Restorasi lanskap hutan yaitu suatu proses untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh bentang alam hutan yang sudah terdeforestasi ataupun terdegradasi. Selain menanam pohon, restorasi juga bertujuan memulihkan seluruh bentang alam untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan, serta menawarkan banyak manfaat dan penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Jenis kegiatannya pun dapat berbeda-beda, seperti penanaman pohon, regenerasi alami yang dikelola, kegiatan wanatani ataupun pengelolaan lahan yang lebih baik untuk mengakomodasi mosaik penggunaan lahan, termasuk pertanian, suaka margasatwa yang dilindungi, perkebunan yang dikelola, penanaman di tepi sungai, dan kegiatan sejenisnya.
Menurut penilaian potensi restorasi global oleh IUCN[1], terdapat lebih dari dua miliar hektar lahan terdeforestasi dan terdegradasi di seluruh dunia di mana peluang untuk beberapa jenis intervensi restorasi perlu direalisasikan. Memulihkan hutan dan lanskap hutan merupakan langkah penting dalam memulihkan kesehatan dan fungsi ekosistem itu.
Di Indonesia, akumulasi masalah pengelolaan hutan selama lebih setengah abad telah melahirkan sebagian besar hutan alam produksi telah berubah menjadi hutan tanaman atau lahan tidak produktif. Akibatnya terdapat perubahan pemanfaatan hutan alam produksi menjadi hutan tanaman, dipinjam pakai menjadi pertambangan, juga dialih-fungsikan menjadi perkebunan. Saat ini pun telah terjadi lebih dari 30 juta Ha hutan produksi yang telah tidak dikelola secara intensif dalam kondisi akses yang terbuka. Selain itu terdapat pula kondisi kawasan hutan yang memerlukan restorasi, baik di dalam kawasan hutan lindung maupun kawasan hutan konservasi.
Selain itu, tentu saja kebutuhan restorasi hutan juga terdapat di luar kawasan hutan negara, terutama apabila berdasarkan fungsi ruang, termasuk ke dalam wilayah kawasan lindung. Hal ini juga penting untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan, sebagaimana hutan yang berada di dalam kawasan hutan negara.
Pelaksanaan Restorasi
Pemerintah mempunyai program dan kegiatan restorasi dengan berbagai bentuk seperti diuraikan di atas. Misalnya dalam penjelasan Menteri LHK kepada Komisi IV DPR-RI pada November 2019 disebut bahwa target melakukan rehabilitasi hutan dan lahan sampai dengan 2024 seluas 500.000 hektar. Dalam kesempatan ini, juga disebut bahwa kegiatan itu termasuk pengendalian kerusakan 30 danau yang sangat vital sebagai penampung air. Pada kesempatan ini juga disebut bahwa pelaksanaan restorasi yang berupa program pengendalian daerah aliran sungai dan hutan lindung serta program konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya memiliki anggaran cukup besar yaitu sekitar 63% dari total anggaran prioritas nasional KLHK.
Selain oleh pemerintah, kegiatan restorasi hutan juga dilakukan oleh swasta. Dalam perbincangan antara Departemen Kehutanan, lembaga-lembaga non pemerintah serta swasta tujuh belas tahun yang lalu, restorasi hutan yang dikelola perusahaan dilaksanakan disikapi melalui diskresi dengan keluarnya Permenhut No. SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem (RE) di Kawasan Hutan Produksi. Disebut diskresi karena istilah “restorasi ekosistem” tidak ada dalam peraturan-perundangan baik Peraturan Pemerintah maupun Undang-undang yang berlaku pada saat itu.
Pada kondisi kapasitas pemerintah dan pemda yang belum cukup memiliki kapasitas menjalankan pengelolaan hutan secara nasional, adanya pelaku restorasi ekosistem hutan oleh perusahaan swasta diharapkan dapat mengisi lemahnya kapasitas pengelolaan tersebut. Disamping itu, dengan fokus pada ekosistem hutan produksi, dapat pula digali berbagai manfaat hutan produksi selain kayu untuk dapat dikembangkan.
