INDONESIA NEGARA MEGA-BIODIVERSITY YANG GAGAL

INDONESIA NEGARA MEGA-BIODIVERSITY YANG GAGAL
8 May 2022
918

Kelas mata kuliah Media and Environment pada Jumat, 22 April 2022 membawa pembicara Bapak Syarif, selaku perwakilan dari dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Yayasan KEHATI merupakan non-governmental organization (NGO) yang berdiri sejak tahun 1994 dan hadir untuk mengelola sumber daya dalam menunjang kelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia melalui berbagai program, dan memanfaatkannya secara adil dan berkelanjutan. Pada hari itu, Bapak Syarif memberikan materi mengenai perkenalan keanekaragaman hayati Indonesia, ancamannya, dan memaparkan berbagai aktivitas yang telah Yayasan KEHATI lakukan dan dapat diikuti untuk berkontribusi melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia. Dari sesi sharing dan diskusi tersebut, saya mempelajari banyak hal baru yang memeperluas pengetahuan serta wawasan saya mengenai biodiversitas/keanekaragaman hayati.

Keanekaragaman hayati Menurut UU No.5 tahun 1994, merupakan keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber, yakni daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lainnya, serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian keanekaragamannya, mencakup keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosistem.  Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa keanekaragaman hayati dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman gen, jenis, dan ekosistem.

 

Pada seminar kemarin, Kak Syarif mengatakan bahwasannya Indonesia menjadi negara Mega-biodiversity terbesar ke-2 di dunia, setelah Brazil. Hal ini juga sudah ada risetnya yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan tempat tumbuhnya 10% spesies bunga yang ada di dunia, serta rumah bagi 12% mamalia, 16% spesies reptilia, dan 17% spesies burung yang ada di dunia. Sayangnya, terlepas dari keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, kerusakan lingkungan yang terjadi hingga saat ini mengancam keberadaan keanekaragaman hayati yang kita miliki. Biodiversity itu tentunya dipengaruhi oleh letak Indonesia sendiri yang ada di garis khatulistiwa serta berada di dua benua yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki iklim tropis. Iklim tersebut tentunya merupakan salah satu faktor pendorong dari hadirnya keanekaragaman hayati di Indonesia, namun perubahan iklim yang drastis serta kerusakan lingkungan yang parah menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup hayati di tanah air ini.

 

Namun sayangnya, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan keanekaragaman hayati yang paling parah di dunia. Menurut kak Syarif, tantangan keanekaragaman hayati Indonesia mencakup peraturan perundangan terkait kehutanan yang tidak konsisten,  penebangan liar,  pariwisata yang tidak sustainable dan kurangnya perencanaan pariwisata sehingga dapat merusak lingkungan praktik Salah satu contoh yang paling krusial dan parah adalah deforestasi, yaitu ancaman utama kelestarian hutan di Indonesia yang diakibatkan oleh konversi hutan, perambahan hutan, pertambangan, illegal logging, dan kebakaran. Hal ini berakibat pada banyak hal, seperti hilangnya habitat hewan, polusi udara akibat kebakaran hutan, dan lain-lain. Terdapat data kondisi tutupan hutan di Kalimantan dari tahun 1950 hingga 2020 yang menunjukkan tutupan hutan Kalimantan yang berkurang drastic, bahkan pada tahun 2000-an Indonesia pernah mengalami kehilangan hutan yang diperkirakan seluas 3 kali lapangan sepakbola setiap menitnya.

Dampak dari deforestasi sangat banyak, diantaranya adalah hilangnya keanekaragaman hayati, ekonomi, sosial, dan budaya. Contoh kaitannya dengan budaya adalah ketika suatu daerah memiliki simbol daerah berupa satwa yang dilindungi atau hampir punah. Jika satwa tersebut punah, maka simbol budayanya juga turut menghilang dan lama kelamaan budaya tersebut punah.

 

Menurut bapak Syarief, ada beberapa faktor yang mendorong meluasnya deforestasi:

  1. Pola pikir pembangunan yang reduksionis. Seperti merendahkan sumber daya alam sebagai modal alam dengan fungsi publik.
  2. Tata kelola dan kebijakan yang buruk dan kurang terstruktur.
  3. Adanya ‘State Capture’, yaitu fenomena pemanfaatan institusi negara sebagai penyusun kebijakan yang melibatkan korupsi.
  4. Kesenjangan sosial-ekonomi dan masalah penegakkan hukum.
  5. Pendekatan Ego-sektoral. Yaitu ketika sektor hutan diambil kayunya saja, perikanan diambil ikannya saja, pertambangan diambil mineralnya saja, dan lain sebagainya. Hal ini berakibat pada rusaknya ekosistem masing-masing sektor.
  6. Permasalahan agraria serta keadilan bagi masyarakat kecil dan masyarakat adat.

 

Oleh karena itu, Yayasan KEHATI mengajak para generasi muda untuk segera bertindak dan berkontribusi dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Ditargetkan pada generasi muda karena generasi ini inovatif, dan dapat mempengaruhi dengan mudah dengan impact yang besar melalui media online. Kita sebagai generasi mudah sudah sebaiknya berpartisipasi dalam melestarikan keanekaragaman hayati demi masa depan kita, dan generasi selanjutnya.

About Author
Waldo Farrel Hakeem
-

Leave a Reply

Related
Article
No items found
2022-05-08
Difference:

Leave a Reply