The United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada bulan Juni 1992 atau yang sering disebut dengan “KTT Bumi” atau “KTT Rio” diantaranya menghasilkan dua dokumen penting yakni Convention on Biodiversity (CBD) dan Agenda 21. Dua buah dokumen yang menjadi cetak biru (blue print) dari kegiatan pelestarian keanekaragaman hayati sampai sekarang. Dokumen Agenda 21 Chapter 13 memuat tentang Managing Fragile Ecosystems: Sustainable Mountain Development yang menggambarkan arti penting daerah pegunungan dari perspektif keanekaragaman hayati, manfaatnya bagi masyarakat pegunungan dan potensi degradasi keanekaragaman hayati tersebut jika tidak dikelola dengan baik. Setelah hampir tiga dekade dideklarasikan, apa-apa yang dijabarkan masih menjadi sesuatu yang penting untuk kita telaah dan menjadi patokan dalam menyusun rencana aksi yang lebih kekinian.
Secara terminologi gunung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diuraikan sebagai bukit yang besar dan tinggi, biasanya dengan ketinggian lebih dari 600 m. Beberapa sumber lainnya mendefenisikan gunung sebagai bagian dari daratan yang lebih menjulang atau lebih tinggi dari daerah sekitarnya. FAO (2015) mengklasifikasikan gunung ke dalam enam kelas berdasarkan kriteria topografi yang dikombinasikan dengan ketinggian dari permukaan laut dan kecuraman lereng, serta kisaran ketinggian secara lokal (Local Elevation Range – LER). Gunung dibedakan dari bukit berdasarkan ukuran tinggi dan lerengnya yang lebih curam, serta kemungkinannya untuk mengeluarkan lava (erupsi atau meletus). Gunung yang masih bisa melakukan erupsi sering diistilahkan dengan gunung berapi aktif, sementara yang sudah tidak bisa melakukan erupsi disebut dengan gunung mati atau dorman. Sementara pegunungan merupakan kumpulan atau barisan dari beberapa gunung baik gunung berapi aktif maupun gunung mati.
Gunung dan pegunungan terbentuk sebagai akibat proses geologi skala besar yang berlangsung sejak jutaan tahun yang lalu. Adanya pergerakan lempeng tektonik (lempengan penyusun lapisan kerak bumi) memicu naik dan turunnya bagian di permukaan bumi, sehingga memicu terbentuknya perbukitan, gunung dan pegunungan. Secara teoritis, proses terbentuknya sebuah gunung dinyatakan sebagai hasil dari tiga tahapan yakni;
- Akumulasi Sedimentasi; adanya penumpukan dari lapisan sedimen batuan vulkanik hingga kedalaman beberapa kilometer di dalam perut bumi
- Perubahan bentuk dan Pengangkatan Lapisan kerak bumi; sedimentasi lapisan vulkanik mengalami perubahan bentuk (deformasi) disertai adanya tumbukan antara lempeng tektonik, menyebabkan terangkatnya lapisan kerak bumi
- Pengangkatan Lapisan kerak bumi akibat gerakan blok sesar; Adanya tumbukan antara lempeng penyusun mengangkat sebagian kerak bumi menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya sehingga membentuk gunung.
Hal inilah yang menyebabkan kita menjumpai banyak gunung dan pegunungan di Indonesia. Karena Indonesia merupakan wilayah yang menjadi tempat bertemunya lempeng besar dunia (Erasia dan Australasia), serta berbagai lempeng kecil dan patahan. Indonesia menjadi pertemuan dua ring fire (jalur gunung api dunia) yakni mediteran ring of fire-sirkum dan pacific ring of fire-sirkum, sehingga Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia. Beberapa letusan gunung api di Indonesia bahkan tercatat sebagai letusan gunung api terbesar dunia seperti letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 dan Gunung Tambora pada tahun 1815.
Puncak gunung tertinggi dunia tercatat mencapai 8848 m.dpl yakni Puncak Everest di pegunungan Himalaya di daerah perbatasan Nepal dengan Cina. Sementara puncak gunung tertinggi di Indonesia adalah Puncak Jaya atau Cartenzs Pyramid dengan ketinggian mencapai 4884 mdpl. Karena semakin tinggi suatu daerah akan mengakibatkan semakin rendahnya suhu udara, maka pada puncak-puncak gunung tertinggi dunia bisa kita jumpai adanya “lapisan es abadi”. Hal ini sering dijadikan oleh ahli ekologi tumbuhan untuk menggambarkan bahwa gradasi formasi tumbuhan dari daerah khatulistiwa sampai ke daerah kutub, juga bisa kita amati jika kita menyusuri wilayah dari pinggir pantai sampai ke puncak pegunungan tinggi.
Gunung memiliki peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam. Gunung merupakan salah satu faktor utama pembentuk ekosistem, yakni melalui letusan (erupsi) yang menaburkan material vulkanik sehingga bisa meningkatkan kesuburan tanah. Letusan sebuah gunung, seperti letusan Gunung Semeru 4 Desember 2021 lalu, bisa menaburkan jutaan abu vulkanik ke wilayah sekitarnya. Abu vulkanik yang kaya akan unsur-unsur mineral tanah atau micronutrients setelah melalui proses alami akan menghasilkan tanah yang sangat subur. Gunung juga berperan besar dalam siklus hidrologi, dengan menjadi tempat penyimpanan air sementara sebelum dialirkan ke wilayah disekitarnya. Tanah yang subur, kandungan air yang banyak menyebabkan vegetasi tumbuhan pada daerah gunung dan pegunungan menjadi sangat beragam. Hal ini menjadikan daerah pegunungan menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa. Oleh karenanya, keberadaan gunung dan pegunungan menjadi sangat penting bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Wilayah pegunungan juga menjadi sangat penting bagi populasi manusia di berbagai belahan dunia. Menurut FAO (2015) total luas wilayah pegunungan di dunia yang mencapai 32 juta km2 (sekitar 22 % dari permukaan bumi), menampung sekitar 915 juta penduduk atau 13 % dari total penduduk dunia.
Karena pegunungan merupakan ekosistem yang kompleks dan rapuh, sehubungan dengan kondisi topografi, iklim dan stratifikasi berdasarkan ketinggian yang dimiliki, fungsinya yang sangat penting bagi tata guna air dan keanekaragaman hayati, serta besarnya populasi manusia yang menggantungkan hidupnya kepada wilayah pegunungan, maka gunung dan pegunungan perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal inilah yang menjadikan Agenda 21 yang dihasilkan dalam KTT Bumi di Rio de Jeneiro tahun 1992 memandang perlu mencatumkan agenda terkait “Pengelolaan ekosistem rapuh; Pembangunan pegunungan berkelanjutan”. Sebagai salah satu bentuk upaya menyebarluaskan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat maka tahun 2002 ditetapkan oleh Sidang Umum PBB sebagai International Year of Mountains. Tanggal penetapannya yakni 11 Desember sejak tahun 2003 ditetapkan dan diperingati sebagai International Mountain Day. Peringatan hari Gunung Sedunia pada tahun 2021 mengambil tema “Wisata Gunung Berkelanjutan" atau Sustainable Mountain Tourism.
Setiap tahunnya sekitar 15-20% dari total wisatawan dunia menjadikan wisata gunung sebagai tujuan mereka. Bahkan penikmat wisata pendakian gunung menunjukkan angka yang semakin bertambah. Hal ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah pendaki pada beberapa gunung di Indonesia, seperti Gunung Gede (Jawa Barat), Gunung Bromo, Gunung Semeru dan Gunung Ijen (Jawa Timur), Gunung Rinjani (Nusa Tenggara Barat), Gunung Marapi, Singgalang dan Talang (Sumatera Barat), serta berbagai gunung lainnya. Aktivitas pendakian gunung bisa saja memberikan dampak negatif dan positif. Dampak negatif bisa berupa terganggunya properti geologi, formasi batuan, mineral dan fosil; terjadinya pemadatan tanah yang terinjak-injak sehingga mengganggu drainase dan mengurangi laju infiltrasi air ke dalam tanah; terganggunya sumber daya air; kerusakan pada vegetasi tumbuhan; terganggunya kehidupan satwa; munculnya masalah sanitasi; kerusakan pada estetika pada lanskap; serta masalah lingkungan dan budaya. Sementara dampak positif bisa berupa berkembangnya alternatif mata pencaharian bagi masyarakat pegunungan seperti penyedia jasa wisata pegunungan, mulai dari tiket, parkir kendaraan, warung makanan, tepat penginapan, tempat istirahat, porter, penyewaan alat, transportasi lokal dan lain sebagainya. Wisata pegunungan pada berbagai daerah telah terbukti memberikan nilai efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian disekitarnya. Untuk menghindari dampak negatif dari berkembangnya wisata pendakian gunung ini, tentunya dibutuhkan upaya pencegahan dan penyesuaian. Pengelolaan yang baik menjadi salah satu faktor kunci untuk keberlanjutan usaha wisata dan kelestarian wilayah pegunungan. Karena itu tema “Wisata Gunung Berkelanjutan" menjadi sangat relevan untuk diangkatkan dalam peringatan hari gunung sedunia.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan wilayah pegunungan. Berdasarkan peraturan yang ada, wilayah yang berada pada ketinggian di atas 2.000 mdpl telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Beberapa ekosistem pegunungan di Indonesia juga telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Nasional Gunung Tambora, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Lorentz. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 12 juga telah mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung. Berdasarkan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya; sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh melebihi kemampuan/daya dukung lingkungan hidupnya dan tidak boleh melebihi kapasitas daya tampungnya.
Dengan demikian Wisata Gunung Berkelanjutan mesti kita sikapi dengan menghitung berapa daya dukung dan daya tampung sebuah gunung untuk kegiatan wisata, memperhatikan upaya perlindungan dan kegiatan koservasi yang diterapkan pada daerah tersebut, serta tentunya menjadikan masyarakat setempat sebagai pelaku utama dalam mengelola dan penatalaksanaan kegiatan wisata. Daya dukung sebuah gunung untuk dijadikan sebagai arena wisata pendakian bisa dihitung dengan memperhatikan berbagai variabel seperti ketinggian, kelerangan, vegetasi, satwa, tanah, drainase, pemandangan, jalur, tempat istirahat ataupun bermalam. Sementara daya tampung bisa dihitung dengan membagi areal daya dukung tersebut dengan berapa luas dan dan waktu minimal yang dibutuhkan seseorang untuk menikmati wisata gunung secara maksimal. Penghitungan ini telah dilakukan pada beberapa gunung, sehingga jumlah wisatawan yang akan mendaki gunung telah disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampungnya, sehingga bahkan untuk mengunjunginya kita mesti melakukan mendaftar terlebih untuk memastikan ketersedian tempat. Salah satu bentuk antisipasi lain yang sering dilakukan adalah dengan memberikan waktu istirahat untuk gunung setelah masa-masa puncak pendakian dengan menutup kegiatan pendakian dalam selang waktu tertentu. Para pendaki juga mesti mendapatkan edukasi terkait ekosistem pegunungan yang rentan sehingga mereka tidak memberikan dampak negatif (vandalism, sampah, dll) terhadap gunung yang dikunjungi. Upaya-upaya tersebut tentunya akan memberikan kesempatan generasi berikut untuk menikmati suasana gunung yang alami, sebagaimana kita nikmati pada masa sekarang. Selamat hari Gunung.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan