Perjanjian dan Agenda 2030 Paris untuk pembangunan berkelanjutan berisi langkah-langkah tegas, dimana Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, serta mengakhiri semua bentuk diskriminasi berdasarkan gender. Terlepas dari komitmen tingkat tinggi ini, masih ada kesenjangan yang signifikan dalam hal pengetahuan dan data gender, dan bagaimana kesetaraan gender dapat ditingkatkan dan dipertahankan. Kebijakan dan program yang digunakan terlalu sering memberi perempuan manfaat yang didefinisikan secara sempit, tanpa mempertimbangkan apakah dan bagaimana manfaat ini mengubah dinamika sosial yang ada. Bagi pemerintah, komitmen untuk menggunakan terminologi keberlanjutan, sebagai sarana untuk memajukan kesetaraan gender, terlalu sering tidak jelas dan gagal untuk terlibat lebih dalam pada perubahan sosial, kunci untuk pembangunan berkelanjutan.
Hal yang tidak mudah diwujudkan karena sejak awal diwacanakan dengan pertanyaan yang muncul “peran perempuan apakah krusial dalam konservasi lingkungan dan mengapa?” Penolakan pemikiran gender sejak awal menjadi berbaur dengan “Gerakan Feminisme”, artinya gender sama dengan perempuan. Emansipasi perempuan menjadi momok yang menakutkan.
Mengutip yang ditulis oleh Winnie Andryana pada Gender dalam Konservasi Satwa Liar[1], yaitu gender juga merupakan konstruksi sosial dan bersifat kontekstual, karena dibentuk oleh norma, budaya, tradisi dan nilai-nilai lain yang berlaku di suatu tempat, yang semuanya dapat berdampak pada proses perubahan ekologis, memperlihatkan bahwa pemahaman tentang gender harus menyangkut keseimbangan dan kesetaraan peran laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hal akses terhadap sumber daya, kepemilikan lahan, pendidikan dan pengetahuan, teknologi, dan pasar.
Dalam sebuah esai tahun 2014, sebanyak 240 ilmuwan lingkungan menyatakan bahwa masalah gender dan bias budaya akan menghambat konservasi karena memicu argumen yang memecah belah terkait dengan alasan dan cara melestarikan alam. Upaya perlindungan lingkungan tidak jarang akan menjumpai pandangan yang beragam dan nilai yang berbeda di dunia nyata. Untuk menjawab dan memasukkan pandangan dan nilai-nilai tersebut, saat itu diserukan adanya perwakilan yang lebih inklusif dari para ilmuwan dan praktisi dalam memetakan masa depan isu ini, dan untuk pendekatan konservasi yang lebih inklusif.
Sejak pertemuan tersebut, lembaga konservasi melakukan perbaikan dengan merekrut lebih banyak staf dari latar belakang yang beragam, dan bermitra lebih erat dengan pejuang keadilan lingkungan. Hasilnya, para perempuan semakin terlibat dalam organisasi konservasi. Pada tahun 2017, 41% dari staf penuh waktu adalah perempuan. Namun, sampai saat ini belum banyak penelitian yang mendokumentasikan pengalaman mereka.
Namun, apakah persoalannya ada pada persentase pekerja perempuan terkait dengan urusan pelestarian keanekaragaman hayati? Apakah masih melihat perempuan sebagai obyek yang memberatkan dalam pelaksanaan program konservasi sumberdaya hayati? Atau perempuan akan menjadi pelengkap dan pemanis proyek saja?
Saat bicara kelestarian dan konservasi lingkungan, terutama pelestarian sumberdaya hayati, maka peran perempuan sangat krusial. Hal yang penting dipahami, tugas lembaga lingkungan lebih dari melindungi satwa liar dan alam. Mereka harus berupaya melibatkan orang-orang yang bekerja untuk mempromosikan gaya hidup dan kebiasaan yang berkelanjutan, sehingga generasi masa depan dapat berkembang. Ada banyak alasan untuk meyakini bahwa gerakan yang lebih beragam akan lebih efektif, bukan hanya dalam merekrut dan memperkerjakan staf yang berkualitas, tetapi juga dalam mengatasi krisis kepunahan yang sedang dihadapi planet Bumi.
Apa peran krucial perempuan?
Dari banyak penelitian yang saya pelajari, menunjukkan gender berpengaruh terhadap bagaimana laki-laki dan perempuan menggunakan dan menjaga kelestarian sumber daya hutan. Laki-laki dan perempuan terlibat pada berbagai tahap produksi baik untuk produk kayu maupun produk hutan non-kayu, meski keterlibatan ini bervariasi di tiap komunitas.
Dari pengalaman saya mengamati beberapa kelompok perempuan di sekitar dan di dalam areal konservasi, kesan yang menempel sampai saat ini adalah pada kelompok perempuan di Taman Nasional Berbak, Tanjung Jabung Provinsi Jambi. Kawasan Berbak pada mulanya merupakan suaka margasatwa yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda Nomor 18 Tanggal 29 Oktober 1935 (Besluit Van den Gouverneur General Van Nederlansch – Indie van 29 October 1935 No.18 “ Wildreservaat Berbak”) sebagaimana tercatat pada Staatsblad Van Nederlandsch-Indies No. 521 tahun 1935 Tentang Monumen Alam, Perlindungan Hewan, Jambi.
Mengingat nilai penting dan potensi Suaka Margasatwa Berbak yang tinggi akan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun satwa, khususnya satwa langka seperti tapir (Tapirus indicus) dan harimau (Phantera tigris sumatrensis) dan telah terpenuhinya kriteria sebagai taman nasional, status Suaka Margasatwa Berbak diubah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 285/Kpts-II/1992 Tanggal 26 Februari 1992 Tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Suaka Margasatwa Berbak di Kabupaten Daerah Tingkat II Tanjung Jabung Propinsi Daerah Tingkat I Jambi seluas ± 162.700 ha, menjadi taman nasional dengan nama Taman Nasional (TN) Berbak.
Pada Tahun 2008, saat itu program yang saya kelola, program kehutanan multipihak kerja sama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Inggris yang dipercayakan pada KEHATI, memberikan hibah kecil pada Kelompok Kemuning. Sebuah kelompok perempuan yang tinggal di desa yang berbatasan dengan TN Berbak, mengupayakan pengelolaan tanaman hasil hutan non kayu dan mengolah keripik singkong. Hibah kecil tersebut diberikan hanya untuk membantu bagaimana kelompok perempuan berupaya mendapatkan income rumah-tangga dengan memanfaatkan dana hibah tersebut. Sebuah justifikasi yang saya tulis saat itu kepada proyek bahwa anggota kelompok perempuan itu adalah para istri yang suaminya bekerja untuk para penebang liar di TN Berbak.
Setahun kemudian, kami harus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap hibah ini, dan pertanyaan yang harus dijawab adalah apa dampak dari hibah yang diberikan pada penanganan pembalakan liar di TN Berbak, berapa jumlah pohon yang terselamatkan dari kegiatan hibah ini. Saat itu perwakilan dari dua pemerintah datang langsung ke Kelompok Kemuning, dan saya cukup waswas juga karena tidak yakin apabila hibah itu memiliki dampak sampai pada pengurangan pembalakan liar di TN Berbak, terutama jumlah pohon yang terselamatkan.
Saat sesi wawancara mereka dengan Kelompok Kemuning, pertanyaan itu dilontarkan dan dijawab dengan lugas oleh ketua kelompok dan anggota. Mereka menyampaikan bahwa usaha mereka berkembang di saat para suami bekerja masuk hutan. Saat suami mereka pulang ke kampung, kelompok perempuan itu menyampaikan perlu bantuan laki-laki untuk membantu produksi dan pengiriman hasil produksi berupa keripik pisang dan singkong ke pasar. Lalu para suami disibukkan dengan membantu usaha kelompok perempuan yang berkembang pesat.
Yang disampaikan oleh ketua kelompok pada evaluator adalah perhitungan jumlah pohon yang diselamatkan oleh mereka. Mereka menjelaskan dengan bahasa mereka bahwa biasanya sekelompok para suami 5-8 orang, jika masuk hutan dapat memotong pohon per hari 4 pohon dan dalam 1 minggu 28 pohon. Upah yang mereka terima dibawa ke rumah hanya bisa bertahan seminggu dan tidak sesuai dengan resiko jika tertangkap polisi hutan. Lalu dengan membantu kelompok para istri, produksi dan mengantarkan ke pasar di kecamatan, perlahan suami-suami mereka meninggalkan pekerjaan sebagai tenaga upah pembalakan liar di TN Berbak dan bersama kelompok perempuan mengembangkan usaha diluar TN Berbak. Terkesan!
Catatan kecil dari Kelompok Kemuning ini bergulir ke hibah-hibah yang melihat dan merekam bagaimana peran perempuan tidak hanya pada tataran normatif dan teknokratis, tapi banyak perubahan yang dilakukan di tingkat tapak yang kadang tidak terlihat dan terekam. Peran perempuan akan terlihat dalam banyak kegiatan konservasi tetapi tidak tercatat, seperti keunggulan perempuan dalam mengawinkan bunga vanilie, yang pada akhirnya mengambil peran dalam pengelolaan vanilie yang berkelanjutan. Pun terkait pengembangan tanaman obat-obatan di beberapa taman nasional.
Di beberapa kawasan konservasi, kerja-kerja perempuan dalam pemilihan bibit yang baik, persemaian dan pengolahan hasil hutan bukan kayu, menjadi gerakan senyap yang tak terangkat. Begitupun dengan penyelesaian konflik, suara perempuan nyaris hilang sehingga opsi penyelesainya konflik kebanyakan bias gender. Banyak yang dilupakan para aktivis untuk mengangkat suara perempuan dan upaya para perempuan di tingkat tapak kepada ranah prinsip-prinsip kebijakan keberlanjutan.
Dari Tingkat Tapak ke Konsep Berkelanjutan
Konsep konservasi keanekaragaman hayati adalah upaya pengelolaan sumber daya hayati untuk menjamin kelangsungan hidup manusia di masa sekarang dan masa mendatang. Tiga hal penting yang perlu ditanamkan pada upaya tersebut adalah (a) Perlindungan, berarti melindungi proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; (b) Pelestarian, berarti melestarikan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati; dan (c) Pemanfaatan, berarti memanfaatkan secara bijaksana sumber daya alam dan lingkungannya.
Untuk tiga hal diatas diperlukan individu-individu yang mapan dan melebihi rata-rata penduduk, terutama untuk menentukan dan memainkan peranan penting dalam mewujudkan, mempertahankan, dan mentransformasikan ide/sistem nilai dalam konservasi, sehingga perlu melihat dengan seksama bagaimana peren kelompok perempuan sejak di hulu sampai ke hilir.
Oleh karena itu, perlu upaya keras dan kerja cerdas untuk meningkatkan ekonomi dan menumbuhkan kesadaran kritis dari kaum perempuan sendiri atas hak-haknya untuk mengaktualisasikan diri dan mulai masuk pada wilayah di luar urusan domestik rumah tangga. Kesadaran ini menjadi penting untuk selalu didengungkan bahwa mereka telah membagi waktunya untuk urusan yang berkaitan dengan pelestarian sumberdaya hayati, utamanya mengajegkan peran perempuan sebagai pengambil keputusan. Dari banyak praktik di tingkat tapak, kelompok perempuan sesungguhnya mampu berperan banyak, baik dalam keluarga maupun konservasi alam.
Mengangkat kerja-kerja perempuan di tingkat tapak harus dibarengi dengan menjadikan pengetahuan mereka untuk membangun konsep keberlanjutan yang dibangun secara nyata. Keberlanjutan yang dibangun oleh perempuan pada keberlanjutan pelestarian, dapat disiapkan sebagai sistem berkelanjutan secara ajeg dan harus mampu memelihara keanekaragaman hayati yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan menyiapkan keberlangsungan secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Jika ditarik di tingkat desa, maka catatan di atas membuka ruang konsep berkelanjutan lebih luas pada tataran politik pemerintahan desa, karena di tingkat desa itulah perempuan bekerja. Menurut Muhammad Hanif (2013), dalam penelitiannya tentang Peran Serta Perempuan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Banjarsari Kecamatan/Kabupaten Madiun[1], perlu adanya peningkatan peran serta perempuan dengan beberapa hal, seperti :
- Meningkatkan kualitas diri kaum perempuan sendiri dengan berbagai pengetahuan, sejalan dengan perkembangan dan kebijaksanaan pemerintah yang mengarah pada high tech.
- Memperkuat partisipasi peran perempuan. Dengan adanya perempuan yang duduk dalam lembaga pemerintahan desa akan ikut menentukan segala kebijaksanaan di tingkat grass root. Hal ini untuk lebih menunjukkan peran perempuan yang lebih aspiratif, sehingga perempuan tidak menjadi obyek pembangunan saja.
