Perubahan iklim telah menyebabkan planet bumi kita sedang tidak baik-baiknya. Pemanasan global secara nyata telah menghadirkan gelombang panas yang menimbulkan korban jiwa, seperti terjadi di Eropa dan baru-baru di India. Hilangnya hutan hujan tropis di Asia dan kawasan hutan Amazon di Brasil memparah dampak perubahan ikilim secara global.
Berbagai upaya mitigasi dengan rehabilitasi dan pemulihan ekosistem hutan, termasuk gambut dan mangrove menjadi agenda Indonesia untuk mempertahankan suhu bumi agar dapat di tahan pada 1,5 sesuai Janji Paris. Namun belum banyak diketahui tumbuhan tingkat rendah, Alga ternyata memiliki potensi “mendingin”kan bumi, sambil berkontribusi luas pada ketahanan pangan dan pemenuhan energi hijau di masa depan.
Dalam dunia micro-organisme, kita mengenal alga “tumbuhan” yang melakukan fotosintesis, menyerap CO2 dan memproduksi oksigen. Meski begitu, berbagai jenis alga memiliki ukuran dan bentuk beragam, dari bentuk sangat mikro sehingga membutuhkan alat microscope untuk melihatnya, hingga yang berwujud seperti rumput, tanaman kecil tak berdaun, atau rumput laut kecoklatan yang dapat tumbuh memanjang hingga 100 kaki .
Pakar kultur jaringan tanaman dan microalga Fakultas Biologi UGM, Eko Agus Suyono menyebut bahwa ada 30 ribu jenis alga yang telah teridentifikasi, dimana Indonesia memiliki biodiversitas alga terbesar di dunia. Alga berkontribusi atas separuh pasokan oksigen di dunia. Lebih jauh ilmuwan meyakini oksigen yang diproduksi alga inilah yang mendukung kehidupan di atmosfir bumi kita.
Foto kiri-kanan karya: Caleb Kastein, Naja Bertolt Jensen, Greenleaf123 istockphoto dan koleksi Eric Klarenbeek and Maartje Dros
Alga mudah ditemukan, ia adaptif bisa berada dimana saja di tempat berair, seperti di rawa, sungai, danau, perairan payau, laut bahkan di kolam buatan, bahkan di tempatr tanaman tidak dapat tumbuh, dapat dijumpai alga.
Kontribusi penting Alga pada kehidupan ini telah menarik perhatian ilmuwan khususnya di bidang bioteknologi. Penampilan alga yang sering dipandang menjijikan di perairan ini menyimpan segudang potensi yang dapat dikembangkan, bahkan dipercaya mampu menjawab sejumlah persoalaan yang dihadapi manusia dan planet bumi.
Alga mampu berkembang di perairan tercemar nitrogen dan fosfor dari aktivitas pertanian dan industri, mampu menyerap “nutrisi” tadi untuk tumbuh dan terus memproduksi oksigen, sambil “membersih”kan air terkontaminasi. Kemampuannya secara efektif menyerap nutiri, CO2 dan air menjadikan alga tumbuhan yang mampu berkembang tanpa bersaing dengan tanaman lain. Microalga, khsusnya alga hijau biru (Cyanobacteria) diyakini sepuluh kali lebih efisien dalam berfotosintesis dibanding tanaman yang tumbuh di daratan. Ini menunjukkan alga sangat potensi sebagai tumbuhan yang dapat menyerap banyak carbon (carbon sequestration) sehingga menekan tingkat emisi carbon (carbon sink).
Para peniliti juga menemukan beberapa mikro alga mampu menghasilkan enzyme untuk mengurai limbah plastik bahkan mikroalga dapat menyerap rantai carbon dari plastic sebagai “makanannya” dan mentrasformasikannya menjadi nutrisi yang vital. Belum berhenti disini, mikroalga dapat dikembangkan sebagai bahan pengganti kemasan plastic yang bersifat biodegradable. Alga ditumbuhkan pada media air lalu dibuat biopolymer seperti mycelium untuk kemudian diproduksi sebagai materi cetak tiga dimensi.
Alga sebagai sumber bahan pangan juga diminati peneliti karena mikroalaga dapat diandalkan sebagai sumber protein yang mengandung asam amino dan vitamin. Lily M. G. Panggabean peneliti Puslitbang Oseanologi LIPI, meneliti bahwa makanan dari ganggang hijau dan biru gizinya lebih baik dari sayuran hijau karena mengandung vitamin B12, disamping kandungan protein, diet serat, asam amino, lipid dan omega-3.
Masih dalam penelitian, mikroalga mungkin dapat dicampur dengan makanan pokok seperti beras, jagung dan biji-bijian dan dapat menambah nilai nutrisi biji-bijian tersebut. Keunggulan alga sebagai sumber pangan adalah pengembangannya tidak berkompetisi dengan tanaman pangan lain dalam penyediaan lahan pertanian.
Lebih jauh alga juga berpotensi sebagai bahan bakar nabati (BBN). Pengembangan BBN dari biji Rapeseed, jagung, kedele dan kelapa sawit saat ini membutuhkan penyiapan lahan bahkan memicu deforestasi di beberapa negara. Tidak demikian halnya pengembangan biofuel dari alga.
Sejak 2006, Mujizat Kawaroe dan timnya dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) telah menemukan bukti tingginya keragaman mikroalga dan produktivitasnya. Mikroalga yang biasa disebut fitoplankton, dapat tumbuh cepat dan bisa dipanen dalam empat hingga 10 hari. Produktivitas 30 kali lebih banyak dibanding tumbuhan darat. Kelapa sawit, misalnya, perlu waktu 5 bulan, sedangkan jatropa curcass atau jarak pagar perlu 3 bulan.
Dalam tubuh mikroalga terkandung protein (50 persen), lemak (30 persen), dan karbohidrat (20 persen). Dari lemak diekstraksi menjadi biodiesel, sedangkan kandungan karbohidrat dapat diproses menjadi bioetanol untuk menggantikan bensin. Mikro alga yang potensial sebagai BBN diantaranya Chlorella—memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen).
Untuk menghasilkan BBN, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi. Untuk menghasilkan biodiesel dilakukan pemurnian dan esterifikasi guna mengurai lemak menjadi hidrokarbon. Selanjutnya ampas atau residu pada proses tersebut didistilasi menghasilkan bioetanol. Sisa dari proses ini mengandung protein yang diolah menjadi pakan ternak.
Panjang garis pantai Indonesia lebih dari 80 ribu km, dengan keragaman ekosistem perairan, keberadaan alga melimpah. Tinjauan bioprospecting alga, dapat menjadi prioritas pembangunan ekonomi hijau Indonesia. Tidak diragukan lagi, alga adalah si mikro organisme sang penyelamat masa depan bumi dan manusia!
Yayasan KEHATI
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Opini
Terms and Conditions