Kepunahan Serangga dan Kiamat Ekologis

Kepunahan Serangga dan Kiamat Ekologis
27 Juni 2023
413

“Jika manusia tiba-tiba menghilang dari muka bumi, maka bumi akan kembali ke kesetimbangan semarak yang ada 10.000 tahun lalu. Namun, ketika serangga yang menghilang maka, lingkungan hidup akan mengalami kekacauan.” 

 

Edwar O Wilson

 

Ahli biologi Belanda, C.J. Briejer, yang mengabdikan dirinya untuk mengamati kehidupan spesies serangga, menjelaskan bahwa “dunia serangga adalah fenomena alam yang sangat menakjubkan. Baginya, “tidak ada yang tidak mungkin, hal-hal yang paling mustahil pun dapat terjadi di sana. Siapa yang menembus dalam-dalam, memasuki rahasia-rahasianya akan terus-menerus menahan nafas penuh ketakjuban. Ia mengetahui, bahwa segala sesuatu dapat terjadi dan yang sama sekali tidak mungkin pun sering terjadi”.

 

Jika C.J. Briejer, menyampaikan rasa takjubnya ketika mengamati dunia serangga dan menemukan rahasia yang tersembunyi di balik kerajaan serangga. Edwar O. Wilson, pakar biologi dari Amerika Serikat, setelah sekian lama mengamati tentang serangga, menyimpulkan bahwa “jika manusia tiba-tiba menghilang dari muka bumi, maka bumi akan kembali ke kesetimbangan semarak yang ada 10.000 tahun lalu. Namun, ketika serangga yang menghilang, maka lingkungan hidup akan mengalami kekacauan”.

 

Berdasarkan pendapat dua pakar biologi yang sama-sama mengamati tentang fenomena serangga tersebut, kiranya dapat memberikan gambaran pada kita bahwa serangga ternyata memiliki peran yang sangat vital dalam mendukung keberlangsungan kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi. Sehingga wajar saja oleh para pakar, serangga disebut sebagai suatu kerajaan yang mempertontonkan sebuah fenomena alam yang sangat menakjubkan. Di samping itu, tanpa serangga lingkungan hidup akan mengalami kekacauan.

 

Keberadaan serangga dapat digunakan sebagai indikator keseimbangan ekosistem. Apabila di dalam ekosistem tersebut keanekaragaman serangga tinggi maka, dapat dikatakan lingkungan ekosistem tersebut seimbang atau stabil. Keanekaragaman serangga yang tinggi akan menyebabkan proses jaring-jaring makanan berjalan secara normal, begitu pula sebaliknya apabila di dalam ekosistem keanekaragaman serangga rendah maka lingkungan ekosistem tersebut tidak seimbang dan stabil.

 

Tetapi, untuk memahami peran penting serangga sebagai hewan yang memiliki peran vital tersebut, tentunya kita perlu memahami sistem kehidupan secara keseluruhan. Karena bagaimana pun juga, sejarah kehidupan di bumi merupakan sejarah interaksi antara mahluk hidup dan lingkungannya. Bentuk fisik, kebiasaan tumbuh-tumbuhan, dan kehidupan hewannya tidak terlepas dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti dibahasakan oleh Harold Morowitz, “tidak satu pun organisme yang bertahan hidup dalam kondisi terisolasi”.

 

Dengan demikian, keberadaan serangga dengan ukuran sangat kecil sekalipun, merupakan sebuah komunitas yang patutnya diperhitungkan, serangga banyak sekali melakukan pekerjaan untuk menopang keberlangsungan kehidupan di bumi. Tetapi, dari sekian banyak kontribusi serangga tersebut tidak diketahui oleh manusia. Jika ditelusuri lebih dalam, sekian banyak tanaman berbunga mengandalkan penyerbukan serangga. Selain itu, serangga merupakan penyebar benih yang sangat penting, juga sebagai pengurai yang membuat roda kehidupan terus berputar.

 

Serangga telah memainkan peran penting dalam rantai makanan, proses penyerbukan, dan daur ulang nutrisi lingkungan. Jika serangga punah, maka akan berpengaruh terhadap rantai makanan, dan spesies pemangsa serangga akan menyusul punah. Dengan kata lain, serangga merupakan jantung rantai makanan. Hewan kecil ini memiliki peran dalam penyerbukan tanaman, menjaga tanah tetap sehat, mendaur ulang nutrisi, pengendali hama alami, dan sebagainya.

 

Akan tetapi, keberadaan serangga saat ini berada dalam ancaman kepunahan. David Wagner, ahli entomologi di University of Connecticut, sebagaimana di lansir majalah National Geographic Indonesia (05/20), penyebab semakin berkurangnya populasi serangga pada dasarnya karena terdapat tujuh miliar manusia di planet ini. Dalam usaha menyediakan sandang, pangan, papan, dan transportasi, manusia mengubah planet ini secara mendasar, menebang hutan, membajak padang rumput, bertani monokultur, mencemarkan udara. Semua ini menyebabkan stres bagi serangga dan hewan lainnya. Kita secara sadar sedang menghadapi krisis keanekaragaman hayati.

 

Jauh sebelum diskursus akan kepunahan serangga ramai diperbincangkan para ilmuwan akhir-akhir ini. Rachel Carson, ahli biologi kelautan Amerika Serikat, telah memikirkan hal tersebut. Kegelisahannya tertuang dalam karyanya Silent Spring yang terbit pada tahun 1962. Lewat bukunya, Silent Spring, Rachel Carson menyampaikan ketakutannya akan penggunaan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk membunuh gulma, binatang pengerat dan organisme lain, termasuk juga serangga yang dalam dunia pertanian dinyatakan sebagai “hama”.

 

Misalnya, dalam kondisi pertanian yang masih tradisional, masalah hama yang harus dihadapi para petani tidak banyak. Masalah-masalah tersebut muncul setelah adanya intensifikasi pertanian. Pada dekade-dekade terakhir dengan diberlakukannya modernisasi dalam dunia pertanian, manusia menggunakan insektisida secara masif. Dengan penggunaan bahan-bahan kimia sebagai satu-satunya cara yang paling mudah untuk meningkatkan produksi pertanian, spesies manusia telah melahirkan berbagai persoalan yang hingga hari ini terus memberikan ancaman kehidupan seluruh mahluk hidup.

 

Penggunaan bahan-bahan kimia untuk membasmi serangga, selanjutnya melahirkan efek domino yang berpengaruh pada seluruh tatanan kehidupan mahluk hidup. Artinya, jika kita menghancurkan serangga yang merupakan dasar ekosistem, maka kita menghancurkan semua hewan lain yang bergantung padanya sebagai sumber makanan. Hal ini menandakan malapetaka bagi kelangsungan mahluk hidup di bumi, termasuk manusia. Oleh para ilmuwan, fenomena yang terjadi hari ini ada kaitannya dengan proses kepunahan massal keenam.

 

Terkait dengan fenomena kepunahan massal yang sedang berlansung. Elizabeth Kolbert, dalam bukunya The Sixth Extinction (2020), menjelaskan bahwa setidaknya telah terjadi lima kepunahan massal yang disebabkan oleh kekuatan astronomis atau geologis, seperti perubahan iklim, erupsi gunung merapi, atau tabrakan meteor. Namun, berbeda dengan lima kepunahan massal yang pernah terjadi sebelumnya, ancaman kepunahan massal keenam yang saat ini sedang berlangsung hampir semuanya disebabkan oleh aktivitas manusia.

 

Sebagaimana dikatakan Paul Ehrlich, di lansir dari laman National Geographic Indonesia (06/20), kepunahan massal keenam yang sedang berlangsung saat ini, harus dianggap sebagai ancaman lingkungan paling serius terhadap keberlangsungan peradaban. “Ketika manusia memusnahkan populasi dan spesies mahluk lain, mereka secara tidak langsung telah menghancurkan ekosistem yang mendukung kehidupan mereka sendiri”. Artinya, manusia merupakan aktor di balik kepunahan massal keenam yang sekarang sedang berlangsung, atau manusia merupakan penyebab terjadinya “kiamat ekologis”.

 

Untuk itu, dengan adanya jalinan keterhubungan semua spesies di dunia melalui sistem yang kompleks seperti jaring makanan, maka kepunahan suatu komunitas spesies akan menyebabkan kehancuran seluruh ekosistem. Ketika kita kehilangan spesies serangga, berarti kita kehilangan jenis-jenis spesies lain yang bergantung padanya. Jika ancaman kepunahan serangga tidak dapat dihentikan, hal ini akan menimbulkan konsekuensi bencana bagi ekosistem planet bumi dan untuk keberlangsungan kehidupan manusia di dalamnya.

 

Tentang Penulis
Arifin Muhammad Ade
IPB University

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel
Terkait
Tidak ada artikel yang ditemukan
2024-05-11
Difference:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *