Merajut Konektivitas Habitat Harimau Dan Memperkuat Strategi Pencegahan Perburuan Dan Perdagangan Satwa Liar

Aktivitas, Kehutanan, Satwa
Merajut Konektivitas Habitat Harimau Dan Memperkuat Strategi Pencegahan Perburuan Dan Perdagangan Satwa Liar
29 Juli 2022
717

Perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di Indonesia dan kerusakan habitat merupakan ancaman serius terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Indonesia melakukan revisi daftar jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi menjadi 904 spesies tumbuhan dan satwa liar (Peraturan Menteri LHK No. 106/2018). Namun, pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan kehati masih cukup marak. Sebuah penelitian di tahun 2019 menujukkan bahwa kasus satwa liar yang masuk ke ranah hukum menunjukkan peningkatan tajam, dari hanya 4 kasus pada tahun 2013 menjadi 138 kasus pada tahun 2018. Penelitian tersebut juga menyajikan kompilasi data dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) yang menunjukkan bahwa terdapat 441 kasus pada kurun 2011 – 2018. Beberapa kasus diantaranya terkait kasus harimau sumatra (57), trenggiling (42), penyu (41), kukang (30) dan kucing hutan (23) melengkapi lima besar jumlah kasus (Larasati 2019).

Meningkatnya intensitas patroli dan penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dapat menjadi alasan meningkatnya jumlah kasus yang berhasil diungkap. Di sisi lain hal ini memberikan gambaran bahwa undang-undang perlindungan satwa liar masih belum memberikan garansi keamanan bagi spesies-spesies simbol kekayaan sumber daya alam Indonesia. Ancaman hukuman penjara dan denda maksimal dari UU No.5 Tahun 1990 juga memberikan tanda-tanda adanya efek jera bagi para pelaku untuk bertansaksi memperjual-belikan satwa dilindungiahkan metode traksaksi secara online telah menciptakan jalur perdagangan baru.

Jerat harimau yang ditemukan oleh tim patroli.
Dokumentasi: WCS - Indonesia Program

Hutan pada awalnya merupakan satu kesatuan hamparan. Dalam perkembangan peradaban manusia yang membutuhkan ruang, hutan dibagi menjadi berbagai fungsi seperti hutan lindung, hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi konversi (HPK), Hutan Konservasi dalam bentuk Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) maupun area penggunaan lain (APL). Memang, membuka hutan sesuai dengan fungsinya bukan merupakan seSuatu yang ilegal, seperti halnya pembukaan APL yang dahulu berhutan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan. Namun, tetap saja fragmentasi habitat tidak terelakkan. Titik krusialnya adalah pada saat penyusunan peta tata ruang, dimana sentuhan “seni pewarnaan” yang harmonis dan didasari pemahaman keterkaitan antar ekosistem akan membuahkan kelestarian dan keberlanjutan.

Dampak perubahan dan fragmentasi ini paling berat diderita oleh spesies yang memiliki jelajah dan teritori luas seperti harimau dan gajah sumatra. Fragmentasi ini memicu tingginya potensi interaksi antara satwa dan manusia, sehingga menimbulkan konflik yang merugikan kedua pihak. Apa yang kita lihat di Sumatra saat ini, sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Kita semua mengetahui bahwa kepunahan harimau jawa dan harimau bali pada tahun 1980-an dan 1960-an terjadi setelah pembukaan perkebunan di zaman kolonial, perburuan dan sayembara perburuan harimau (Forum Harimau Kita 2019). Harimau yang terpaksa berkelana dari satu hutan yang terfragmentasi ke hutan lain kerap menjadi sasaran perburuan.

Dengan tren penurunan populasi satwa kunci di berbagai daerah dan tingginya ancaman perburuan, pegiat konservasi perlu melihat dengan lebih jernih permasalahan yang terjadi di lapangan. Dengan pendekatan ilmu sosial dan kriminologi dalam memahami demografi, motivasi dan ragam faktor lain yang merangsang seseorang untuk terlibat dalam perburuan dan perdagangan satwa pun dapat dilakukan (Duffy et al. 2016). Penelitian seperti ini telah dilakukan di berbagai negara. Salah satu contohnya, pemburu tidak merasa cukup khawatir ditangkap oleh petugas penegak hukum karena upaya patroli penegakan hukum tidak cukup signifikan dilakukan (Latinne et al. 2020; Skidmore 2021). Hal ini menggambarkan perbedaan signifikan antara suatu aktivitas itu dianggap ilegal dengan suatu larangan yang ditindaklanjuti dengan penegakan hukum (Skidmore 2021).

Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk mengembalikan dan melestarikan harimau sumatra?

  1. Mengembalikan konektivitas habitat. Selain mempertahankan kondisi habitat yang masih ada, upaya memperbaiki dan merangkai kembali habitat yang terfragmentasi menjadi salah satu syarat dalam memastikan kesintasan spesies yang memiliki jelajah dan teritori luas seperti harimau sumatra, terutama pada lansekap yang kecil dan sedang (Pusparini et al. 2019). Koridor hidupan liar sebenarnya merupakan gagasan yang sudah tercantum didalam peraturan pemerintah PP No.28/2011, Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam. Skema koridor hidupan liar ini juga masih mencari bentuk dan membutuhkan skema pengaturan pengelolaan yang harmonis karena melibatkan beberapa pemangku kawasan, pemerintah daerah maupun swasta.
  2. Penegakan hukum tetap menjadi satu kunci yang perlu diperkuat sehingga menimbulkan efek jera bagi siapa saja yang berniat melakukan tindakan perburuan dan perdagangan satwa liar. Kawasan hutan di Indonesia merupakan open access dan sangat luas, sehingga tidak mungkin menempatkan petugas pengelola dan penegak hukum di setiap perimeter kawasan. Namun begitu, perlu adanya strategi dan penempatan petugas pada titik-titik rawan perburuan dan perdagangan illegal untuk efisiensi sumber daya yang dimiliki.
  3. Program konservasi yang berfokus pada spesies maupun habitat kerap mengombinasikan kegiatan perlindungan dengan pemberdayaan masyarakat. Jika hanya dengan salah satu pendekatan saja, maka tidak akan dapat menyelesaikan masalah (Uprety et al. 2021). Pemberdayaan masyarakat banyak ditujukan untuk menyediakan opsi alternatif pengalihan mata pencaharian dari kegiatan ilegal. Kita perlu lebih dahulu melihat ringkasan penelitian yang dilakukan di berbagai negara terkait dengan demografi para pelaku kegiatan perburuan dan perdagangan satwa liar pada tabel dibawah ini. Informasi yang penting saat mendisain program yang yang mendukung upaya penurunan perburuan satwa dan hidupan liar.
Negara China Afrika Selatan Tanzania Namibia
Umur pelaku Mayoritas 30–44 tahun (43,9%) Mayoritas 29 – 35 tahun (38,5%) Antara 18-36 tahun Mayoritas 30-39 tahun (43%)
Jenis Kelamin Laki-laki (93%) Laki-laki (97%) n/a Laki-laki (100%)
Pendidikan ·     9.4% tidak sekolah;

·     30.9% hanya pendidikan dasar

·     59.7% pendidikan dasar hingga menengah

·     7% Tidak sekolah

·     37% Tidak lulus pendidikan dasar

·     36% Pendidikan dasar

n/a ·      Pendidikan dasar (40%)

·      Banyak tidak mengenyam pendidikan

Pekerjaan ·     48.4% pekerja perkebunan

·     36.2% pekerja non perkebunan

·     15.3% pengangguran

·     25% pekerja formal

·     36% pekerja informal

·     38% pengangguran

·     1% pensiunan

Pengangguran, tidak memiliki lahan garapan Penghasilan yang rendah
Reference (Shao et al. 2021) (Moneron dan Armstrong 2020) (Hariohay et al. 2019) (Prinsloo et al. 2020)

 

Meskipun bersumber dari penelitian di luar negeri, terlihat kisaran yang saling mendekati satu sama lain sehingga cukup pantas informasi ini dijadikan rujukan di Indonesia. Para pelaku perburuan memiliki motivasi yang beraneka ragam, ada yang berburu untuk mendapatkan “tambahan” income, kebutuhan ekonomi mendesak, keinginan untuk pamer, karena dipicu oleh konflik manusia dan satwa liar, karena diajak oleh teman atau keluarga, dan sebagainya (Paudel et al. 2020). Ragam alasan dan motivasi ini menegaskan bahwa tidak bisa mengasumsikan bahwa pelaku perburuan dan perdagangan satwa ini melandasi aksinya karena faktor kemiskinan (Duffy et al. 2016).

Penelitian-penelitian untuk mengidentifikasi motivasi keterlibatan pelaku kejahatan  dalam perburuan dan perdagangan satwa liar perlu dikembangkan di Indonesia. Hal ini berguna untuk menjadi dasar dan rekomendasi dalam memperkuat strategi kampanye dan pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum. Kita ambil contoh pentingnya pemahaman demografi dan motivasi pelaku terhadap program pemberdayaan masyarakat. Ketersediaan sumber mata pencaharian alternatif merupakan hal yang sangat penting untuk mengalihkan dari aktivitas ilegal, namun program semacam ini harus precise menyasar kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kerentanan untuk terlibat dalam perburuan dan perdagangan satwa liar. Jika program kampanye dan pemberdayaan masyarakat belum memiliki target yang sesuai, maka diperlukan review dan perbaikan program di masa mendatang karena dalam pemberdayaan masyarakat, memberikan hasil ekonomi saja belum tentu memberikan dampak positif kepada satwa liar jika salah sasaran (Hariohay et al. 2019).

Tentang Penulis
Munawar Kholis
Wildlife Crime Research Coordinator

UNODC Indonesia

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan