Di tepian sungai-sungai Kalimantan, dahulu aroma ikan haruan asap dan tumis kelakai sering mengepul dari dapur rumah-rumah kayu. Kini, pemandangan itu mulai jarang dijumpai. Pasar-pasar dipenuhi sayur dari luar daerah, makanan instan mendominasi rak toko, sementara pangan lokal yang selama berabad-abad menopang kehidupan masyarakat mulai menghilang perlahan tapi pasti. Padahal, setiap bahan pangan lokal yang tumbuh dan hidup di alam memiliki peran ekologis yang tidak tergantikan. Di balik seikat sayur pakis, sepotong ikan toman, atau umbut rotan, tersimpan keterhubungan antara manusia, hutan, dan air. Saat kita kehilangan satu jenis pangan lokal, sesungguhnya kita juga kehilangan sebagian dari ekosistem dan budaya yang membentuk jati diri daerah kita.
Pangan lokal bukan sekadar pilihan kuliner tradisional ia adalah bagian dari sistem ekologis yang lestari. Contohnya, tumbuhan kelakai dan paku urat tumbuh alami di lahan gambut dan tepian sungai. Tanaman ini bukan hanya sumber gizi, tetapi juga berperan menjaga kelembapan tanah serta menjadi indikator kesehatan ekosistem. Begitu pula ikan haruan dan toman, jenis air tawar yang hidup di rawa dan danau gambut memiliki nilai ekologis tinggi karena mampu beradaptasi di perairan miskin oksigen, sekaligus menjaga keseimbangan populasi organisme air. Namun, ekspansi pertanian monokultur dan masuknya produk pangan modern mengubah lanskap ini. Kini, hampir di setiap sudut kota bahkan hingga ke daerah pinggiran, toko-toko frozen food bermunculan dengan rak pendingin yang dipenuhi daging olahan dan sayuran beku dari luar daerah. Kepraktisan dan daya simpan yang lama membuat produk semacam ini semakin digemari, terutama oleh masyarakat perkotaan dengan gaya hidup serba cepat.
Namun di balik kenyamanan itu, muncul ketergantungan pada bahan pangan impor dan olahan yang justru mengikis kedekatan masyarakat dengan sumber pangan tradisionalnya sendiri. Padahal, lahan gambut menyimpan kekayaan pangan alami seperti ikan rawa, kelakai, purun, atau umbut rotan yang tumbuh alami tanpa bahan kimia dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. Pergeseran konsumsi ke produk beku dan instan ini perlahan membuat pengetahuan tentang pangan lokal memudar dari kebiasaan rumah tangga. Tanah gambut yang semestinya menjadi sumber kehidupan justru tersisih oleh pola konsumsi modern yang seragam dan bergantung pada pasokan luar. Ironisnya, di tengah gencarnya kampanye “makanan sehat”, justru pangan alami yang tumbuh dan ditangkap secara berkelanjutan terabaikan.
Dari sisi gizi, pangan lokal tidak kalah dengan produk modern. Ikan Haruan (Channa striata), misalnya, terbukti mengandung albumin tinggi yang membantu pemulihan luka dan meningkatkan daya tahan tubuh. Sayur kelakai, yang dikenal di masyarakat Dayak, kaya akan zat besi dan antioksidan. Umbut rotan mengandung serat tinggi, sementara buah hutan seperti keramu dan asam rimbang, menyimpan potensi nutrisi alami yang jarang diteliti. Lebih dari itu, setiap pangan lokal membawa nilai budaya. Dalam masyarakat Dayak, kegiatan mencari ikan atau sayur bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari tradisi dan identitas. Pangan menjadi medium yang menghubungkan manusia dengan alam. Saat seseorang memetik kelakai dari hutan atau menebar jala di sungai, sesungguhnya ia sedang menjaga keseimbangan kehidupan yang diwariskan leluhurnya.
Mengabaikan pangan lokal berarti memperlemah ketahanan pangan. Ketika pasar hanya bergantung pada produk modern, masyarakat kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi dari sumber daya sekitar. Ini berbahaya, terutama di tengah perubahan iklim yang kian ekstrim. Jika transportasi terganggu atau rantai pasok global terputus, daerah yang kehilangan pangan lokalnya akan rentan mengalami krisis pangan. Selain itu, hilangnya pangan lokal mempercepat degradasi ekosistem. Tanaman yang dulunya tumbuh liar kini terdesak oleh pembukaan lahan. Ikan-ikan rawa kehilangan habitat akibat penurunan muka air dan pencemaran. Ketika rantai pangan alami terganggu, keseimbangan ekologis ikut rapuh.
Upaya melestarikan pangan lokal tidak bisa sekadar nostalgia. Ia harus diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan, kebijakan, dan ekonomi. Anak-anak sekolah perlu diperkenalkan kembali pada sayuran dan ikan lokal sebagai bagian dari identitas daerah. Universitas dapat menjadi jembatan riset dan inovasi misalnya, dengan mengembangkan produk olahan kelakai, tepung umbi lokal, atau suplemen albumin dari haruan dan toman.
Pemerintah daerah pun dapat mendorong program “Ekonomi Hijau Berbasis Pangan Lokal”, dengan mendukung petani dan nelayan yang menjaga ekosistemnya. Festival kuliner daerah bisa menjadi ruang edukasi, bukan sekadar hiburan. Sementara itu, masyarakat urban perlu menumbuhkan kembali kebanggaan terhadap pangan lokal: membeli dari petani sekitar, menanam di pekarangan, dan memilih produk yang ramah lingkungan. Pelestarian pangan lokal memerlukan pendekatan lintas sektor. Kolaborasi antara masyarakat adat, akademisi, pelaku usaha, dan pemerintah dapat memperkuat rantai keberlanjutan.
Misalnya: melakukan diskusi rutin untuk menyatukan gerakan, memetakan isu dan menghubungkan komunitas agar pangan lokal tetap hidup, sebagai ruang tukar gagasan, memperkuat kapasitas, sekaligus membuka peluang pasar bagi produk lokal berkelanjutan, pemetaan digital sumber pangan lokal menggunakan teknologi SIG dan AI untuk mendokumentasikan lokasi habitat alami, program adopsi pangan lokal di sekolah sebagai bagian dari kurikulum ketahanan pangan, kemitraan kuliner hijau antara UMKM dan komunitas lokal untuk mengolah bahan pangan menjadi produk bernilai tambah. Dengan cara ini, pangan lokal bukan hanya dikenang, tetapi benar-benar hidup kembali dalam rantai konsumsi masyarakat modern.
Pangan lokal bukan sekadar soal rasa, tapi tentang keberlanjutan hidup. Ia adalah jembatan antara masa lalu yang bijak dengan masa depan yang lestari.
Saat kita memilih untuk menanam, menangkap, dan menyantap pangan lokal, sesungguhnya kita sedang menjaga hutan, air, dan identitas budaya kita sendiri. Di tengah derasnya arus modernitas, mempertahankan pangan lokal berarti menjaga bumi dan peradaban serta menyelamatkan jati diri bangsa. Karena di setiap piring kelakai dan sepiring ikan haruan, tersimpan pesan yang sederhana namun mendalam “kita tidak akan bisa menjaga bumi, jika kita melupakan akar pangan yang menumbuhkan kita.”
Terkait