Pekasem dan Kerupuk yang Menjaga Sawah dan Sungai

Climate Change
Pekasem dan Kerupuk yang Menjaga Sawah dan Sungai
14 August 2023
837

ENO, berjalan tergesa-gesa, sehingga kakinya tersandung sebuah batu yang mengakibatkan tali salah satu sandal jepit yang dikenakannya putus. Dia bangkit dan meninggalkan sepasang sandal jepitnya, sambil memanggul jaring ikan yang kami beli, menghampiri saya yang menunggu di tepi sebuah anak Sungai Ogan, yang airnya meluap.

 

Siang itu, kami memasang jaring yang panjangnya tiga meter dengan memotong badan anak sungai. Setiap 15 menit, jaring yang kami beli seharga Rp7.500 diangkat. Ikan yang didapat seperti sepat siam [Trichogaster pectoralis], betok [Anabas testudineus], dan anakan ikan gabus [Channa striata].

 

Menjelang magrib, sebuah ember bekas cat setinggi 30 centimeter yang kami bawa dipenuhi ikan.

 

Embeklah [ambilah] ikan bagian kau,” kata Eno.

 

“Untuk kau bae. Mama aku tidak galak [tidak mau] ikan ini. Kau bawa bae,” kata saya.

Besoknya, saya diajak Eno ke rumahnya. Dia menghidangkan beberapa potong pempek yang dibuat ibunya dari ikan kami tangkap menggunakan jaring. Kami makan pempek tersebut dengan lahap.

 

Sebagian ikan yang kami tangkap itu dijadikan ibunya pekasem. Pekasem adalah fermentasi ikan yang menggunakan nasi. Pekasem dikonsumsi setelah dimasak dengan sejumlah bumbu, seperti bawang merah, bawang putih, serai, tomat atau cung kediro [tomat cherry], serta garam dan gula.

 

Eno yang nama aslinya Steno Meisesti, adalah sahabat saya di Sekolah Dasar Negeri 87 Palembang. Sejak kelas III hingga VI, kami selalu mencari ikan di sejumlah anak Sungai Ogan di Kawasan Jakabaring, Palembang.

 

Jakabaring adalah kawasan rawa gambut yang sebelum direklamasi pemerintah pada 1993-1998 menjadi kawasan pemukiman, pasar, perkantoran, dan sarana olahraga, merupakan daerah penghasil ikan air tawar.

 

“Juga lintasan [koridor] gajah sumatra [Elephas maximus sumatrensis] dan harimau sumatra [Panthera tigris sumatrae],” kata bapak saya, yang menetap di kawasan Kertapati, di dekat Jakabaring, sejak tahun 1991.

 

SAYA suka sekali makan pekasem. Setiap kali mudik ke rumah kakek saya di Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, saya selalu makan dengan menu pekasem. Pekasem sendiri menjadi makanan yang harus ada di meja makan.

 

Cubo kau cipi masakan ikak [coba kau cicipi masakan ini] pekasem. Ini dari iwak [ikan] sepat siam dengan seluang [Rasbora] dari sungai belakang umah [rumah],” ucap Cek Lam menyuruh saya makan sambil menunjuk mangkuk yang berisi masakan pekasem yang mengeluarkan bau asam. Cek Lam adalah adik perempuan dari kakek saya.

Itu kali pertama saya makan pekasem, saat berusia delapan tahun.

 

Selain pekasem, saat di rumah kakek saya, juga sering makan olahan ikan air tawar lainnya, seperti ikan asap atau ikan sale, ikan asin, dan kerupuk.

 

Ikan asap yang saya makan, biasanya dimasak pindang, lalu ikan asin disambal tumis, dan kerupuk dipanggang dengan arang batok kelapa.

 

Saat menginjak sekolah menengah atas, saya dijelaskan Cek Lam jika ikan yang dibuat menjadi pekasem, ikan asap, ikan asin dan kerupuk, merupakan sisa atau kelebihan dari hasil ikan yang ditangkap untuk dijual.

 

Misalnya ikan baung dan lais. Ikan yang didapatkan pada musim tertentu, musim kemarau, ikan ini diolah menjadi ikan asap. Sementara ikan dari sawah dan rawa, seperti sepat dan gabus, dijadikan ikan asin. Ikan kecil-kecil yang sulit dijual, seperti ikan seluang dan lele keli [Clarias melanoderma] dijadikan pekasem.

 

AKHIR Januari 2023, saya bersama tiga teman kuliah, mudik ke rumah kakek saya. Sudah tiga tahun saya tidak mudik.

 

“Sudah susah cari ikan sale, yang masih ada pekasem inilah,” kata Cek Lam.

 

Ewako, teman saya yang ingin makan pindang ikan asap pun kecewa.

 

“Kenapa ikan sale susah dicari?”

 

Cek Lam menarik napas. Dia pun menceritakan jika tiga tahun terakhir,  ikan baung dan ikan lais sudah sangat sulit di dapatkan di Sungai Kelekar, sungai yang mengalir di Desa Muara Penimbung Ulu.

 

“Mungkin banyak rawa yang kering atau tidak lagi digenangi air. Mungkin juga sungai sudah dicemari limbah dari perkebunan, seperti kebun tebu dan sawit,” kata Cek Lam.

Ketika mampir ke warung pempek milik Bik Im, di pinggir Sungai Kelekar, saya dihidangkan pempek yang terbuat dari ikan laut.

 

“Dari ikan laut pempek ini?”

 

“Ya, sekarang ini lebih mudah dan murah beli ikan laut dibandingkan ikan sungai,” katanya.

 

Tiga tahun sebelumnya, pempek yang dijual di warung Bik Im terbuat dari ikan sungai. Seperti ikan gabus atau ikan sepat.

 

“Ikan gabus dan ikan sepat, selain jarang ditemukan juga harganya mahal,” ujar Bik Im.

Bik Im pun menjelaskan jika warga Desa Muara Penimbung Ulu banyak yang membuat ikan asap dan ikan asin menggunakan ikan tambak, seperti lele dumbo dan nila. “Ya, itu karena ikan baung, lais, ikan gabus, dan ikan sepat sudah sulit didapatkan, dan kalau pun ada harganya mahal.”

 

Lithan [68], Ketua Kelompok Tani Desa Muara Penimbung Ulu, yang saya temui akhir Januari 2023, membenarkan jika ikan baung dan ikan lais sudah sulit didapatkan di Sungai Kelekar.

 

“Jangankan lais dan baung, ikan seluang bae sulit didapatkan, apalagi pada bulan Januari hingga Maret.” .

 

Dijelaskan Lithan, Desa Muara Penimbung Ulu yang dulunya salah satu sentra ikan di Kabupaten Ogan Ilir. Hampir setiap keluarga selain menanam padi, juga mencari ikan, “Dan ikan yang didapatkan selain dijual, dibuat jadi ikan sale, ikan asin, pekasem, atau kerupuk, yang kemudian dijual selain dimakan.”

 

Tapi, setelah peristiwa Reformasi 1998, populasi ikan terus menurun. “Banyak rawa yang dibeli orang yang kemudian dijadikan kebun dan rumah. Bukan hanya di dusun ini, juga di dusun lain seperti di Pemulutan. Rawa ini kan terhubung airnya, dari Inderalaya hingga Pemulutan, begitu pun ikannya,” katanya.

 

Terakhir, sejak proses pembangunan Jalan Tol Palembang-Lampung selama lima tahun terakhir, banyak rawa dan sawah milik warga yang dibeli pemerintah dan pengusaha. Sawah dan lebak yang terjual itu berubah fungsi atau tidak lagi menjadi habitat ikan untuk bertelur dan berkembang. “Kabarnya selain dijadikan rumah, perkantoran, juga gudang,” katanya.

 

Sementara rawa dan sawah yang tersisa mengalami kekurangan air. “Biasanya rawa dan sawah tergenang air selama enam bulan dalam setahun. Sekarang ini paling tiga bulan. Jadi ikannya sedikit dan ukurannya tidak besar.”

 

Kenapa? “Mungkin airnya terputus dengan sawah dan rawa yang berubah menjadi daratan itu,” kata Lithan.

 

Desa Muara Penimbung Ulu yang luasnya 621 hektare didiami 408 kepala keluarga atau 1.482 jiwa. Sekitar 20 orang yang bertahan menjadi nelayan sungai.

“Kami bertahan dikarenakan masih adanya permintaan ikan untuk dijadikan ikan asap, ikan asin, kerupuk, dan pekasem,” jelas Lithan.

 

“Khususnya pekasem dan kerupuk. Pekasem dan kerupuk itu hanya enak dibuat dari ikan sungai atau rawa. Tidak lemak [enak] dibuat dari ikan tambak,” kata Lithan.

 

Terus berkurangnya populasi ikan, membuat sejumlah warga di Desa Muara Penimbung Ulu mempertahankan sawah dan rawanya. “Banyak yang ingin membeli sawah saya.

About Author
Mahesa Putra
Individu

Leave a Reply

2024-05-07
Difference:

Leave a Reply