TNBBS: Lebih dari Sekadar Konservasi

Aktivitas, Kehutanan, Satwa
TNBBS: Lebih dari Sekadar Konservasi
11 Desember 2020
1444
[wp_ulike button_type=”text” wrapper_class=”like-front”]

Surili Sumatera (Presbytis melalophos) di SPWC (credit: Setiono, WCS Indonesia)

 

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) memiliki keanekaragaman hayati dan keindahan alam yang luar biasa. Pohon-pohon Dipterocarpaceae yang megah, nyanyian burung-burung yang indah, rangkong nya yang cantik dan menawan, serta berbagai flora dan fauna lain yang mengagumkan. Tapi tidak hanya itu, TNBBS juga punya suatu hal luar biasa yang jarang diketahui orang banyak. Yaitu para konservasionisnya, manusia-manusia yang hebat dan tangguh. Para mahout, pengendali ekosistem hutan, polisi hutan, masyarakat mitra polhut, tim patroli, penjaga stasiun penelitian, semuanya telah bertaruh banyak dalam menjaga biodiversitas hutan kita. Tidak hanya waktu dan kesenangan, bahkan nyawa sekalipun mereka taruhkan. Tulisan ini melihat taman nasional lebih dari sekedar sudut pandang konservasi biodiversitas, yaitu dengan menggunakan kacamata kemanusiaan.

 

oleh Hasna Afifah*

 

21 Juli 2020, pukul 22.10

 

Di Resort Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

 

Masih terbayang di otakku betapa itu adalah sore terindah yang pernah terjadi dalam hidupku. Sore itu untuk pertama kalinya aku berjalan di bawah tegakan pepohonan hijau menjulang yang tingginya mencapai lebih dari 50 meter, cahaya matahari masuk ke lantai hutan lewat celah-celah kanopi pohon. Bersamaan dengan suara burung-burung menyanyikan musik alam, sekelompok beruk (Macaca nemestrina) lewat di hadapanku memegang kacang yang entah dari mana mereka dapatkan. Syahdu sekali.

 

Malamnya, bersama secangkir kopi yang kuseduh, kenangan sore tadi masuk ke ingatanku dan membawanya dalam kedamaian. Berada di hutan alam adalah meditasi terbaik.

 

Tiba-tiba, DORR. DORR. Dentuman keras memecah lamunanku.

 

“Ada apa?” tanyaku pada seorang MMP (Masyarakat Mitra Polisi Hutan) di sana.

 

“Biasa, mahout (pawang gajah) lagi menghalau gajah liar yang masuk ke kebun warga pake mercon.” jawabnya.

 

“Menghalau gajahnya malam-malam gini?”

 

“Ini malah belum malam. Biasanya mereka berangkat jam 11 atau jam 12, kadang lagi tidur ditelepon warga karena gajahnya datang. Ya, namanya gajah liar kan aktivitasnya malam.”

 

Aku cukup terkejut.

 

Karena itu, dengan rasa penasaran, keesokan harinya aku mendatangi pos mahout untuk menanyakan lebih lanjut tentang kejadian semalam. Pos mahout berada tak jauh dari Resort Pemerihan. Pos ini berbentuk rumah panggung yang seutuhnya terbuat dari kayu. Di pelatarannya, ada lima ekor gajah jinak bernaung. Gajah jinak ini digunakan untuk membantu mahout dalam mitigasi konflik dengan gajah liar, terkadang juga digunakan untuk teman patroli.

 

“Mas Supri, boleh cerita tentang kejadian semalam nggak?” tanyaku pada seorang mahout disana.

 

Dengan sangat ramah, Mas Supri mengajakku untuk angon gajah sembari bercerita. Tentu saja aku sangat senang. Akhirnya lagi-lagi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku naik gajah!

 

“Gajah konflik sama warga ya sudah biasa, sebulan bisa sampai 10 kali. Makanya disini ada 10 mahout buat bantu. Kita di tempat ini selama 24 hari, pulang ketemu keluarga cuma 6 hari. Kadang gajahnya nggak sekedar dihalau, tapi harus digiring masuk lagi ke hutan. Penggiringan ini waktunya bisa sampai seminggu, bahkan lebih. Jadi ya pekerjaan kita dalam seminggu itu mantau gajah tok,” jelas Mas Supri

 

“Mas nggak bosan? Keluarga Mas Supri nggak papa ditinggal lama?”

 

“Namanya juga kerja, pahit manis harus dijalani. Kangen keluarga pasti sering, tapi ini kan cari duit buat mereka. Gajah itu susah. Kalau bukan kita yang menangani, siapa lagi,”

 

Ternyata, selain harus siap sedia 24 jam, menjadi mahout Taman Nasional juga banyak yang harus dikorbankan. Waktu dan kesenangan bersama keluarga, contohnya. Tapi menurut sebagian besar mereka itu tak jadi masalah karena gajah-gajah jinak yang ada di depan pos sudah mereka anggap seperti anak mereka sendiri.

 

Angon gajah jinak (Agam dan Renol) di Resort Pemerihan, TNBBS (credit: Medi, mahout TNBBS)

 

Usai menemani gajah mandi di sungai dan makan di hutan, aku kembali ke Resort Pemerihan. Di pelataran resort, aku melihat lima orang lelaki sedang terbaring lelah bersama dengan enam tas keril lusuh di sampingnya. Badan mereka kumal, kulitnya menyaru dengan tanah, tubuhnya berlumang keringat, dan jujur saja, baunya agak mengusik hidungku. Melihat kedatanganku, salah satu dari mereka segera bangkit dan memperkenalkan diri.

 

“Saya Doni, baru pulang dari patroli. Maaf kalau mengganggu Mbak, nanti kita mandi,” ucapnya seolah dapat membaca pikiranku.

 

“Wah patroli apa tuh, mas?” tanyaku.

 

“Patroli masuk dalam hutan selama 8 hari,” jawab Mas Doni.

 

Mas Doni dan kawan-kawannya merupakan Tim SMART Patrol yang setiap dua kali dalam sebulan melakukan patroli masuk ke dalam kawasan hutan konservasi. Patroli yang dipimpin oleh seorang polisi hutan itu dilakukan selama delapan hingga empat belas hari. Tujuannya adalah untuk melihat keadaan hutan, mencari temuan-temuan satwa atau bekas kejahatan perburuan ilegal, dan mengambil camera trap yang dipasang di berbagai sudut hutan untuk diolah lebih lanjut di Balai Besar Taman Nasional. Lebih dari itu, tujuannya adalah untuk menjaga biodiversitas hutan TNBBS.

 

“Mas, kalau patroli seperti itu, tidurnya bagaimana? Makannya bagaimana? Terus pernah nggak sih ketemu binatang buas?” tanyaku.

 

“Patroli itu jalan terus setiap hari mengitari seluruh kawasan hutan konservsi disini, bawa keril. Kalau malam kita bikin bivak buat tidur, mandinya di sungai. Makanan pokok sih bawa dari sini, tapi kadang ambil juga dari sungai. Ketemu binatang buas jarang sih, paling dengar suaranya. Seringnya ketemu binatang itu pacet, tawon, sama kutu monyet! Jadilah kulit kita burik kaya gini, hahaha” ucap Mas Doni.

 

Wow. Lagi-lagi aku dibuat terkesima dengan pekerjaan yang dilakukan oleh tokoh lain di TNBBS ini. Pekerjaan berat yang selalu membawa pengorbanan.

 

Selain mahout dan tim patroli, di tempat ini juga ada Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Mereka rutin melakukan melakukan penelitian dan monitoring kawasan hutan. Mereka juga yang akan menemani mahasiswa-mahasiswa melakukan penelitian. Mereka sangat pintar dan pekerja keras, semuanya demi menjamin biodiversitas hutan tetap terjaga.

 

Untuk selanjutnya, selama sepuluh hari di sini, aku banyak berbincang dan mencoba pekerjaan-pekerjaan mereka. Dan luar biasa teman-teman, luar biasa lelah!

 

Bersama para mahout TNBBS (credit: Hasna Afifah)

 

31 Juli 2020

 

           Sampailah aku pada hari yang kutunggu-tunggu. Hari ini, bersama Mas Seti sang penjaga hutan, aku akan berangkat ke Stasiun Penelitian Way Canguk (SPWC) yang berada di zona rimba TNBBS. Tempat yang sangat jauh dari peradaban manusia tanpa sinyal telepon seluler di sana. Walaupun begitu, rumor yang aku dengar, tempat ini punya sihir luar biasa yang membuat orang yang masuk ke dalamnya tak ingin keluar.

 

Perjalanan kami tempuh menyusuri hutan alam primer yang penuh keajaiban. Aku menapaki dedaunan-dedaunan kering yang ukurannya bisa sampai sebesar kaki gajah, daun-daun Dipterocarpaceae. Bersamaan dengan itu, suara “kuaaaaaaaau” “cekrakcekrak” “cit-cit-cit” “ngok-ngok-ngok” dari beraneka ragam burung menyatu jadi satu dengan suara dahan yang bergoyang karena lompatan-lompatan simpai. Sepanjang perjalanan, telingaku diramaikan oleh kicauan burung yang merdu itu, dan mataku dimanjakan oleh pohon-pohon besar yang megah dan beraneka jenis satwa yang cantik.

 

Hingga akhirnya setelah dua jam berjalan, sampailah kami pada SPWC. Aku terpukau. Ini tempat yang luar biasa!

 

Di tempat ini ada empat orang penjaga hutan: Mas Seti, Mas Gawi, Mas Jayus, Mas Amin, yang ditemani dua orang juru masak, Bu Murni dan Bu Sarmi. Mereka tak kalah memukau dari tempatnya. Kalian bayangkan berada di tempat tak bersinyal yang jauh dari peradaban selama hampir satu bulan penuh, luar biasa bukan? Sedangkan aku, satu hari tanpa telepon seluler saja rasanya seperti jadi manusia purba. Yang lebih hebat lagi, mereka menikmati pekerjaan mereka. Katanya, di tengah hutan ini mereka tidak kesepian karena ditemani satwa-satwa unik yang selalu meramaikan SPWC. Ada landak, biawak, tupai, berang-berang, beragam primata, tokek, katak, kijang, burung-burung, dan beraneka ragam satwa lainnya. Intinya, tempat ini sangatlah kaya. Kaya akan biodiversitas dan kaya karena hati orang-orang di sini seluas samudra.

 

Di SPWC ini aku mengikuti serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para penjaga hutan. Berjalan kaki hingga sepuluh kilometer dalam sehari, melihat fenologi pohon dengan kepala mendongak ke atas selama berjam-jam, monitoring sarang rangkong, dan mengunjungi gua kelelawar. Pegal dan lelah. Walaupun begitu, hari-hari di sini selalu menyenangkan, aku selalu suka. Kecuali satu hal yang aku benci, kulitku jadi burik karena berkali-kali kena pacet dan diserang kutu monyet.

 

Rona Lingkungan di dalam hutan alam primer TNBBS (credit: Hasna Afifah)

 

7 Agustus 2020

 

Tanpa kusadari, aku tiba pada hari terakhirku berada disini. Rumor itu benar, SPWC dan TNBBS telah berhasil membuatku benar-benar tersihir. Tersihir dengan keagungan tempat ini beserta segala keindahan alamnya. Tersihir masuk ke dunia konservasi, berteman dengan pohon-pohon dan satwa-satwa langka. Tersihir dengan enam manusia yang rasanya sudah seperti keluarga sendiri. Tempat ini benar-benar mengagumkan. Aku berjanji akan kesini lagi, suatu saat nanti.

 

Belajar dari para konservasionis

 

Selain keberadaan raflesia yang megah, harimau yang gagah, rangkong yang cantik dan menawan, serta pemandangan alam yang menyejukkan mata, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan punya suatu hal luar biasa yang jarang diketahui orang banyak, yaitu para konservasionisnya merupakan manusia-manusia hebat dan tangguh. Para mahout, pengendali ekosistem hutan, polisi hutan, masyarakat mitra polhut, tim patroli, penjaga stasiun penelitian, semuanya telah bertaruh banyak dalam menjaga biodiversitas hutan kita. Tidak hanya waktu dan kesenangan, bahkan nyawa sekalipun bisa menjadi taruhannya.

 

Di taman-taman nasional lainnya, pasti banyak juga pejuang-pejuang luar biasa seperti yang kuceritakan tadi. Karena itu, sebagai seorang penikmat, pekerjaan kita tidak lah sesulit mereka, kita hanya perlu untuk turut menjaga dan melindungi biodiversitas alam kita. Karena melindungi biodiversitas bukan hanya soal melindungi lingkungan, tapi juga melindungi pembangunan serta aspek-aspek ekonomi dan sosial.

 

Connect with nature and feel. Mari ajak lebih banyak orang untuk peduli.

“Those who protect and save biodiversity lead the way in protecting and saving humanity and earth.”- Anthony Douglas Williams

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

*Penulis adalah salah satu pemenang utama dari lomba menulis blog Anak Muda Cinta Taman Nasional (AMCTN) yang didukung oleh USAID BIJAK, Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia), Tambora Muda, Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Yayasan OnTrack Media Indonesia (OTMI) dan Hutan Itu Indonesia (HII).

 

Tentang Penulis
Admin BW
Biodiversity Warriors

Tinggalkan Balasan

2024-06-07
Difference:

Tinggalkan Balasan