Dengan skema izin usaha RE sampai akhir Oktober 2019 telah terdapat 16 unit izin usaha seluas 623.075 Ha. Areal kerja pada awalnya mempunyai tipe ekosistem hutan lahan kering berupa dataran rendah 149.482 Ha (24 %) dan dataran tinggi 36.450 Ha (6 %), dan berkembang kearah tipe ekosistem gambut 419.763 Ha (67 %), tipe ekosistem mangrove 14.080 Ha (2,26 %), dan tipe ekosistem rawa 3.300 Ha (0,53 %). Penyebarannya di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan.
Klasifikasi tujuan investasi dan modal usaha yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (2017), mengalami pergeseran dari tujuan pengelolaan hutan sebagai produksi kayu secara komersial, menjadi empat kategori. Pertama, usaha RE berbasis konservasi dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti: PT. REKI dengan tujuan penyelamatan hutan dataran rendah Sumatra yang tersisa, PT. ABT dengan tujuan mengembalikan ekosistem hutan landscap alam hutan dataran tinggi Bukit Tigapuluh, PT. RHOI bertujuan pelepasliaran kembali orangutan ke habitat alaminya.
Kedua, usaha RE berbasis peluang bisnis dilakukan oleh LSM dengan tujuan perdagangan karbon (jasa lingkungan) dan hasil hutan bukan kayu, seperti: PT. RMU dan PT. RRC yang mengusahakan karbon sebagai bisnis utamanya serta upaya konservasi kehati dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat, serta PT. EKL yang mengusahakan ekowisata dan silvofishery pada hutan mangrove. Ketiga, usaha RE berbasis green project dilakukan perusahaan melalui dana CSR, seperti: PT. ASL group PT. Adaro dari korporasi yang bergerak di bidang pertambangan melalui dana reklamasinya melakukan kegiatan restorasi pada hutan produksi dan PT. SIPEF dalam group perusahaan perkebunan yang memanfaatkan biodiversity asset.
Keempat, usaha RE berbasis penyelamatan asetnya sendiri, seperti: PT. GCN, PT. GAN, PT. SMN, PT. TBOUT sebagai satu group usaha hutan tanaman RAPP melakukan kegiatan restorasi yang dikenal dengan Restorasi Ekosistem Riau (RER) serta PT. KEN satu group usaha hutan tanaman APP melakukan kegiatan restorasi.
Paradigma restorasi hutan yang pada awalnya ditujukan hanya pada jeda atau penundaan waktu penebangan dalam pengusahaan hutan alam, dengan pengelolaan usaha RE berakibat menjadi kegiatan pembiayaan penuh (cost center). Nilai investasi untuk 16 perusahaan selama 6 tahun pertama diperkirakan sekitar US$ 14 juta hingga US$ 18 juta. Alternatif sumber pembiayaan tersebut diharapkan dapat diperoleh melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan maupun memanfaatkan kawasan.
Dalam praktik di lapangan, pengelolaan restorasi ekosistem ini serupa dengan pengelolaan hutan lainnya, masih diliputi oleh persoalan konflik dan klaim penggunaan hutan/lahan, kebijakan pemerintah yang terlalu teknis dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan, perubahan tata ruang, illegal logging, maupun rendahnya dukungan pemerintah daerah. Direktorat Jenderal PHPL, KLHK dalam menyusun road map RPJMN periode 2015 s/d 2019 menetapkan target penambahan seluas 500.000 Ha, namun kenyataan penambahan realisasi perizinan usaha RE sampai dengan Oktober 2019 baru mencapai 107.806 Ha (21, 56 %).
Di Balik Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Sumberdaya Air
Fungsi ekologi dari hutan tersebut sangat luas, namun dalam artikel ini cukup dibatasi pada fungsi ekologis yang terkait dengan pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber daya air. Kedua fungsi itulah yang secara langsung mempengaruhi misalnya, produksi pangan sebagai kebutuhan yang paling esensial bagi kehidupan masyarakat. Pangan selain bisa didapat secara langsung di dalam hutan alam yang masih baik keanekaragaman hayatinya[2], juga dapat dibudidayakan, seperti tanaman padi, jagung, kedelai dan berbagai tanaman pertanian lainnya. Budi daya itu dapat berhasil apabila ditopang oleh kondisi lingkungan hidup yang mampu memberi pasokan air yang cukup di musim kemarau dan tidak banjir di musim hujan.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)[3], pengumpulan data keanekaragaman hayati di Indonesia masih terbatas. Indonesia tercatat memiliki 1.500 jenis alga, 80.000 jenis tumbuhan berspora berupa jamur, 595 jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan, serta 30.000-40.000 jenis tumbuhan berbiji atau sekitar 15,5% jumlah flora di dunia. Masih menurut LIPI, Indonesia memiliki 8.157 jenis fauna vertebrata (mamalia, burung, herpeto-fauna, dan ikan) dan sekitar 1.900 jenis kupu-kupu atau sekitar 10% dari jenis kupu-kupu di dunia. Karena keunikan ekologi Indonesia, maka banyak jenis tumbuhan dan hewan endemik[4], antara lain fauna endemik mencakup 270 mamalia, 386 burung, 328 reptil, 204 amphibia, dan 280 jenis ikan. Sedangkan untuk tumbuhan tingkat endemisitas tercatat antara 40-50% dari total jenis flora di setiap pulau, kecuali Sumatra, yang tingkat endemisitasnya hanya sekitar 25%.
Dengan kekayaan keanekaragaman hayati tersebut, Indonesia mencanangkan adanya kawasan konservasi yang sudah dimulai sejak zaman penjajahan oleh Belanda. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kawasan konservasi yang dikelola oleh KLHK dilaksanakan oleh 52 Balai Besar Taman Nasional dan 22 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam sebanyak 556 unit yang terdiri dari luas daratan 27,14 juta hektar dan kawasan konservasi perairan seluas 5,32 juta hektar. Kawasan konservasi itu meliputi berbagai tipe ekosistem, baik berupa ekosistem hutan hujan pegunungan tinggi, hutan hujan pegunungan rendah, hutan kerangas, hutan rawa, hutan gambut, karst, savana, hutan bakau, hutan pantai, gumuk pasir, padang lamun, ekosistem terumbu karang, maupun ekosistem danau air tawar[5].
Hutan hujan tropis yang masih terjaga dengan baik di kawasan hutan Humbang Hasundutan. Foto oleh Ali Sofiawan TFCA Sumatera-Yayasan KEHATI
Kawasan konservasi dan hutan lindung yang mempunyai peran sangat vital perlu dicegah kerusakkannya. Selain berbagai dampak hilangnya fungsi ekologis, kerusakan kedua fungsi kawasan tersebut juga berdampak pada pengaturan tata air, yang berarti berkurang daya gunanya untuk mengendalikan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Berdasarkan kondisi kerusakan sumberdaya alam yang juga terus berjalan dari waktu ke waktu, data Bappenas dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS) untuk rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, memproyeksikan kelangkaan air absolut di Pulau Jawa pada 2040. Sebelumnya, sejak tahun 2000 sudah terjadi kelangkaan, walaupun masih dapat diatasi. Kelangkaan absolut yang dimaksud yaitu jumlah sumber daya air tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan manusia, tidak peduli seberapa banyak sumber tambahan yang dapat diperoleh.
Berbeda dengan barang pada umumnya, sebut saja barang private, yang mana semakin langka barang itu cenderung semakin mahal harganya, air yang tersimpan di planet, dapat disebut sebagai barang publik (public goods). Ciri barang publik, nilai atau harganya tidak selalu dapat digambarkan oleh kelangkaannya. Air di planet bahkan terus dirusak sumbernya ataupun dicemari justru atas nama panglima-panglima pembangunan dan supremasi-supremasi kekuasaan politik yang membutuhkan air itu. Air semakin menjadi barang yang diperebutkan, tetapi di tempat-tempat umum semakin menjadi barang yang tidak dihargai. Hutan-hutan lindung pun, yang menjadi sumber dan pengendali penyimpanan air dirusak, pada saat sawah-sawah subur di bawahnya kekeringan.
Dengan demikian, di balik kerusakan keanekaragaman hayati dan sumber daya air tersebut terdapat persoalan beragam yang dapat ditinjau dari perspektif: ekonomi, sosial, kelembagaan, politik maupun kebijakan dan peraturan-perundangan. Masalah hak-hak atas tanah misalnya, sangat menentukan apakah masyarakat akan peduli terhadap penyelamatan sumber daya alam di wilayahnya atau tidak. Tanpa ada kejelasan hak-hak atas sumber daya alam itu juga dapat menjadi penyebab perusakan sumberdaya alam manakala harga komoditi yang dapat diambil membubung tinggi. Karena masyarakat tidak mempuyai kepastian apabila harus menjaga kelestariannya.
Semakin renggang hubungan sosial antar warga, juga dapat menimbulkan semakin hilang kepedulian terhadap berbagai upaya pelestarian sumber daya alam yang umumnya didasarkan pada etika dan budaya masyarakat. Demikian pula, politik pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif juga dapat menghancurkan situs-situs perlindungan keanekaragaman hayati dan sumber-sumber air yang vital bagi masyarakat. Politik seperti itu biasanya berkaitan dengan korupsi yang dilakukan melalui isi peraturan-perundangan atau prosedur resmi yang dilakukan pemerintah, yang dapat menguntungkan kelompok tertentu atau biasa disebut sebagai state capture corruption, selain bentuk korupsi konvensional seperti suap/peras dalam perizinan dan lain-lain.
Hasil kajian KPK 2016 dan 2017[6] mengenai sumbangan biaya pilkada dan benturan kepentingan yang diakibatkannya, mengonfirmasi hal-hal di atas. Calon kepala daerah (cakada) cenderung sudah diikat janji-janji oleh donaturnya, sehingga tidak bisa melayani kepentingan masyarakat luas sebagai subyek utama. Sejumlah 70,3% hingga 82,6% cakada mengaku menerima dana dari donatur dan 56,3% hingga 71,3% cakada menyebut bahwa donatur akan minta balas jasa ketika mereka terpilih. Atas permintaan itu, 75,8% hingga 82,2% cakada menyanggupinya.
Dari kajian itu diketahui pula motivasi donatur dari hasil wawancara terhadap 286 informan (2016) dan 150 informan (2017). Sejumlah 61,5% hingga 76,7% dari jumlah donatur umumnya bermaksud untuk mendapat keamanan dalam menjalankan bisnis. Selain itu, 64,4 % hingga 73,3% donatur ingin mendapat kemudahan tender dari proyek pemerintah daerah dan sejumlah 63,3% hingga 73,0% ingin mendapat kemudahan akses perizinan. Motivasi donatur lainnya yaitu kemudahan akses untuk mendapat jabatan di pemerintahan atau BUMD (60,1% hingga 56,0%) serta mendapat akses untuk ikut menentukan kebijakan atau peraturan daerah (43,7% hingga 49,3%).
Berbagai keinginan tersebut memang cenderung dipenuhi oleh pimpinan daerah. Hal itu terbukti dari 88 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi oleh KPK selama periode 2004 sampai (3 April) 2018. Tiga besar obyek yang diperkarakan yaitu pengelolaan anggaran daerah, pengadaan barang dan jasa, serta perizinan sumber daya alam. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa desain paternalism bukan hanya mempersempit inovasi daerah, tetapi bahkan menjerat proses pengambilan keputusan yang dilakukan. Dan oleh karenanya, hutan dan tanah yang sudah tersedia, menjadi kekayaan paling mudah untuk dialokasikan bukan bagi masyarakat miskin.
Studi terbaru oleh United Nation Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES, 2019)—yang didasarkan 15.000 lebih sumber ilmiah dan dokumen pemerintah—menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan menjadi pendorong paling kuat terjadinya keruntuhan ekosistem di dunia. Menurut studi ini, diperlukan koreksi radikal untuk mengendalikan konsumsi berlebihan dan pemborosan pemanfaatan SDA dan segera menyempurnakan paradigma terbatas pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, perubahan tata guna lahan itu masih sangat sulit dikendalikan[7]. Pertama, akibat lemahnya pengendalian perizinan. Dalam evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit di delapan kabupaten dan 24 perusahaan di Papua Barat, dinas-dinas di tingkat kabupaten yang mengeluarkan izin lokasi (IUP) seringkali tidak menjalankan prosedurnya dengan benar. Misalnya, perusahaan dibiarkan tidak menyelesaikan proses perolehan tanah, di lokasi IUP terdapat lahan gambut dalam, tanpa IUP kegiatan dibiarkan terus berjalan, tidak mempunyai izin pemanfaatan kayu (IPK), IPK diberikan lebih luas daripada luas IUP. Contoh lain di Kalimantan Timur, rendahnya luas reklamasi tambang daripada yang seharusnya dilakukan[8].
Kedua, redup atau bahkan matinya fungsi pemerintahan di wilayah-wilayah kerja yang semestinya dilindungi itu hingga dekade terakhir masih disebabkan oleh korupsi perizinan. Hasil penelitian Kenny dan Warburton (2020) yang bertajuk “Paying Bribe in Indonesia: A survay of business corruption”, menyatakan bahwa perusahaan berinteraksi dengan berbagai tingkat pemerintahan dan eksekutif daerah yang membuka peluang baru untuk pertukaran korup antara sektor swasta, birokrat tingkat kabupaten dan aparat keamanan lokal.
Kenyataan itu, menurut studi ini, sangat merugikan sektor SDA. Kolusi antara perusahaan dan pejabat negara menyebabkan ledakan jumlah izin pertambangan dan kelapa sawit, mempercepat laju deforestasi dan degradasi lahan serta mendorong konflik baru dan terkadang kekerasan di daerah kaya SDA.
Dari 672 responden perwakilan bisnis yang diwawancarai Kenny dan Warburton antara Juli 2019 sampai Februari 2020, sebanyak 33,2 persen mengaku diminta biaya tidak resmi dan 30,6 persen menyatakan telah membayar biaya itu. Perusahaan yang sangat percaya bahwa biaya ilegal itu juga dibayar oleh pelaku bisnis di sektor mereka sebanyak 35,7 persen. Perusahaan itu dikelompokkan ke dalam perusahaan ekstraksi, konstruksi, pertanian, manufaktur, perdagangan, logistik dan keuangan.
Proporsi tertinggi perusahaan yang melaporkan adanya pemerasan, membayar suap dan percaya bahwa praktik tersebut umum terjadi di sektor mereka yaitu pada perusahaan konstruksi, masing-masing 49,5 persen, 44,2 persen, dan 51,6 persen. Disusul perusahaan ekstraktif, sebesar 47,9 persen, 42,7 persen dan 53,1 persen. Proporsi terendah ada di sektor keuangan, sebesar 17,0 persen, 16,0 persen dan 22,3 persen.
Ketiga, jaringan pendukung korupsi mematahkan integritas birokrasi. Adanya jaringan perizinan di atas diperkuat oleh hasil kajian Jacqui Baker (2020) yang bertajuk “Jaringan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia: Politik dan Pulp di Pelalawan, Riau”. Hasil kajian ini menyebut bahwa seorang bupati yang telah dibuktikan melakukan korupsi kehutanan, ternyata diwadahi oleh 201 simpul jaringan. Simpul itu dikuasai oleh oknum-oknum industri pulp (82), Dinas Kehutanan Kabupaten (47), jaringan kepercayaan bupati (17), swasta non pulp (14), Dinas Kehutanan Propinsi (9) maupun Pemerintah (8). Disini perlu diketahui pula bahwa meskipun jumlah simpul pemerintah paling kecil, tetapi mempunyai peran paling besar dalam menggerakkan jaringan, karena memegang kendali monopoli atas sumberdaya utama. Disinipun dapat ditunjukkan, bahwa kerja birokrasi menjadi bagian dari politik praktis yang senantiasa mendapat tekanan oleh adanya kepentingan tertentu. Situasi ini sekaligus menjadi alasan, mengapa upaya pencegahan korupsi dapat dikatakan tidak berhasil apabila tidak disertai dengan tindakan.
Ketiga fenomena tersebut selain dapat memperkuat terjadinya korupsi dari waktu ke waktu, juga berakibat mengendorkan kemauan politik (political will) untuk melindungi fungsi ekologis sumberdaya alam, melemahkan penegakkan hukum, membiarkan terjadinya pelanggaran tata ruang, ataupun secara umum menghalangi pelaksanaan kebijakan dan peraturan-perundangan yang telah ada. Kondisi demikian itu dapat menyebabkan hasil-hasil pelaksanaan restorasi bentang alam hutan lebih kecil daripada kerusakan hutan yang ditimbulkan.
Penutup
Dari kenyataan-kenyataan yang telah diuraikan tersebut, menunjukkan dalamnya persoalan restorasi bentang alam hutan. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta patut terus dijalankan dan diperkuat melalui penyempurnaan kebijakan, tata kelola maupun sistem birokrasi, termasuk hubungan antar lembaga yang belum secara efektif mendukung pelaksanaan implementasi restorasi tersebut. Selain itu, proses penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan peraturan-perundangan secara transparan dengan penguatan partisipasi publik juga sangat diperlukan, guna mendorong secara terus-menerus perbaikan pelaksanaan restorasi tersebut. Dalam hal ini, peran generasi muda juga sangat penting, dan peran itu bukan hanya sebatas pada hal-hal teknis pelaksanaan restorasi, tetapi juga perlu berperan pada tataran yang lebih luas, terutama yang terkait dengan penguatan tekanan publik untuk memperkuat gerakan anti korupsi serta agar kebijakan ekonomi politik dapat melindungi fungsi ekologis sumber daya alam, sekaligus mengurangi tekanan dan mencegah untuk merusaknya●
Catatan kaki
[1] Lihat lebih jauh di website IUCN: https://www.iucn.org/theme/forests/our-work/forest-landscape-restoration
[2] Dari 88 lembaga penerima dana hibah Yayasan KEHATI misalnya, diperoleh angka 174 jenis manfaat keanekaragaman hayati dari ekosistem hutan, pertanian serta pesisir dan laut yang dapat dimanfaatkan dalam jangka pendek dan panjang.
[3] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2014, Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014.
[4] Jenis tumbuhan dan hewan endemik adalah tumbuhan dan hewan yang hanya ditemukan disatu tempat dan tidak ditemukan ditempat lain. Contohnya Jalak Bali hanya ada di Bali.
[5] Wiratno, 2019. Sepuluh Cara Baru, Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar” Direktur Jenderal KSDAE, KLHK, Jakarta.
[6] Penjelasan ini pernah saya gunakan dalam artikel berjudul “Selamatkan Tanah Reforma Agraria” yang dimuat Koran Tempo pada 5 Juni 2018.
[7] Penjelasan ini pernah saya gunakan dalam artikel berjudul “Bencana dan Problem Tata Kelola” yang dimuat Harian Kompas pada 26 Januari 2021.
[8] Rina Kristanti, 2020. Pengaruh Pengalihan Hak dan Batas Yurisdiksi terhadap Kinerja Pelaksanaan reklamasi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Kalimantan Timur. Disertasi. Progam Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan