakat Jawa, kehadiran burung kuntul menjadi penanda telah tiba musim tanam padi. Hal ini tampak dalam kalender pranata mangsa atau kalender yang menjadi penanda musim (Sobirin, 2018). Ketika memasuki musim penghujan, burung kuntul mulai beterbangan dan mencari makan di lahan yang berair. Pada saat itu pun para petani mulai membajak sawahnya.
Dalam kalender pranata mangsa, burung kuntul akan mulai mencari makan di lahan berair pada mangsa kanem (masa keenam) yaitu pada bulan-bulan November sampai Desember ketika hujan mulai sering mengguyur bumi. Namun, kadang burung ini juga muncul pada mangsa kalima (masa kelima) yaitu pada pertengahan Oktober sampai awal November. Hal tersebut terjadi karena pada masa itu hujan sudah mulai turun meskipun belum sesering pada mangsa kanem. Pada saat itu pula para petani mulai bersiap diri untuk mengolah sawahnya.
Burung kuntul sebelum musim penghujan tiba juga melakukan migrasi seperti burung-burung lain yang melakukan migrasi. Migrasi terjadi pada bulan Agustus - September dan kembali lagi pada bulan November. Hal ini terlihat di Desa Ketingan, Tirtoadi, Mlati, Sleman. Desa Ketingan menjadi desa wisata karena banyaknya burung kuntul (Bubulcus ibis) dan blekok sawah (Ardeola speciosa) yang tinggal di wilayah tersebut. Keberadaan burung kuntul dan blekok sawah tersebut menarik para wisatawan dan peneliti untuk berkunjung ke desa Ketingan. Pengelola desa wisata Ketingan menyarankan agar para wisatawan yang ingin melihat burung kuntul dan blekok sawah datang ke desa Ketingan pada bulan November atau di luar masa migrasi burung tersebut (Kompas.com, 2008).
Burung kuntul yang mencari makan di lahan berair seringkali mendatangi para petani yang sedang membajak sawahnya. Burung-burung ini datang secara bergerombol dan mengelilingi petani yang sedang membajak sawah baik itu dengan bajak tradisional maupun dengan mesin traktor.
Petani yang didatangi oleh kawanan burung kuntul tidak pernah mengusir burung-burung tersebut. Begitu pula dengan sang burung. Kawanan burung kuntul ini juga tidak takut untuk mencari makan di dekat mesin traktor maupun bajak sawah. Kawanan burung ini asyik mencari makan dan tidak takut terlindas dan disakiti oleh sang petani.
Burung kuntul merupakan burung pemakan serangga dan hewan-hewan kecil seperti udang, cacing, ular kecil, dan katak yang banyak terdapat di area persawahan. Ketika para petani membajak sawahnya, tanah di sawah tersebut dibalik sehingga serangga dan hewan-hewan kecil yang ada di area persawahan tersebut muncul ke permukaan tanah. Hal ini membuat burung kuntul dapat memperoleh makanannya dengan mudah.
Hubungan antara burung kuntul dan petani menyimbolkan simbiosis mutualisme di mana kedua pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Para petani yang menggarap sawah diuntungkan dengan keberadaan burung kuntul ini karena mereka memakan serangga-serangga dan hewan-hewan kecil yang dapat menjadi hama bagi tanaman padi. Sedangkan bagi burung kuntul, keberadaan petani yang sedang membajak sawah membuatnya dapat dengan mudah mendapatkan makanan.
Hubungan yang baik itu membuat para petani pun ketika didatangi oleh gerombolan burung kuntul tidak memiliki niat untuk menangkap atau mengusir mereka. Para petani membiarkan burung tersebut datang ke sawahnya dan memakan hewan-hewan kecil di dekatnya. Burung kuntul pun seperti sudah menaruh kepercayaan dengan para petani. Mereka percaya bahwa para petani itu tidak akan menyakiti mereka sehingga mereka dengan enaknya makan di dekat traktor atau bajak yang sedang digunakan oleh petani tersebut.
Panenan berlimpah merupakan capaian yang diharapkan oleh para petani. Berbagai cara diupayakan untuk menjaga pertumbuhan padi, salah satunya adalah penggunaan insektisida untuk membasmi serangga dan hama pengganggu tanaman. Akan tetapi, belum semua petani memahami penggunaan insektisida yang aman bagi lingkungan hidup. Ada yang masih menggunakan insektisida ilegal dan bersifat persisten atau menetap untuk membasmi hama dan serangga yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Penggunaan insektisida ilegal dan bersifat persisten dapat mencemari lingkungan.
Burung kuntul yang tidak secara langsung terkena insektisida juga mengalami dampak akibat penggunaan insektisida yang tidak ramah lingkungan tersebut. Burung kuntul sebagai pemakan hama dan serangga kecil di sawah ikut terkena insektisida ketika memakan hama dan serangga yang terkena semprotan insektisida dari petani.
Dalam penelitian tentang pencemaran insektisida pada tiga spesies burung air (pecuk hitam, kuntul kecil, dan blekok sawah) yang dilakukan oleh Ginoga (2005) dikatakan bahwa insektisida ditemukan dalam jaringan burung seperti lemak, hati, bulu, dan daging burung. Selain terdapat langsung dalam jaringan burung, konsentrasi insektisida juga terdapat dalam telur burung. Konsentrasi insektisida tersebut terdapat dalam kulit telur, putih telur, dan kuning telur. Sifat insektisida yang lipofilik yaitu mudah larut dalam lemak membuat insektisida tersebut paling banyak terkumpul di kuning telur dan jaringan lemak.
Keberadaan insektisida dalam jaringan burung maupun dalam telur burung kuntul berdampak negatif bagi burung tersebut. Meskipun dampaknya tidak langsung pada kematian burung kuntul, namun dampak dari residu insektisida yang mengendap dalam jaringan burung maupun dalam telurnya dapat mempengaruhi kesehatan burung tersebut.
Mari kita menjaga kelestarian alam dengan mengingatkan para petani atau pihak penyuluh pertanian agar menggunakan insektisida yang ramah lingkungan. Selain itu, mari kita jaga kelestarian alam dengan menjaga habitat atau tempat tinggal burung kuntul dan tidak melakukan perburuan terhadap burung kuntul karena burung ini termasuk satwa yang dilindungi.
Referensi:
Ginoga, L.N. 2005. Pencemaran Insektisida pada Tiga Spesies Burung Air (Pecuk Hitam, Kuntul Kecil, dan Blekok Sawah) di Areal Persawahan Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Media Konservasi Vol. X No. 1.
Kompas.com. 2008. Burung Blekok Pergi, Wisatawan Juga Pergi. diakses dari https://internasional.kompas.com/read/2008/10/03/19043950/burung.blekok.pergi.wisatawan.juga.pergi pada 11 Oktober 2020.
Sobirin, S. 2018. Pranata Mangsa dan Budaya Kearifan Lingkungan. Jurnal Budaya Nusantara Vol. 2 No. 1.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait