Perubahan iklim pada kenyataannya sangat berdampak terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Dampak ekstrim dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Sementara pergeseran musim serta perubahan pola curah hujan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi sektor pertanian dan perikanan. Hujan akan turun dengan intensitas yang tinggi, namun dalam periode yang lebih pendek sehingga berpotensi menyebabkan banjir dan longsor. Sementara musim panas terjadi dalam masa yang lebih panjang, sehingga menyebabkan kekeringan. Musim yang tidak menentu akan menyebabkan meningkatnya peristiwa gagal panen, sehingga kita akan mengalami krisis pangan. Namun demikian, tidak semua ilmuwan setuju tentang pemanasan global (global warming) yang memicu terjadinya perubahan iklim (climate change). Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah (kawasan). Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20. Bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut. Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol yang ketat terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih. Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang tidak seperti diprediksi ternyata disebabkan oleh penyerapan panas secara besar oleh lautan. Pada tahun 2000, United States National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebutmemperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan di laut tersebut. Temperatur laut dunia pada tahun 1998 ternyata lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir. Dengan demikian terbukti ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti. Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Meskipun demikian, pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan bumi adalah benar terjadi dan tidak dapat diragukan lagi. Sebagai negara kepulauan dan terletak di khatulistiwa, Indonesia. memiliki lebih dari 17.500 pulau serta tercatat sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia. Banyaknya jumlah pulau (sebagian besar daerah pesisirnya landai) yang dimiliki oleh Indonesia menjadikan negara kita dikenal sebagai negara yang memiliki garis pantai urutan kedua terpanjang di dunia, atau sekitar 14% dari garis pantai dunia. Sementara luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 atau mencapai hampir 70% luas wilayah Indonesia secara keseluruhan. Dengan posisi geografis dan kondisi topografis yang demikian menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi dengan cepat. Meningkatnya permukaan air laut akan berdampak sangat luas bagi sumberdaya alam dan segala sendi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat pesisir di Indonesia. Pada sisi lain, pola curah hujan dan musim yang tidak menentu akan berdampak sangat luas terhadap sektor pertanian dan ketersediaan pangan di Indonesia. Curah hujan yang berlebihan akan meningkatkan potensi banjir dan longsor di beberapa daerah. Sebaliknya pada daerah yang lain dapat mengalami musim kering yang lebih panjang akan memicu gagal panen dan kesulitan dalam memperoleh air. Musim kering yang berlangsung lama akan meingkatkan intensitas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia serta masih banyak lagi dampak ikutan lain yang potensial terjadi. Kerentanan pada dasarnya merupakan fungsi besarnya perubahan dan dampak serta variasi perubahan iklim terhadap suatu sistem atau sub sistem. Sistem yang rentan tidak akan mampu mengatasi dampak yang kecil sekalipun, apalagi perubahan yang terjadi sangat besar, ekstrim dan sangat bervariasi. Tantangannya saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah perubahan iklim secara ekstrim di masa depan. Permasalahannya adalah sejauh mana pemahaman dan kesiapan serta upaya sinergi kita dalam menghadapi kondisi tersebut Pemanasan Global Pemanasan global (global warming) adalah peristiwa dimana terjadinya peningkatan temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Dalam sejarahnya planet bumi telah menghangat dan juga mendingin berkali-kali selama kurun waktu 4,65 milyar tahun. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuwan dianggap disebabkan aktivitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin dipenuhi oleh gas-gas rumah kaca ini, maka atmosfer semakin menjadi penghalang panas (insulator) yang akan menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Para ahli mengemukakan bahwa rata-rata temperatur permukaan bumi adalah sekitar 15°C (59°F). Dalam kurun waktu seratus tahun terakhir (1900 – 2000), rata-rata temperatur ini telah mengalami peningkatan sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit). Dengan memperhatikan fenomena peningkatan tersebut para ilmuwan memperkirakan bahwa pemanasan lebih jauh dapat terjadi hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100 seperti diilustrasikan pada Gambar 1. Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan. Meningkatnya volume air laut akan menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi). Hal ini berpotensi menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau, terutama dataran rendah yang memiliki topografi landai (BBC-Indonesia, 21 Mei 2009). Gambar 1. Temperatur rata-rata global selama periode 1995 – 1999 dan proyeksi sampai dengan tahun 2100. Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar sehingga ilmuwan-ilmuwan ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini (Warsi, 21 Mei 2007). Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat. Hanya saja pada waktu itu mereka belum mampu memberikan bukti- bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca terpercaya serta dari satelit telah memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan bumi yang tertutup lautan. Data-data ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dimana 1998 menjadi tahun yang paling panas. Dampak Perubahan Iklim Global Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata- rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawaii. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer. Konsekuensi selanjutnya dari peningkatan konsentrasi gas rumah kaca adalah peningkatan temperatur bumi baik di daratan, lautan maupun atmosfer bumi. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pengaruh pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap kesehatan manusia, pertanian, hutan, sumber daya air, daerah pantai serta kelangsungan hidup spesies dan kawasan alamiah lainnya. Dampak Terhadap Cuaca Selama pemanasan global, para ilmuwan memperkirakan bahwa daerah bagian Utara dari belahan bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Sementara itu, daerah yang hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya berpotensi meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana akan menurunkan proses pemanasan (siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berubah-ubah pula. Kontradiktif dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Dengan kenyataan ini, maka pola cuaca menjadi semakin sulit diprediksi dan lebih ekstrim dari semula. Tinggi Permukaan Air Laut Apabila suhu atmosfer meningkat, maka dampak peningkatan suhu tersebut akan didistribusikan ke seluruh permukaan bumi termasuk pada permukaan laut. Dengan demikian, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang juga berdampak akan memperbanyak volume air di laut. Gambaran sejumlah factor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tinggi muka air laut. Selama abad ke – 20, tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat sebesar 10 - 25 cm (4 - 10 inchi). Para ilmuwan dari IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut menjadi 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan banyak pulau dan daerah pesisir pantai. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Meskipun sedikit, kenaikan tinggi muka laut akan sangat potensial mempengaruhi ekosistem pantai dan rawa-rawa. Hal ini akan berimplikasi mulai dari gangguan terhadap rantai makanan sampai pada hilangnya spesies biota tertentu dan seterusnya sehingga merusak tatanan kehidupan di bumi secara global. Peningkatan Suhu dan Ketidakteraturan Musim Pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1°C pada tahun 2025 dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih tinggi dari jaman pra industri, tahun 1750 - 1800 (IPCC, 2001). Pada jaman pra industri (sebelum tahun 1850), konsentrasi karbondioksida tercatat sekitar 290 ppm. Namun pada tahun 1990, konsentrasi CO2 telah meningkat hingga mencapai 353 ppm. Dengan pola konsumsi energi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi karbondioksida akan meningkat hingga dua atau tiga kali lipat dibanding jaman pra industri, yaitu sebesar 580 ppm. Menurut IPCC (2007a dan 2007b), dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida sebanyak dua kali lipat, maka diperkirakan peningkatan suhu bumi yang akan terjadi adalah sebesar 1,4 - 5,8°C. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1°C di atas suhu rata-rata tahun 1961 - 1990. Beberapa skenario proyeksi kenaikan suhu udara di Indonesia menunjukan bahwa peningkatan konsentrasi karbon dioksida sebesar dua kali lipat akan diikuti oleh peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 3 - 4,2°C. Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tidak menentunya pola curah hujan. Di beberapa tempat curah hujan akan meningkat tajam, yang kemudian akan berdampak pada terjadinya banjir dan longsor. Sementara di sebagian tempat lain curah hujan justru menurun secara ekstrim, sehingga berdampak pada terjadinya kekeringan. 2.4.2 Peningkatan Permukaan Air Laut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun. Dampak Terhadap Sektor Perikanan Pemanasan global menyebabkan memanasnya air laut, sebesar 2 - 3°C. Akibatnya, alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya, terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih (coral bleaching) dan mati. Memanasnya air laut mengakibatkan menurunnya jumlah terumbu karang termasuk di Indonesia seperti diindikasikan oleh Gambar 3.1. Padahal kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700 km2 atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia (WRI dalam Armely et al. , 2004). Peristiwa El Nino, biasa juga disebut ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang terjadi setiap 2 - 13 tahun sekali, pada tahun 1997-1998 menyebabkan naiknya suhu air laut sehingga memicu peristiwa pemutihan karang yang paling luas, terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur Dampak yang paling nyata dan kita alami saat ini adalah Indonesia harus mengimpor beras kembali. Perubahan iklim yang berdampak pada tingginya intensitas hujan dalam periode yang pendek akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air. Akibatnya dana simpanan milik petani seharusnya untuk modal tanam digunakan untuk biaya hidup. Sehingga pada saat musim tanam tiba, petani sudah tidak lagi memiliki modal. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen. Tahun 2006, 189.773 hektare tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577.046 hektare sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektare, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006 mencapai 948.865 ton (Busyairi, 2007). Konferensi Perubahan Iklim Sebelum Konferensi Stockholm diselenggarakan, masyarakat internasional melakukan kerjasama internasional pertama kali terkait dengan isu-isu yang berhubungan dengan iklim sudah ada dalam Organisasi Meteorologi Internasional (International Meteorological Organization/IMO) pada tahun 1853, yang terbentuk saat Kongres Meteorologi Internasional (International Meteorological Congress) di Brussel. Selanjutnya IMO berubah menjadi WMO pada tahun 1947. WMO selanjutnya disusun dalam dua bidang. Pertama, Program Riset Atmosfer Global (Global Atmospheric Research Program/GARP), yang dibentuk tahun 1967. GARP bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah mendasar sebagai dasar untuk meningkatkan pelayanan yang disediakan WWW (World Weather Watch) dan menyajikan pemahaman ilmiah tentang iklim. Kedua, pembentukan WWW tahun 1968 bertujuan untuk membantu pelayanan meteorologi nasional dalam bidang ramalan cuaca. Karakter agenda lingkungan hidup internasional sebelum tahun 1972 berkisar pada isu konversi hutan belantara dan satwa liar, polusi laut dan penyebaran senjata nuklir (Elliot, 2004). Konvensi Perubahan Iklim adalah diadopsinya Protokol Kyoto sebagai mekanisme pengurangan emisi. Terlepas dari kontroversi mekanisme Protokol Kyoto ini, dinamika perubahan iklim global telah masuk ke dalam agenda politik global yang mendapat perhatian serius dari negara maju maupun dari negara berkembang. Pada bagian ini akan dijelaskan kronologi terbentuknya Protokol Kyoto dilanjutkan dengan gambaran tentang sikap dari negara-negara maju dan negara-negara berkembang terhadap pengurangan emisi yang diatur dalam Protokol Kyoto ini. Harapan negara berkembang agar negara maju segera melakukan pengurangan emisi terhambat sikap negara-negara maju yang enggan meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir ekonominya terganggu. Amerika Serikat sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia justru menolak keras untuk meratifikasi dan menarik diri dari Protokol Kyoto ini. Pertarungan kepentingan antara Amerika Serikat dengan negara-negara Pihak lainnya sudah berlangsung sejak penyusunan draft Protokol dalam sesi-sesi perundingan Ad-Hoc Working Group on Berlin Mandate (AGBM). Penyelenggaraan (Conference of Parties) CoP-3 merupakan salah satu konferensi tentang lingkungan yang paling besar dan mempunyai pengaruh luas dalam dinamika politik internasional. Mengingat hasilnya mempunyai dimensi yang berdampak luas bagi kehidupan umat manusia di muka bumi, maka perhelatan ini menjadi arena diplomasi lingkungan internasional tingkat tinggi. Isu perubahan iklim bukan lagi monopoli para ahli lingkungan karena spektrum cakupannya sudah melampaui kewenangan seorang pakar lingkungan. Masalah perubahan iklim adalah masalah bersama umat manusia. Seorang kepala negara atau kepala pemerintahan sekalipun tidak akan sanggup mengendalikan permasalahan perubahan iklim seorang diri. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama global antara negara maju dan negara berkembang untuk melakukan tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, salah satunya melalui pelaksanaan CoP sebagai badan tertinggi pengambil keputusan strategis dalam UNFCCC. Melalui lembaga-lembaga yang telah dibentuk serta dengan fungsi dan kewajibannya masing-masing tersebut, maka masalah lingkungan hidup khususnya isu perubahan iklim global, mulai menjadi isu utama dalam setiap pertemuan para kepala negara baik dalam forum bilateral, regional, maupun dalam forum multilateral. Karena adanya persamaan persepsi antara semua pihak akan pentingnya keselamatan lingkungan dan bahaya yang akan ditimbulkan jika masalah lingkungan tidak diperhatikan oleh masing-masing negara. Pembangunan yang dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan akan terkait dengan persoalan lingkungan hidup, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, bahkan masuk ke wilayah politik. Karena itu, pemerintah perlu mempunyai mainstream yang jelas dimana pembangunan berkelanjutan tersebut harus diarahkan pada pembangunan yang memperhatikan lingkungan, melestarikan fungsi ekosistem yang mendukungnya, pemanfaatan kegiatan untuk berkembang secara bersama-sama dan terus menerus. Yang menjadi perhatian utama dari semua pelaksanaan CoP tersebut, adalah pada saat pelaksanaan CoP-13 di Denpasar, Bali pada Desember 2007. Konferensi ini juga dikenal sebagai Konferensi Perubahan Perubahan iklim telah dan akan menyebabkan bahaya langsung berupa perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, kenaikan muka air, dan kejadian iklim ekstrim. Berbagai proses yang memicu perubahan iklim global dan perubahan iklim telah diterima banyak pihak sebagai keniscayaan yang dicirikan oleh pemanasan global, dengan dampak langsung terhadap daur hidrologi, sehingga perubahan iklim diyakini memberi dampak secara nyata terhadap sumberdaya air di banyak wilayah di dunia dengan konsekuensi luas pada kehidupan masyarakat dan lingkungan. Makalah ini membahas dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya air di Indonesia melalui identifikasi dengan data dan fakta empirik terjadinya tren perubahan curah hujan dan debit aliran sungai√¢‚Ǩ¬êsungai di Indonesia dan berbagai upaya antisipasi melalui adaptasi, serta Undang Undang dan Rencana Aksi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air dalam menyikapi perubahan iklim global.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Article