Derita Gajah Menuju Kepunahan

Aktivitas, Kehutanan, Satwa
Derita Gajah Menuju Kepunahan
22 Mei 2023
1056

Dalam dunia satwa, gajah dikenal sebagai adalah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Ada dua species gajah dari daratan Afrika sub-sahara yaitu (Loxondota Africana) yang menghuni hutan dan gajah semak (Loxondota cyclostis).  Sementara gajah asia (Elepas maximus) ditemukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara masih bertahan dengan populasi terus menurun. Gajah satwa herbivora berpostur tubuh tinggi dapat mencapai 4 meter dan berbobot 4 sampai 7 ton. Mamalia besar ini mampu mengonsumsi sekitar 150 kg pakan berbagai tanaman dan membutuhkan 80 hingga 200 liter air minum perhari. Gajah dapat hidup mencapai usia 70-8o tahun.

 

Famili gajah lainnya yang sudah punah adalah Mamuth yang tersebar di Siberia hingga Alaska dan Mastodon yang menghuni Benua Amerika. Kepunahan gajah purba pada masa Pleistosen (sekitar 2 juta hingga 10 ribu tahun yang lalu) diduga karena terjadinya tiga sebab saling berkaitan. Pertama, akibat  perubahan lingkungan akibat iklim beku (Glasia kuarter) secara cepat menghangat sehingga gajah purba yang berbulu tak mampu beradaptasi cepat. Aalasan lain yaitu adanya perburuan berlebihan dan penularan hama penyakit dari hewan peliharaan manusia kala itu. Di Indonesia, fosil gajah purba Stegodon trigonocephalus ditemukan di Sangiran Jawa Tengah.

 

Paulus Edward Pieris Deraniyagala, ahli zoologi dan paleantologi berkebangsaan Sri Lanka terinspirasi relief gajah di Candi Borobudur yang dibangun abad ke 8. Dia mengusulkan gajah jawa sebagai Elephas maximus sondaicus, pada 1953. Fosilnya ditemukan pada endapan Pleistosen di Jawa. Catatan kuno dari China yang sezaman masa kejayaan Hindu tanah air, menceritakan raja-raja Jawa menunggangi gajah yang didatangkan dari India, dan mengekspor gading ke China.

 

 

Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang termasuk subspecies gajah asia ditemukan di Kalimantan Utara dan Sabah, Malaysia. Keberadaannya diduga bukan karena migrasi gajah dari daratan Sunda pada masa Pleistosen. Penelitian DNA mitokondria menunjukkan leluhur gajah terpisah dari populasi daratan pada masa itu. Alkisah, pemimpin Majapahit menghadirkan gajah untuk Kesultanan Sulu (sekarang bagian dari Sabah dan Kalimatan Utara) pada abad 14. Sumber lain menyebut, East India Company menghadiahkan gajah pada Sultan Sulu pada 1750.

 

Sebuah survei yang didukung Program TFCA-Kalimantan pada 2018 merilis populasi gajah kalimatan diperkirakan 20 – 80 individu merupakan endemik Kalimantan Utara di Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan, menghuni hutan tropis Dipterocarpace di ketinggian 300 sampai 1.500 meter dengan wilayah jelajah 4.000 sampai 12.000 ha. Populasi gajah di Sabah pada 2010, diperkirakan 2000 ekor.

 

Tercatat pada periode 2013-2018 terjadi kematian 40 gajah kalimantan karena perburuan gading dan diracun. Sejak 1986, IUCN menggolongkan status gajah kalimantan dalam appendix 1 CITES. Hasil survey okupansi populasi dan distribusi gajah kalimantan itu digunakan untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi Gajah kalimantan tahun 2019.

 

Gajah Sumatra, (Elephas maximus sumatranus) dipercaya sebagai subspecies gajah asia yang hanya berhabitat di  Pulau Sumatra. Postur tubuhnya lebih kecil dari subspecies gajah india. Pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda sebagai Raja Aceh Darusaalam (1607-1636), gajah-gajah dari hutan diburu untuk dijinakkan dan dilatih sebagai alat transportasi dan armada perang. Kerajaan Aceh Darussalam tercatat sebagai kerajaan nusantara yang memiliki 1.000 pasukan gajah. Kantong populasi gajah di Sumatra ada di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Lampung.

 

Sejak 2011, Program Tropical Forest Conservation Act Sumatera-KEHATI mendukung konservasi gajah, di antaranya pembangunan Conservation Response Unit di Trumon, Aceh Selatan, dan menetapkan 2.700 ha kawasan koridor Trumon yang merupakan bagian ekosistem Leuser. Dukungan serupa untuk operasional lima Elephant Respon Unit untuk patroli hutan dan menghalau kawanan gajah liar terdapat di Aceh Jaya, Tesso Nilo Riau, dan Way Kambas Lampung. Untuk mendukung program konservasi gajah sumatra, didukung pula pengembangan sistem monitoring dan forensik kejahatan atas gajah.  Pemetaan genetik gajah diilakukan di Pusat Latihan Gajah di Sumatra Utara dan di  Suaka Margasatwa, Pusat Latihan Gajah Air Sugihan dan area konsesi di Sumatra Selatan. Tak kurang dari Rp 46,5 miliar dana hibah disalurkan untuk pelestarian gajah sumatra.

 

Sejarah mencatat, Indonesia pernah melakukan operasi relokasi kawanan gajah liar pada November 1982. Melalui Operai Ganesha  dilakukan operasi penyelamatan 232 ekor gajah liar di area transmigrasi Air Sugihan Sumatra Selatan. Dr. Emil Salim Menteri PPLH kala itu mengkoordinasikan Operasi Ganesha melibatkan Kemhankam, Kementerian Dalam Negeri, Transmigrasi, Pertanian dan melibatkan 2.000 warga transmigran. Operasi ini menghabiskan biaya 200 juta rupiah, untuk membuka jalur, termasuk 8 unit jembatan penghubung, dan membangun pagar kawat  beraliran listrik sejauh 70 km. Proses relokasi kawanan gajah menggunakan bunyi-bunyian dari kaleng dan teriakan warga hingga berhasil menggiring kawanan gajah ke habitat barunya di Lebong Hitam menempuh 44 hari perjalanan.

 

Laman Deutsche Welle,2013 merilis berita penurunan populasi gajah terjadi hampir separuh dari 5.000 individu pada 1985 menjadi antara 2.400 hingga 2.800 individu. Organisasi The International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada Januari 2012 bahkan telah mengubah status gajah Indonesia menjadi “amat terancam punah” Sementara populasi gajah Afrika saat ini diperkirakan sekitar 415.000 individu dan gajah Asia 50.000 individu.

 

Di luar habitat alami, pada tahun 2000, terdapat sekitar 1.200 gajah asia dan 700 gajah afrika di kebun binatang dan sirkus. Populasi gajah di penangkaran terbesar di Amerika Utara memiliki 370 gajah asia dan 350 gajah afrika. Sekitar 380 gajah asia dan 190 gajah afrika hidup di Eropa, sementara Jepang memiliki sekitar 70 gajah asia dan 67 gajah afrika.

 

Dilansir PPID KLHK pada November 2016, total populasi gajah captive (ex-situ) di Indonesia saat ini adalah 1.322 ekor, terdiri dari jantan 473 ekor dan betina 849 ekor. Dari total populasi tersebut, 545 ekor berada di Lembaga Konservasi Khusus/Pusat Latihan Gajah/Pusat Konservasi Gajah, dan 777 berada di lembaga konservasi untuk kepentingan umum.

 

Perburuan gajah dan perdagangan gading serta alih fungsi hutan menyebabkan hilangnya habitat gajah, yang merupakan persoalan serius penurunan populasi gajah di alam. Pemerintah melindungi dengan berbagai kebijakan, diantaranya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa; serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.

Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi tuan rumah Asian Elephant Range States Meeting kedua pada April 2017. Pertemuan 13 negara Asia yang dihuni gajah berupaya mencari strategi menyelamatkan gajah dari kepunahan melahirkan “The Jakarta Declaration for Asian Elephant Conservation” sebagai komitmen bersama untuk melestarikan gajah asia.

 

Melalui pembuatan kebijakan dan penegakan hukum konservasi gajah dapat dilakukan secara terukur, namun bahaya laten kepunahan gajah justru datang dari kehidupan gajah itu sendiri. Fragmentasi hutan telah menyebabkan populasi gajah tersekat-sekat dalam kelompok. Dalam situasi itu tak terhindarkan perkawinan dalam keluarga (inbreeding) yang menyebabkan keanekaragaman genetik hanyut/menyusut (genetic drift). Diperlukan riset mendalam untuk memetakan variasi gen dari kelompok gajah terisolasi tersebut. Pemerintah dan organisasi non pemerintah bersinergi menghalau kemerosotan gen gajah nusantara.

 

Pemetaan genetik gajah di area Pusat Latihan Gajah (PLG) di seluruh Sumatra dilakukan oleh Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation, Medan. Sementara peneliti Universitas Sriwijaya pada 2020 melakukan pemetaan genetik gajah di kawasan konservasi, PLG dan area konsesi di kantong habitat Sugihan-Simpang Heran dataran rendah raqa gambut, Sumatra Selatan.

 

Tujuan riset ini untuk mendukung manajemen konservasi gajah sumatra. Melalui uji tehnik DNA mitokondria dari sampel kotoran gajah dapat diidentifikasi “jarak kekerabatan” gajah pada kelompok yang berbeda, sehingga dapat direkomendasikan “sistem perkawinan” yang dapat dikontrol untuk menghindari terjadinya perkawinan kerabat dekat.  Pejantan yang berasal dari luar kelompok berkerabat dekat dapat diintroduksi pada kelompok gajah terindikasi inbreeding untuk memperkaya aliran genetik, demi kelestarian generasi gajah.

Tentang Penulis
Rio Rovihandono
Manajer Program Ekosistem Kehutanan

Yayasan KEHATI

Syarat dan ketentuan

  1. Memuat hanya topik terkait keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup
  2. Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter
  3. Tidak plagiat
  4. Tulisan belum pernah dimuat di media dan situs lain
  5. Mencantumkan nama, jabatan, dan organisasi
  6. Melampirkan foto diri dan biografi singkat
  7. Melampirkan foto pendukung (jika ada)
  8. Mengirimkan tulisan ke [email protected]
  9. Jika akan dimuat dimuat, pihak admin akan menghubungi penulis untuk menginformasikan tanggal pemuatan

Tinggalkan Balasan

Tinggalkan Balasan