Desa Seulekat merupakan salah satu Desa yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Desa ini langsung berbatasan dengan hutan Kawasan Ekosistem Leuser. Hampir seluruh masyarakat di desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani. Namun, selama satu tahun terakhir masyarakat tidak lagi berani bekerja ke kebun. Hal ini disebabkan karena adanya harimau yang berkeliaran dan telah memangsa dua korban. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Yayasan SINTAS Indonesia dan Forum Konservasi Leuser dengan masyarakat Desa Seulekat, setiap gunung di desa mereka masih dihuni oleh kucing besar pulau Sumatera ini.
Kejadian meresahkan tersebut akhirnya terjadi lagi pada hari Senin (7/1/2022). Amri Mus (68 tahun), menyebutkan bahwa dirinya mengalami luka akibat cakaran harimau sumatera pada tangan kanan. Kejadian berlangsung saat Amri Mus sedang memanen sawit dikebunnya. Ia melihat sebuah bayang-bayang berwarna kuning diantara pohon pinang. Mengira bahwa bayang-bayang tersebut berasal dari daun pinang yang telah menguning, sehingga ia pun melanjutkan kembali pekerjaanya. Bak jatuh tertimpa tangga, seekor harimau sumatera secara tiba-tiba sudah berada dibelakang punggungnya.
Dengan rasa terkejut dan juga takut, Amri Mus mencoba untuk berbicara dengan sang harimau yang ia panggil dengan sebutan nenek. “Nenek sedang apa disini? Ini adalah tempat warga mencari rezeki, tempat nenek di hutan”. Seakan mengerti apa yang dikatakan oleh Amri Mus dan merasa tersinggung, sang harimau berdiri dengan dua kakinya di hadapan Amri Mus dan langsung mencakar tangannya. Beberapa saat setelah perkelahian dengan sang harimau, Amri Mus yang menyadari di tangannya terdapat alat panen sawit pun langsung menusuk dada harimau sebanyak tiga kali. Setelah ketiga kalinya, akhirnya harimau tersebut jatuh dan berdiri kembali dengan empat kaki. Menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk melarikan diri, Amri Mus berjalan mundur dengan pelan seraya ditatap tajam oleh sang harimau. Ketika sudah merasa sedikit ada jarak, Amri Mus pun langsung melarikan diri ke dekat kampung dengan tangan yang sudah berdarah. Sampai akhirnya ia dibantu oleh warga.
Saya bergidik mendengar cerita Amri Mus yang langsung berhadapan dengan harimau sumatera. Lanjut Amri Mus, setelah kejadian tersebut Kepala Desa Seulekat melaporkan kejadian yang terjadi kepadanya ke pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Pihak BKSDA juga memasang perangkap untuk menangkap harimau tersebut. Sayangnya, dua minggu setelah perangkap di pasang, harimau tidak kunjung. Entah kemana sang harimau pergi.
Gambar 1. Amri Mus, korban konflik manusia dan harimau
Berdasarkan data BKSDA Aceh periode 2017 hingga 2021, konflik manusia dengan harimau di Aceh telah terjadi sebanyak 76 kali. Secara umum, harimau memangsa ternak atau masuk ke kebun warga. Desa Seulekat sendiri memiliki aturan dari Kepala Desa untuk tidak memelihara hewan ternak. Hal ini dimaksudkan agar hewan ternak tidak bebas berkeliaran dan memakan tanaman warga. Selain itu, Desa Seulekat juga memiliki aturan adat dimana warganya tidak perbolehkan membunuh harimau, sekalipun masyarakat melihat harimau di kebun mereka. Masyarakat Desa Seulekat, sampai saat ini mematuhi aturan tersebut meskipun mereka tidak berani untuk kembali berkebun. Atiyah, istri Amri Mus, mengatakan bahwa ketika harimau dibunuh, terdapat lembaga-lembaga yang menuntut hal tersebut. Lantas, ketika manusia yang diterkam atau dibunuh oleh harimau, siapakah yang akan menuntut harimau?
Rasa penasaran saya yang besar tentang mengapa harimau sumatera berkeliaran di kebun masyarakat membawa saya ke penemuan fakta lainnya. Wawancara saya dengan masyarakat membuahkan informasi berupa adanya perburuan babi hutan di Desa Seulekat. Pemburu merupakan warga Medan, Sumatera Utara. Mereka melakukan perburuan babi dengan membawa anjing dan memasang jerat di perbatasan hutan dan desa. Masyarakat menyaksikan sendiri bahwa pemburu hanya membawa hasil tangkapan babi saat keluar hutan. Masyarakat juga menyebukan selama ini belum pernah ada harimau sumatera yang terjerat di perangkap babi tersebut. Selain itu, di Desa Seulekat sendiri juga tidak terkonfirmasi adanya aktivitas pembalakan liar yang berasal dari perusahaan kayu.
Informasi mengenai pencegahan konflik manusia dan satwa masih sangat minim diketahui oleh warga Desa Seulekat. Hingga saat ini, masyarakat beranggapan bahwa ada pihak tertentu yang dengan sengaja melepaskan harimau ke desa mereka. Masyarakat berharap bahwa pemerintah dapat menangkap harimau yang berkeliaran tersebut. Konflik yang masih terjadi di Desa Seulekat tidak dipungkiri menjadi penyebab hilangnya mata pencaharian warga desa. Meskipun begitu, masyarakat tidak menjadi pesimis dan tetap berharap dapat hidup berdampingan dengan harimau sumatera.
Peraturan Desa Seulekat tentang larangan membunuh harimau sumatera serta panggilan “nenek” untuk predator ini adalah contoh dari kearifan lokal masyarakat Aceh Selatan yang rasanya perlu untuk diangkat kembali. Tidak hanya masyarakat Aceh, masyarakat Sumatera secara keseluruhan pun memiliki nilai budaya yang menghormati harimau sumatera. Nilai budaya yang diangkat oleh masyarakat lokal menggambarkan hubungan yang baik antara manusia dan hidupan liar di alam.
Sudah seharusnya bagi lembaga maupun pihak-pihak yang berwenang menjaga lingkungan hidup dapat membantu masyarakat terkait permasalahan konflik manusia dan satwa liar yang dihadapi oleh desa mereka. Baik dengan memberikan sosialiasi maupun melibatkan masyarakat ikut serta dalam proses penangkapan satwa liar yang berkeliaran di kebun mereka. Meskipun konflik manusia dan satwa tidak dapat diselesaikan secara langsung, namun dengan keikutsertaan masyarakat dalam proses penyelesaian konflik dapat membantu masyarakat menyadari dan memahami pentingnya menjaga hutan dan satwa liar yang hidup di dalamnya.
Yayasan SINTAS Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan