Hutan mangrove mewakili sekitar 1% dari seluruh hutan tropis dunia pada 118 negara tropis dan sub-tropis dengan estimasi total luasan 13,77 juta hektar (Giri et al. 2011). Indonesia merupakan negara dengan mangrove terluas di dunia yaitu 3,36 juta hektar (Peta Mangrove Nasional, 2021). Adapun ekosistem mangrove terluas di Indonesia terdapat di Papua (1.562.905 ha), Kalimantan (688.025 ha), dan Sumatera (660.445 ha).
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif di dunia karena tegakannya lebih banyak dibandingkan ekosistem perairan lainnya. Habitat mangrove mencakup habitat yang beragam seperti badan air, hutan inti, lantai hutan serasah, daratan lumpur, dan terumbu karang serta padang lamun yang berdekatan. Kondisi habitat yang sangat bervariasi membuat hutan mangrove kaya akan keanekaragaman hayati.
Terdapat 240 jenis mangrove yang terdiri dari 48 jenis mangrove sejati dan 192 jenis mangrove berasosiasi. Jumlah tersebut juga terdiri dari 74 pohon, 36 semak, 52 herba, enam palem, 43 epifit, 23 liana, tiga paku-pakuan, dan tiga jenis parasit. Selain itu, keanekaragaman fauna laut di kawasan mangrove terdiri dari 125 jenis ikan dari 47 famili dan 169 makrozoobentos dari 52 famili. Sedangkan di daratan, terdapat 161 fauna yang terbagi dalam 80 jenis burung, 38 jenis squamata, empat jenis buaya, enam jenis amfibi, 11 jenis testudinate, dan 21 jenis mamalia (Rahman 2024).
Hutan mangrove dan ekosistemmnya memberikan banyak manfaat bagi masyarakat secara umum, terutama masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove juga berperan penting dalam mitigasi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia seperti transportasi, industri, penggundulan hutan, pertanian, dan lainnya melalui proses fotosistesis. Bahkan, mangrove memiliki kemampuan penyerapan lima kali lebih banyak karbon rata-rata per hektar dibandingkan hutan tropis terrestrial.
Keberadaan ekosistem mangrove di Indonesia juga berperan menyimpan karbon. Berdasarkan penelitian (Murdiyarso et al. 2015), ekosistem mangrove di Indonesia menyimpan karbon di dalam tanah sebesar 78 persen, sedangkan karbon di pohon hidup, akar atau biomassa sebanyak 20 persen, serta jumlah karbon serasah dan kayu tumbang sebanyak 2 persen.
Menurut beberapa hasil penelitian disampaikan bahwa keberadaan hutan mangrove dengan luasan satu hektar memiliki manfaat melindungi kawasan pesisir dari hantaman angin badai dan tsunami. Contohnya, kejadian topan super yang terjadi di sepanjang pantai Orissa (India) telah melindungi masyarakat pesisir yang memiliki hutan mangrove dibandingkan yang tidak memiliki hutan. Begitu pula dengan kejadian Tsunami pada 2004 silam, dimana hutan mangrove dan hutan pantai cemara mengurangi gelombang yang disebabkan oleh tsunami dan melindungi garis pantai dari kerusakan, sebagaimana terbukti di India Tenggara (Metras 2011).
Mangrove juga berperan sebagai pengendali banjir, karena sistem perakaran mangrove yang tersebar luas pada suatu wilayah mampu mendorong sedimentasi sehingga mengurangi genangan air. Sistem perakaran mangrove yang menangkap sedimen juga mampu mencegah erosi pantai dengan menambah sedimen garis pantai. Metras (2011) menyebutkan bahwa per 100 meter luas mangrove mampu mengurangi laju pengurangan gelombang sebesar 20%. Inilah mengapa hutan mangrove disebut sebagai “benteng alami” yang lebih efektif dibandingkan dengan beton, selain karena harga pembuatannya mahal, juga tidak lebih hebat kemampuannya dibandingkan mangrove alami.
Selain sebagai benteng alami, hutan mangrove menjadi rumah bagi satwa laut dan daratan, seperti burung, ikan, udang, monyet, ular, dan lain sebagainya. Hutan mangrove menjadi penyokong ekonomi masyarakat pesisir karena menjadi sumber pakan utama. Masyarakat pesisir memanen udang, ikan, kerang, kepiting, siput laut dan berbagai spesies lainnya dari ekosistem mangrove, sehingga memberikan pendapatan dan makanan bagi keluarga. Hutan mangrove juga menyediakan jasa estetika dengan struktur akarnya yang unik, tegakan pohon hijau dan garis pantai yang indah, sehingga dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.
Meskipun hutan mangrove memberikan banyak manfaat bagi kehidupan mahluk hidup, termasuk manusia. Namun hutan mangrove diberbagai belahan dunia menghadapi berbagai ancaman yang disebabkan oleh aktivitas manusia, serta perubahan iklim dan hidrologi. Hal tersebut menyebabkan hutan mangrove hilang lima kali lebih cepat dibandingkan hutan lainnya.
Berdasarkan berbagai penelitian ilmiah, ditunjukkan bahwa separuh hutan mangrove di dunia telah hilang dalam setengah abad terakhir disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak terencana, eksploitasi berlebihan dari layanan penyedia, perluasan budidaya perikanan, penurunan aliran air tawar, pembangunan pembangkit listrik disekitar hutan mangrove, tambang minyak, praktik wisata yang tidak berkelanjutan, dan lain-lain. Khususnya di Indonesia, penyusutan luasan hutan mangrove di Indonesia mencapai 637.624 ha dari 3,36 juta hektar yang merupakan kondisi mangrove kritis (Peta Mangrove Nasional, 2021).
National Geographic Indonesia pada tahun 2019 menyebutkan bahwa terdapat 50% wilayah hutan mangrove yang hilang karena dialihfungsikan atas nama pembangunan. Lebih lanjut, 80% hutan mangrove di Pulau Jawa sudah mengalami kerusakan dan di Jakarta hanya tersisa 99 hektare kawasan hutan mangrove yang masih menunjukkan ‘kehidupan’, dari 300 hektar kawasan yang tersedia. Berbeda dengan kasus di Jawa, kehilangan mangrove di Sumatera disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, penebangan untuk kayu arang, tambak, dan dirambah jadi perladangan ilegal masyarakat. Onrizal (2010) melakukan penelitian parsial melalui analisis citra satelit bahwa kondisi mangrove dari pesisir Aceh Timur sampai dengan Deli Serdang, Sumatera Utara, dalam kurun 30 tahun terakhir (1989-2018) sudah kehilangan tutupan mangrove 59,6%.
Kehilangan tutupan hutan untuk peruntukan lain atau yang disebut alih fungsi hutan ini merugikan negara secara ekonomis dan ekologis, bahkan faktanya kerugian ekologis lebih besar nilainya dibandingkan kerugian ekonomis. Kerugian ekologis antara lain terlepasnya kembali gas CO2 ke udara mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setiap tahunnya (Murdiyarso et al. 2015). Selain itu kerusakan alam lain yaitu: banjir rob, abrasi, erosi, intrusi air laut, angin badai hingga tsunami. Untuk memulihkan lahan kritis menjadi hutan mangrove seperti semula tidaklah mudah, perlu upaya yang ekstra karena banyak faktor alami dan non-alami yang perlu dikendalikan sehingga proses pertumbuhan mangrove berjalan dengan baik.
Pemulihan (restorasi) mangrove di Indonesia bukan hanya menarik perhatian pemerintah nasional, namun juga internasional. Contohnya pemerintah Norwegia, bersedia mengelontorkan dana sebesar 156 juta USD atau setara dengan 2,5 triliun rupiah untuk kinerja penurunan deforestasi tahun 2017/18 dan tahun 2018/2019 (KLHK, 2023). Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia juga menyetujui proyek senilai US$210 juta untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya alam laut dan meningkatkan penghidupan masyarakat pesisir.
Selain pemerintah, pihak swasta, seperti perusahaan juga tertarik dalam aksi pemulihan hutan mangrove dan pesisir. Perusahaan tersebut umumnya mengimplementasikan program berbasis karbon, yaitu sebagai penghapus jejak karbon mereka. Meskipun begitu, dapat dilihat bahwa tingkat keberhasilan program restorasi dan reforestasi mangrove belum signifikan dibandingkan dengan jumlah dana yang dihabiskan. Hal ini menggambarkan bahwa memulihkan 1 hektar mangrove bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, penting untuk menjaga hutan mangrove yang ada agar tidak dialihfungsikan untuk peruntukan lain.
Pemerintah pusat dan daerah diharapkan lebih komitmen dalam menjalankan program konservasi hutan. Penegakan hukum juga perlu ditingkatkan karena fakta di lapangan memperlihatkan bahwa para pejabat negara juga terlibat bermain belakang dalam kasus pengalihfungsian hutan ini.
Inovasi sumber mata pencaharian baru yang ramah lingkungan harus terus dikembangkan dan diimplementasikan, sehingga masyarakat pesisir yang sangat menggantungkan hidup dengan hutan mangrove justru tidak merusak hutan karena tawaran ekonomi yang instan. Peningkatan sumber daya masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan dan aksi partisipatif. Silvofishery pada perikanan tambak dapat menjadi opsi dalam mengembangkan budidaya ikan yang berkelanjutan.
Selain itu pengembangan ekowisata juga mendorong masyarakat menjaga hutan mangrove, karena tanpa keberadaan mangrove jasa ekosistemnya tidak dapat dimanfaatkan. Memahami pentingnya keberadaan hutan mangrove juga perlu dilakukan sejak dini melalui edukasi tentang pentingnya manfaat mangrove dalam lingkup formal yaitu di sekolah dan kampus. Sedangkan pada lingkup non-formal dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi seperti sosial media untuk menyuarakan kepedulian terhadap keberadaan hutan, sehingga target jangka panjang dapat tercapai yaitu tidak ada lagi alih fungsi hutan yang semena-mena hanya untuk memuaskan segelintir pihak.
-Hutan mangrove terjaga, masyarakat pesisir sejahtera-
Referensi
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography. 20(1):154–159.doi:10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x.
Metras JN. 2011. Mangrove Ecology, Biology and Taxonomy. New York: Nova Science Publishers, Inc.
Murdiyarso D, Purbopuspito J, Kauffman J, ... 2015. The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature climate ….(Query date: 2024-04-25 17:59:24).
Onrizal. 2010. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 2006. Jurnal Biologi Indonesia. 6, No.2:163.
Rahman. 2024. A review on the biodiversity and conservation of mangrove ecosystems in Indonesia. Biodiversity and Conservation. 33(3):875–903.doi:10.1007/s10531-023-02767-9.
[KLHK] 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mangrove Indonesia untuk Dunia. [diakses 2024 Jun 26]. https://kanalkomunikasi.pskl.menlhk.go.id/mangrove-indonesia-untuk-dunia/
[KLHK] 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mangrove Indonesia untuk Dunia. [diakses 2024 Jun 26]. https://kanalkomunikasi.pskl.menlhk.go.id/mangrove-indonesia-untuk-dunia/
[KLHK] 2020. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berhasil Tekan Deforestasi, Indonesia Terima Dana Dari Norwegia. [diakses 2024 Jul 12. https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5445/berhasil-tekan-deforestasi-indonesia-terima-dana-dari-norwegia
[KLHK] 2023. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Norwegia Lanjutkan Kontribusi 100 Juta USD Untuk FOLU Netsink Indonesia. [diakses 2024 Jul 12. https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7548/norwegia-lanjutkan-kontribusi-100-juta-usd-untuk-folu-netsink-indonesia
[World Bank] 2023. Oceans for Prosperity (Laut untuk Kesejahteraan/ LAUTRA). [diakses 2024 Jul 12]. https://www.worldbank.org/en/programs/indonesia-sustainable-oceans-program/news-n-events
YAGASU
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan