Sejak tahun 1980-an, Indonesia sudah menganut pola penanganan sampah “Kumpul – Angkut – Buang”, yaitu sampah dari warga dikumpulkan di TPS menggunakan gerobak sampah; lalu sampah dari TPS diangkut ke TPA dengan menggunakan truk. Pada umumnya, sampah di TPA dibuang dalam bentuk tumpukan terbuka sehingga tampak kotor, bau, dan menimbulkan polusi lingkungan. Biasanya ada banyak pemulung di TPS dan TPA untuk berburu barang rongsokan, yaitu barang daur ulang atau guna ulang yang berupa plastik, logam, kertas, dan gelas. Pola penanganan seperti ini umumnya dilakukan oleh Pemda dan saat ini baru mampu mengatasi sekitar 36% dari total sampah Indonesia yang jumlahnya sekitar 70 juta ton pertahun; sementara sisa sampah lainnya dibakar, ditimbun, dibuang ke sungai, dan lain-lain.
Sekarang, pola ini menghadapi tantangan yang cukup berat karena banyak TPA yang hampir penuh dan sangat susah untuk mendapatkan tempat TPA yang baru. Upaya perbaikan untuk memperpanjang usia TPA telah dilakukan antara lain dengan menjadikan TPA sebagai TPSA (tempat pengolahan sampah akhir), misalnya dengan menggunakan PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah) dan RDF (refuse derived fuel). Kedua teknologi terakhir ini masih dirasa mahal dalam biaya investasi dan biaya operasionalnya, sedangkan listrik dan bahan bakar yang dihasilkan belum mampu untuk menutup biaya tersebut. Merupakan kenyataan bahwa tidak banyak Pemda yang mampu menanggung biaya besar tersebut sehingga solusi ini sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh sampah yang ditangani merupakan sampah campuran organik dan anorganik yang kandungan airnya sangat tinggi, bisa diatas 60%, sehingga banyak energi yang terbuang untuk penguapan air tersebut dan kandungan energi sampah secara keseluruhan menjadi negatif.
Pada peringatan Hari Peduli Sampah Nasional ini, kiranya kita semua patut untuk merenung karena persoalan sampah dan TPA ini merupakan masalah besar yang telah merenggut banyak nyawa seperti tragedi Leuwi Gajah beberapa tahun silam akibat meledak dan runtuhnya gunung sampah di TPA Leuwih Gajah ini. Ledakan ini pastilah berasal dari sampah organik yang berubah menjadi gas akibat proses dekomposisi yang terjadi di dalam tumpukan sampah yang tersumbat. Oleh karena itu, disamping merenungi peristiwa tersebut, kita juga perlu berpikir untuk mencari solusi alternatif agar masalah ini bisa teratasi dengan baik sehingga kita dapat terbebas dari masalah sampah dan TPA. Disini saya akan memaparkan gagasan alternatif penanganan sampah yang berbeda dengan pola di atas, yaitu melalui gerakan Masaro Polybag Farming untuk mengenolkan pengiriman sampah organik ke TPA sehingga jumlah pemasukan sampah ke TPA dapat berkurang sekitar 50%. Mengapa begitu? Ini tidak lain karena menurut statistik jumlah sampah organik mewakili sekitar 50 – 70% dari total sampah.
Masaro Polybag Farming dan LBHP
Mungkin belum banyak orang yang tahu dengan istilah Masaro ini. Suatu istilah yang kami populerkan sehubungan dengan kegiatan pengelolaan sampah di beberapa desa dan kelurahan di Jawa Barat. Masaro polybag farming adalah cara bertani dengan menggunakan polybag mengikuti tuntunan Masaro seperti diperlihatkan pada Gambar berikut
Masaro memberi tuntunan untuk formulasi media tanam berupa 4321, yaitu media tanam yang terdiri dari tanah, sampah organik, kotoran hewan, dan arang sekam padi dengan perbandingan volume berturut-turut 4:3:2:1. Diawali dengan memasukkan sampah organik pada bagian bawah polybag lalu diikuti diatasnya oleh campuran 3 media tanam lainnya, atau keempat bahan dicampur bersama-sama dari awal dan disiram dengan larutan Masaro. Setelah itu, media tanam dibiarkan selama satu minggu agar terjadi proses pengomposan dan pendinginan media tanam. Bibit sayur dan buah dapat ditanam setelah itu dan dipelihara dengan POCI Masaro.
Sistem pertanian polybag Masaro ini memiliki 3 keunggulan dibandingkan dengan sistem hidroponik, yaitu:
- Lebih murah biaya investasinya sehingga bisa dilakukan oleh setiap orang.
- Dapat membersihkan sampah karena media tanamnya mengandung setidaknya 30% sampah organik.
- Bersifat pertanian organik, sebuah model pertanian yang dipahami lebih sehat dari pada pertanian kimia.
Oleh karena itu, Masaro polybag farming dapat digunakan sebagai gerakan masal di desa dan kelurahan untuk pengolahan sampah, kegiatan penghijauan, dan pertanian untuk ketahanan pangan, bahkan untuk usaha komersial keluarga.
Dalam sistem Masaro, sampah organik dibagi dua yang terdiri dari sampah organik mudah membusuk dan sampah organik sulit membusuk. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan proses pengolahannya dengan teknologi Masaro. Ada 3 model pengolahan sampah organik yang dapat diterapkan dengan mudah, murah, dan rapi, yaitu:
- Sampah mudah membusuk diolah menjadi POCI (Pupuk Organik Cair Istimewa) dan KOCI (Konsentrat pakan Organik Cair Istimewa) dengan teknologi Masaro ITB. Pengolahan ini menghasilkan nilai tambah produk yang sangat tinggi dan mampu mengangkat sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sehingga berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat.
- Sampah sulit membusuk dijadikan kompos Masaro dengan teknologi Masaro ITB. Proses pembuatan kompos yang lain biasanya lama, kotor, dan memerlukan banyak tenaga untuk membolak-balikkan sampah dan aerasi, dengan teknologi Masaro ITB pembuatan kompos menjadi cepat, mudah, dan hemat tenaga serta tidak perlu aerasi. Dengan demikian Kompos Masaro dapat dibuat dengan mudah di setiap rumah dan menjadi nilai tambah bagi penghuni setiap rumahnya.
- Sampah organik baik yang sulit maupun yang mudah membusuk dijadikan satu menjadi media tanam dalam Masaro Polybag Farming. Dengan pola Masaro ini sampah organik dari dapur dan halaman rumah dapat langsung dimasukkan setiap hari ke dalam dasar polybag dan langsung disiram atau disemprot dengan larutan POCI Masaro untuk pengomposan yang cepat dan tidak bau. Setelah sampah mencapai volume 1/3 polybag, maka dicampurkan di atasnya media tanam lain yang terdiri dari tanah, kotoran hewan, dan arang sekam padi, sehingga komposisi media tanam tersebut mengikuti formula 4321, seperti dijelaskan di atas.
Model pengolahan sampah nomor 3 biasa kami lakukan di dalam program Lingkungan Bersih Hijau dan Produktif (LBHP) seperti di Desa Cileunyi Kulon dan Kelurahan Pasawahan Kabupaten Bandung. Program ini mampu menghabiskan seluruh sampah organik di lingkungan itu, bahkan pernah kekurangan sehingga harus mengambil sampah organik dari pasar terdekat. Ini artinya program LBHP mampu mengurangi sampah ke TPA sekitar 50 – 70%, suatu angka pengurangan yang sangat tinggi. Disamping itu, rumah dan pekarangan warga akan dipenuhi dengan polybag farming yang sangat berguna untuk penghijauan dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. Beberapa desa dan kelurahan bahkan membuat program polybag farming secara lebih teratur dengan memetakan wilayahnya menjadi RT Cabe, RT kangkung, RT Tomat, RT sawi, dll. sehingga terjadi simbiosis mutualisme untuk saling tukar produk satu dengan lainnya. Kenyataan ini telah membuat hubungan warga semakin baik dan menghilangkan kerenggangan yang biasanya terjadi akibat kurangnya silaturahmi.
Model pengolahan sampah nomor 2 dilakukan dengan sangat mudah dan cepat sebagai berikut:
Teknologi Masaro ITB memiliki keunggulan dalam hal kemudahan dan kecepatan proses pengomposan dibandingkan dengan teknologi lainnya sehingga bisa dilakukan di rumah-rumah, taman-taman, dan area penghijauan pinggir jalan secara langsung di lokasinya, tanpa harus membuangnya ke TPA atau tempat lain yang jauh. Produknya pun bisa langsung digunakan untuk penyuburan kembali lahan di lokasi tersebut. Sungguh sangat praktis dan hal ini pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan kebersihan lingkungan.
Kombinasi model pengolahan sampah organik 2 dan 3 sesungguhnya telah mampu menghabiskan seluruh sampah organik di desa dan kelurahan secara ramah lingkungan dan produktif. Tentunya metode ini bukannya membebani warga tetapi malah menguntungkan warga, terutama dalam penghijauan dan pemenuhan kebutuhan pangan. Meskipun demikian, pelaksanaan program LBHP ini harus diawali dengan sosialisasi dan edukasi yang baik, termasuk bimbingan teknis serta monitoring dan evaluasi agar bisa menjaga gerakan warga seluruh desa dan kelurahan. Kader-kader penggerak di level RT dan RW pun sangat diperlukan sehingga penguatan dari pemerintah desa dan kelurahan sangat dibutuhkan. Adapun model pengolahan sampah organik nomor 1, prosesnya bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Proses ini biasa dilakukan di IPPO (Industri Pupuk dan Pakan Organik) dan tidak perlu didirikan di setiap desa dan kelurahan, tetapi cukup di level kecamatan atau bahkan di level kabupaten atau kota. Di setiap Desa dan Kelurahan cukup didirikan SIUL (Stasiun Isi Ulang) POCI Masaro untuk tujuan distribusi dan pemenuhan kebutuhan di setiap desa dan kelurahan. Hal ini bisa dikelola secara bisnis yang menguntungkan untuk dilakukan oleh BUMDES atau koperasi sehingga dari sampah organik dapat tercipta suatu kegiatan ekonomi sirkular yang baik.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Opini
Terms and Conditions