- Melibatkan perempuan dalam aktivitas politik agar perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik. Upaya ini juga berfungsi untuk mendudukan kembali perempuan sebagai warga negara yang untuh.
- Perlunya sikap arif terbuka dari masyarakat luas khususnya kaum laki- laki untuk bisa menerima perempuan sebagai mitra kerja yang baik.
- Adanya dukungan dan jaminan pemerintah terhadap kebijakan yang sensitif gender. Kepastian hukum atau jaminan dari pemerintah ini akan dapat mendukung dan mendorong kaum perempuan untuk lebih bisa berkiprah dan mengaktualisasikan diri dalam berbagai bidang.
Hal tersebut diatas, jika diterapkan dalam konteks keberlanjutan konservasi maka diperlukan banyak model atau pilot yang fokus pada intervensi di tingkat proyek atau sektor untuk mendukung perubahan berkelanjutan dan penjagaan keanekaragaman hayati di tingkat tapak. Hasil yang dirancang adalah serangkaian kebijakan dan intervensi yang diperlukan untuk memobilisasi sumber daya yang memadai dan berkelanjutan. Pengetahuan tentang gender yang lebih baik, yaitu tentang apa yang sudah bekerja dan dukungan oleh program dan mitranya, dapat membawa perubahan signifikan dan memajukan kesetaraan gender.
Mengapa kesetaraan gender? Karena pada akhirnya pembelajaran di tingkat tapak memperlihatkan kuatnya dominasi laki-laki yang terekspos. Hampir tidak terlihat bagaimana peran kelompok perempuan, dan kelompok termarjinalkan (kelompok miskin desa, kelompok usaha tani skala kecil dan lainnya yang tidak terangkat dalam pengelolaan pengetahuan di tingkat tapak). Utamanya di sektor yang terkait dengan sumber daya alam, dominasi laki-laki berkembang sampai pada proses pemikiran kebijakan berkelanjutan.
Secara khusus, strategi dari banyak proyek atau program konservasi sumber daya hayati harus berupaya untuk berkontribusi pada konsep dan pemikiran pembangunan berkelanjutan, inklusif dan adil, bukan saja antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga untuk kelompok lain yang terpinggirkan. Kemudian menyatukan aktor berpengaruh untuk menyoroti masalah gender dan bertukar dalam forum diskusi istimewa antara aktor publik dan swasta.
Hal penting lain yaitu, memobilisasi pendanaan untuk implementasi solusi lokal yang konkret untuk kesetaraan gender, dan untuk mengatasi kesulitan akses ke pendanaan oleh kaum perempuan dalam transisi. Misalnya, berikan mereka ruang untuk menyampaikan apa yang mereka lakukan dan kendala yang dihadapi. Biarkan mereka bicara untuk melatih dan menguatkan perempuan dalam usaha di kawasan konservasi. Dengan kata lain, jangan menunggu punah baru menengok kepada kaum perempuan dan kelompok yang termajinalkan.
Bahan Bacaan
Bengen, D. 2002. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Bonsou, Kornvipa. 1992. Women’s Development Models and Gender Analysis;A Review. Asian Institute Of Technology. Bangkok, Thailand.
Handayani, 2008. Kajian Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir di Kabupaten Raja Ampat. Tesis, Magister Manajemen Sumber Daya Pantai, Universitas Diponegoro,
Semarang. Tidak dipublikasikan. Hidajadi, Miranti. 2001. Perempuan dan Pembangunan. Journal Pembangunan Edisi No. 17 Tahun 2001. Jakarta. Handuni. 1994. Potensi dan Partisipasi
Wanita dalam Kegiatan Ekonomi di Pedesaan. LP3ES. Jakarta. Mikkelsen, B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan (Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Praktisi Lapangan). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sukesi, K. 2001. Menggagas Paradigma Baru Pemberdayaan Perempuan Menyongsong Indonesia Baru. Makalah untuk seminar nasional menfasilitasi akses perempuan menyongsong Indonesia baru.
[2] JURNAL AGASTYA VOL 03 NO 01 JANUARI 2013
[1] Surat Dari Dramaga, 18 Oktober 2020. Forest Digest
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan