Pada pertengahan 2019 di Korea Selatan, dua orang pelajar SMA dari Kalimantan Tengah berhasil memperoleh medali emas pada kompetisi ilmiah Life Science. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa akar bajakah, sejenis tumbuhan yang banyak dijumpai di hutan-hutan Kalimantan, memiliki senyawa yang dapat digunakan untuk mengobati kanker. Meskipun banyak ahli yang menyatakan klaim tersebut terlalu dini mengingat belum pernah dilakukan uji klinis.
Di sisi lain, pencarian obat-obatan yang bersumber dari tumbuhan hutan yang bernilai komersial (bioprospeksi) merupakan sebuah isu yang telah berkembang di dunia medis sejak lama. Bahkan sineas Hollywood pernah membuat film yang bertema bioprospeksi yaitu pencarian obat yang dapat memperpanjang usia sel-sel di tubuh manusia dalam film Anaconda: The Hunt for Blood Orchid dan juga film lainnya seperti Deep Blue Sea yang bercerita mengenai penelitian obat Alzheimer pada spesies hiu.
Berbeda dengan upaya bioprospeksi di film Hollywood yang berakhir dengan kegagalan, di dunia nyata upaya bioprospeksi telah memberikan hasil yang nyata. Misalnya saja National Cancer Institute USA pada tahun 1962 melakukan pengumpulan sampel tumbuhan yang berpotensi menyembuhkan kanker yang menghasilkan tonggak kesuksesan berupa penemuan senyawa kimia Paclitaxel. Senyawa kimia ini berasal dari ekstrak kulit pohon cemara Taxus brevifolia yang tumbuh di hutan-hutan di Amerika Serikat.
Melalui proses penelitian yang panjang, pada akhir tahun 1992 FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat menyetujui penggunaan Paclitaxel untuk pengobatan kanker. Secara ekonomi perdagangan Paclitaxel memberikan penghasilan sebesar 1.5 miliar US$ setiap tahunnya bagi produsen obat Bristol-Myers Squibb, industri medis yang pertama kali memproduksi Paclitaxel.
Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional
Bercermin dari penemuan Paclitaxel, Indonesia seharusnya menjadi negara yang terdepan di dalam upaya bioprospeksi keanekargaman hayati. Mengingat Indonesia dapat dikatakan memiliki sumberdaya dan tradisi yang sangat baik dalam mendukung upaya bioprospeksi.
Masyarakat kita, terutama masyarakat yang hidupnya masih lekat dengan hutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai manfaat tumbuhan untuk pengobatan. Pengetahuan tradisional ini tentunya harus disandingkan dengan pengetahuan ilmiah agar dapat menghasilkan informasi yang dapat menjadi jalan bagi penemuan senyawa kimia baru yang bermanfaat.
Indonesia sendiri sebenarnya tidaklah terlalu tertinggal dalam hal upaya penggalian pengetahuan tradisional terkait obat-obatan. Ada banyak penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai etno botani dan pemanfaatan tumbuhan oleh msyarakat tradisional yang hanya menjadi tumpukan skripsi atau tesis.
Padahal jika informasi ini dikumpulkan, digali dan diteliti lagi secara medis, bukan tidak mungkin kita akan menemukan senyawa kimia baru yang bermanfaat untuk pengobatan atau untuk keperluan lainnya.
Sebagai contoh, Indonesia juga memiliki genus Taxus yaitu Taxus sumatrana yang tumbuh di hutan-hutan Sumatra. Berdasarkan penelitian Taxus sumatrana mengandung mengandung senyawa baccatin III dan senyawa 10-deacetylbaccatin III. Kedua senyawa ini memperlihatkan aktivitas anti tumor dan anti kanker.
Namun sayangnya belum ada institusi yang secara serius untuk melakukan penelitian hingga dapat menghasilkan senyawa kimia yang bernilai komersil dari spesies ini.
Kerjasama dengan Korporasi
Jika dibandingkan dengan negara lain yang juga memiliki sumber daya hutan yang hampir sama seperti Kosta Rika misalnya, upaya bioprospeksi yang dilakukan oleh Indonesia masih sangat minim. Padahal dari segi potensi tentu saja sangat besar mengingat Indonesia adalah negara adidaya dalam hal keanekaragaman hayati. Indonesia memiliki kontribusi yang besar dalam keanekargaman hayati dunia baik kekayaan tumbuhan maupun hewan.
Pada tahun 1991-2002, Kosta Rika memandatangani lebih dari 20 perjanjian kerja sama dengan industry bernilai 1 milyar USD untuk keperluan bioprospeksi, transfer teknologi, peningkatan kapasitas dan pengembangan kelembagaan. Tentunya ini adalah nilai yang sangat besar bagi negara sekecil Kosta Rika.
Salah satu kunci dari keberhasilan Kosta Rika dalam upaya bioprospeksi adalah kerja sama dengan korporasi, dalam hal ini adalah industri kimia raksasa Merck. Meskipun pada proses selanjutnya terjadi sejumlah kegagalan terutama aspek legal, upaya bioprospeksi yang dilakukan oleh Kosta Rika adalah sebuah terobosan yang sangat maju di masanya dalam upaya pelestarian hutan.
Keterlibatan korporasi di dalam bioprospeksi, tentunya dapat menjadi solusi dalam hal pembiayaan. Sangat mustahil jika upaya bioprospeksi dibebankan sepenuhnya kepada negara. Berkaca dari nilai perdagangan Paclitaxel oleh Bristol-Myers Squibb yang cukup fantastis, tentunya hal yang sama sangat mungkin terjadi bagi korporasi lain yang serius dalam menemukan obat-obatan baru dari hutan-hutan Indonesia.
Pembagian Keuntungan
Pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia untuk keperluan pengobatan bagaimanapun tidak akan lepas dari peran masyarakat adat yang hidup di hutan-hutan Indonesia. Selama ini tidak dipungkiri, masyarakat adat memiliki peran yang penting di dalam pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di Indonesia.
Di tangan merekalah semua pengetahuan tradisional mengenai manfaat tumbuhan dan hewan yang ada di hutan pada saat ini tersimpan.
Bioprospeksi keanekaragaman hayati Indonesia haruslah dilakukan dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan di Indonesia. Jangan sampai bioprospeksi hanya menjadikan masyarakat adat sebagai obyek untuk keperluan penemuan obat-obatan baru yang dilakukan oleh kalangan industri medis.
Keuntungan yang dihasilkan upaya bioprospeksi harus dikembalikan lagi kepada masyarakat adat sebegai pemilik hutan dan juga pemilik pengetahuan selain tentunya negara.
Pengaturan pembagian keuntungan/manfaat bagi masyarakat adat juga perlu dilakukan agar tidak terjadi pembajakan (biopiracy) oleh pihak-pihak yang hanya berfikir keuntungan belaka. Bagaimanapun juga upaya bioprospeksi akan menarik minat banyak pihak mengingat adanya nilai uang di dalamnya.
Jika hal ini terjadi maka yang dirugikan bukan saja masyarakat adat sebagai pemilik pengetahuan tetapi juga negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak peneliti asing yang datang ke Indonesia hanya menjadikan Indonesia sebagai obyek penelitian dan nyaris tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia.
Peran Taman Kehati dalam Bioprospeksi
Yang terakhir tetapi tidak kalah penting dalam upaya bioprospeksi adalah perlunya pusat-pusat konservasi ex-situ tumbuhan seperti taman kehati dan kebun raya. Adanya taman kehati dan kebun raya dapat bermanfaat untuk melestarikan variasi-variasi genetik tumbuhan secara lokal.
Dengan tanpa mengurangi peran penting kebun raya dalam pelestarian plasma nutfah tumbuhan, pembangunan taman kehati yang sistemnya lebih sederhana akan mampu melindungi keanekaragaman hayati lokal dalam jumlah yang masif.
Dan sangat mungkin bahwa di masa mendatang taman kehati akan menjadi lokasi yang penting untuk keperluan bioprospeksi, mengingat pada saat ini kita terus kehilangan hutan yang merupakan rumah bagi banyak tumbuhan penting bagi dunia pengobatan atau keperluan lain.
Banyak ahli yang menduga bahwa derasnya laju perubahan lahan pada saat ini menyebabkan banyak spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang terlanjur punah sebelum sempat ditemukan secara sains dan juga diteliti manfaatnya.
Taman kehati juga dapat berfungsi sebagai “lokasi penyimpanan sementara” keanekaragaman hayati tumbuhan hingga seluruh infrastruktur untuk keperluan bioprospeksi yang ada di Indonesia telah siap. Dan juga akan berfungsi sebagai “ruang tunggu” bagi keanekargaman hayati Indonesia hingga lembaga penelitian dan sektor swasta di Indonesia tertarik untuk melakukan upaya bioprospeksi.
Sumber foto:
Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia
Sumber berita:
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait
Syarat dan ketentuan