Nasib Malang Para Pencari Suaka Berbulu

Aktivitas, Perdagangan Satwa, Satwa
Nasib Malang Para Pencari Suaka Berbulu
28 October 2025
1
0

World Migratory Bird Day (hari burung migrasi sedunia) diperingati tiap tahunnya pada Sabtu kedua bulan Mei dan Oktober sebagai sarana penyadartahuan kepada masyarakat luas tentang pentingnya pelestarian burung yang bermigrasi serta habitatnya yang semakin terancam oleh perubahan iklim, polusi, kehilangan habitat dan tentunya, perburuan.

 

Setiap tahunnya, burung-burung dari bumi bagian utara bermigrasi untuk menghindari kerasnya musim dingin yang berlangsung pada bulan Desember hingga Februari menuju bumi bagian selatan yang hangat karena sedang musim panas, begitu pula sebaliknya pada bulan Juni hingga Agustus saat bumi bagian selatan mengalami musim dingin.

 

Indonesia menjadi tempat yang spesial bagi fenomena ini, mengingat lokasinya yang menjadi “jembatan alam” bagi Benua Asia (yang berada di bumi bagian utara) dengan Benua Australia (yang berada di bumi bagian selatan). Berbagai macam tipe habitat yang tersedia di wilayahnya, menjadikan Indonesia sebagai gerbang penghubung atau bahkan “barak pengungsian” yang ideal bagi berbagai spesies burung bermigrasi, mulai dari golongan burung laut (seabirds), burung pantai (shorebirds), burung kicau (passerines) hingga burung pemangsa (raptors).

 

Banyak jenis migran yang tercatat melewati kepulauan Indonesia sebagai “jalur terbang” ataupun “pit stop” alias “rest area” menuju lokasi migrasi, sehingga Indonesia menjadi salah satu negara yang tergabung dalam jalur terbang asia timur-australia atau biasa kita kenal sebagai East Asia Australia Flyway (EAAF). Tidak jarang juga yang menjadikan kepulauan Indonesia sebagai wintering area, terutama untuk para individu muda yang baru pertama atau kedua mengikuti ritual migrasi tahunan ini.

 

Namun, dibalik lengkapnya “fasilitas” alamnya, Indonesia juga memiliki ancaman serius terhadap kelesterian para pencari suaka berbulu dan bertubuh mungil ini. Salah satu ancaman yang tidak bisa dinafikkan adalah tingginya tingkat perburuan terhadap burung migran, baik untuk dikonsumsi dagingnya maupun untuk dijadikan penghias-pengisi sangkar-sangkar kecil-sempit di kios, pasar, rumah para penikmat keindahan bulu dan/atau kicau mereka.

 

burung-burung kerap teramati bermigrasi dalam “kloter”, baik dalam kloter kecil maupun kloter besar (tergantung jenisnya), sehingga para pemburu kerap kali mendapatkan “panenan” berjumlah banyak dalam sekali jalan jika berburu di musim migrasi.

 

Tercatat dalam berbagai laporan, banyak burung pantai yang memilih hinggap atau beristirahat di persawahan, seperti: trinil semak (Triga glareola), trinil rawa (Tringa stagnatilis), terik asia (Glareola maldivarum), terik australia (Glareola isabella) malah terjaring jala kabut para pemburu dan berakhir di penggorengan, minimal jumlahnya ratusan. Kasus lain, banyak burung kicau kecil, seperti: sikatan biru-putih (Cyanoptila cyanomelana), sikatan mugimaki (Ficedula mugimaki) yang terjebak dalam lengketnya ”pulut” yang sengaja dipasang ataupun jala kabut yang dibentangkan para pemburu di tengah rimbunnya hutan-hutan di Indonesia.

 

Tidak sedikit dari burung-burung tersebut yang kehilangan nyawanya saat terjebak dalam perangkap. Menunggu ajal dalam kondisi penuh ketakutan, kesakitan dan ketidakpastian, hingga akhirnya pasrah dengan nasibnya. Betapa tersiksanya mereka menjelang kematian akibat praktik perburuan tersebut, baik kematian akibat cidera yang disebabkan oleh metode perburuannya itu sendiri, kematian saat proses pengangkutan dari lokasi perburuan-pengepul-kios/pasar burung yang sebagian besar disebabkan oleh cekaman stress hebat. Sesak, sempit, bahkan berhimpit, panas, pengap, bahkan berebut udara. Belum lagi karena penyakit, faktor alam, dan ancaman-ancaman lain seperti yang sudah disebut sebelumnya. Dapat dibayangkan, betapa banyaknya populasi burung migran yang “menghilang”.

 

Malang nian nasib para makhluk kecil tak berakal ini, terbang bermigrasi ribuan kilometer jauhnya melalui jalur yang penuh rintangan dan hanya dituntun oleh insting bertahan hidup dan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik di tempat suakanya, namun berkahir menderita nan mengenaskan di tangan makhluk Tuhan yang katanya paling sempurna dan mulia.

#burungair, #konservasi, AVES, Keanekaragaman hayati, avifauna, biodiversitas, biodiversity, burungmigrasi, migrasi burung
Tentang Penulis
Happy Ferdiansyah
Head Veterinarian of Wak Gatak Conservation Center

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *