Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia adalah salah satu kota yang sangat sibuk di Indonesia. Tengoklah ke jalan-jalan yang hampir selalu macet akibat kendaraan bermotor. Belum lagi kegiatan-kegiatan kenegaraan dan lalu-lalang orang di bandara, stasiun, terminal, atau pelabuhan yang datang dan pergi keluar/menuju Jakarta. Kesibukan ini terjadi setiap hari. Tempat makan atau kedai minuman tak pernah sepi oleh orang-orang yang selalu datang baik sekedar mengisi perut atau bersosialisasi. Jakarta memang kota yang tak pernah sepi.
Setiap tahun pembangunan di kota Jakarta terus berlangsung, mulai dari rumah perorangan, perumahan hingga gedung-gedung perkantoran dan fasilitas sosial dan umum yang dibangun oleh pemerintah provinsi Jakarta. Menurut beberapa pakar perkotaan, Jakarta adalah kota organik. Artinya, pembangunan di kota ini berjalan secara unplanned (tidak terencana). Satu segmen kota berkembang secara spontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya.
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik, lingkungan sosial dan alam. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi secara spontan. Apabila salah satu elemennya terganggu, maka seluruh lingkungan akan terganggu juga, sehingga akan mencari keseimbangan baru. Untuk di kota Jakarta, salah satu bagian yang sering berubah dan menyesuaikan dengan kondisi terbaru kota adalah daerah Ruang Terbuka Hijau (RTH), terutama komponen hidup yang ada di dalam RTH tersebut, yakni burung.
Kota Jakarta sebagai kota metropolitan harus berbangga, karena di dalam padatnya lingkungan perkotaan, di kota ini masih terdapat 250 lebih jenis burung yang hidup dan beraktivitas di dalamnya. Mulai dari burung-burung yang berukuran kecil seukuran ibu jari manusia seperti Remetuk laut (Gerygone sulphurea), Bondol haji (Lonchura maja) hingga burung-burung besar berukuran 1,5 meter seperti Cangak abu (Ardea cinerea) dan Bangau bluwok (Mycteria cinerea). Menariknya, ada jenis-jenis burung terancam punah yang tinggal di kota Jakarta seperti jenis burung Bubut Jawa (Centropus nigrorufus) dan Cikalang Christmas (Fregatta andrewsi). Bagi pengamat burung Jakarta it’s A Bird Hotspot.
Salah satu RTH yang mempunyai jenis burung terbanyak adalah kawasan hutan mangrove di pesisir Jakarta yang bertempat di kawasan Muara Angke. Hutan mangrove adalah salah satu kawasan lahan basah yang unik karena kondisi hutannya di pengaruhi oleh pasang surut air laut dan merupakan habitat bagi sebagian besar burung air di Jakarta.
Hutan mangrove di kawasan Muara Angke merupakan hutan mangrove tersisa yang di miliki oleh kota Jakarta. Dilihat dari sejarah tempo dulu menurut arsip dari The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), hutan mangrove di Batavia pada zaman dulu membentang di seluruh pesisir teluk Jakarta, mulai dari daerah Dadap di bagian barat hingga daerah timur di Cilincing. Namun, pembangunan yang terjadi pada masa-masa tersebut seperti pembangunan pelabuhan dan pemukiman membuat hutan mangrove terkikis perlahan-lahan hingga tersisa hanya di kawasan Muara Angke saja saat ini. Pada masa itu, tidak hanya burung-burung saja yang terdapat di hutan mangrove, ada berbagai jenis mamalia seperti Kucing bakau (Prionailurus viverrinus), Lutung budeng (Trachypithecus auratus), dan Berang-berang (Aonyx cinereus) masih ditemukan beraktivitas di hutan mangrove tersebut. Namun, sekarang keberadaan mereka pun ikut menghilang.
Berbicara tentang burung-burung air di kawasan hutan mangrove Muara Angke, tidak hanya burung-burung air penetap saja yang bisa ditemukan disini. Pada bulan Desember sampai Februari, sering dijumpai burung-burung air migran yang mampir untuk beristirahat di kawasan ini. Burung-burung migran adalah para pendatang dari bagian bumi belahan utara yang menghindari musim dingin di daerah asalnya dan mencari daerah hangat di kawasan tropis seperti di Indonesia, termasuk Jakarta.
Dalam menyambut kehadiran burung-burung air bermigrasi tersebut biasanya di bulan Januari diadakan kegiatan pemantauan populasi burung-burung air penetap maupun bermigrasi yakni kegiatan Asian Waterbird Cencus (AWC). AWC merupakan suatu kegiatan tahunan yang bersifat sukarela, dilakukan setiap minggu ke-2 dan 3 di bulan Januari setiap tahunnya. AWC merupakan kegiatan pemantauan burung air yang dikoordinasi oleh Wetlands International, dan menjadi suatu perangkat bagi upaya konservasi bagi burung-air serta lahan basah sebagai habitatnya. Kegiatan ini berjalan bersama-sama dengan sensus internasional yang meliputi wilayah Afrika, Eropa, dan Amerika, dibawah payung International Waterbird Census (IWC). Dan untuk kegiatan di Indonesia, sensus ini dikoordinasikan oleh Wetlands International. Untuk di Jakarta sendiri kegiatan AWC adalah kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat umum bersama dengan para peneliti dan pakar untuk mendata dan melihat kondisi burung-burung air yang beraktivitas di kota Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mencari data apakah ada penambahan jenis atau justru ada jenis yang hilang.
Melihat perkembangan kota Jakarta sebagai kota Organik, tentu menarik jika dari hasil kegiatan AWC ini terpantau jenis-jenis yang menghilang atau tidak terdata lagi, seperti jenis Ibis roko-roko (Plegadis falcinellus), yang dalam beberapa catatan mengalami penurunan perjumpaan. Dari hasil kajian, penurunan jenis Ibis roko-roko dikarenakan areal tempat mencari makan burung ini yang berupa daerah persawahan dan tambak mulai menghilang yang berada di sekitaran daerah Teluk Jakarta seperti di daerah Cengkareng. Hal ini memaksa jenis ini untuk perpindah jauh dan mencari areal tempat makan yang lebih baik.
Selain hilangnya area mencari makan, permasalahan di kota Jakarta terutama Muara Angke adalah timbunan sampah yang mengalir dari 13 sungai di Jakarta yang terus menumpuk. Dari data Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan 8,32 ton sampah masuk Teluk Jakarta setiap harinya dan sampah-sampah ini sebagian besar tertahan di hutan mangrove Muara Angke yang menjadi habitat dari burung-burung air kota Jakarta.
Saat ini memang belum ditemukan burung-burung yang mati akibat menelan plastik atau akibat sampah yang menumpuk. Namun, jika hal ini terus terjadi maka yang akan terkena dampaknya adalah ikan-ikan yang menjadi pakan burung-burung air. Dampak lain, sampah-sampah itu akan mematikan pohon-pohon mangrove muda yang sedang dalam masa pertumbuhan akibat tertumpuk puluhan ton sampah.
Burung-burung air ini adalah aset penting dari kota Jakarta, karena secara tidak langsung burung-burung ini mempunyai nilai ekologis, pendidikan dan ekonomi bagi masyarakat di kota Jakarta. Kita sebagai manusia tidak bisa hidup sendirian di perkotaan tanpa kehadiran burung-burung dalam perkotaan. Di dalam model kota organik, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang memiliki fungsi masing-masing. Kota organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling mendukung satu sama lain.
Mari kita amati burung-burung air kota Jakarta dan apa yang mereka butuhkan untuk kelestariannya dan bermanfaat bagi kita manusia yang tinggal bersamanya.
Selamat mengamati …..
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan