Cileat-Sanggara : Potensi biodiversitas di jalur pendidikan pecinta alam
Akhir tahun 2022 saya tutup dengan cerita baru dari Gunung Ipis, Subang, Jawa Barat. Gunung Ipis bukanlah gunung komersil yang menjadi primadona pencinta gunung, namun saya dan teman-teman dari Kelompok Pencinta Alam Biocita Formica Biologi UPI selalu menyambanginya karena potensi keanekaragaman hayati-nya yang berlimpah dan masih terjaga. Salah satu jalur menuju Gunung Ipis adalah melalui Curug Cileat, air terjun tertinggi di Kabupaten Subang.
Sampai di waktu subuh, kami disambut beberapa kodok bangkong sungai (Phrynoidis aspera) di pos trekking yang berukuran sangat besar. Kemudian, di sepanjang jalur trekking menuju curug cileat, kami mulai disuguhkan flora dan fauna yang unik. Di lokasi istirahat pertama kami, di bawah teduhnya pepohonan, saya melihat cacing martil (Bipalium sp.) yang merayap di bebatuan. Tanpa menyentuhnya (karena beracun dan dapat menyebabkan iritasi), tentu saya langsung mengabadikannya menggunakan kamera handphone. Cacing martil merupakan cacing pipih terestrial yang memiliki kemampuan regenerasi. Apabila bagian tubuhnya terputus, maka bagian tersebut akan tumbuh menjadi individu baru. Spesies yang berperan sebagai predator dan kanibal ini mulai sulit ditemukan sebab hanya bisa hidup di ekosistem yang bersih.
Sebelum mencapai curug cileat, di jalur trekking ini terdapat 2 curug kecil yang tidak kalah menawan. Menyajikan air segar yang bisa dinikmati saat lelah menanjak. Tanjakan pada lokasi ini memang tidak berat, namun tanjakan yang konstan membuat saya terus menerus menatap langkah kaki agar tidak terasa berat. Alhasil, saya bisa menikmati guguran daun muda dari sarang paku Drynaria yang torehannya khas. Habitus paku ini sendiri tidak terlihat jelas di lokasi ini, karena lebatnya hutan di bagian kanan, dan luasnya hamparan sawah di sebelah kiri. Selain paku Drynaria, tampak pula guguran bunga kuning Mussaenda walau tidak terlihat pula habitusnya.
Mulai mendekat ke curug cileat, kita akan disambut gonggongan anjing yang salak-menyalak dan melihat hamparan sawah yang begitu luas. Kali ini, sawah sedang dibajak dan belum banyak ditanami padi-padi. Tidak lama kita melihat sawah, ia akan menghilang di balik bukit saat menuju Gunung Ipis. Hamparan sawah akan berganti dengan rumpun bambu yang besar-besar. Di lain waktu, di kawasan ini saya pernah menemukan anggrek tanah Nervilia sp. dengan bunga tunggalnya yang berwarna putih. Terus berjalan, kita akan disambut pepohonan khas flora pegunungan jawa. Berbagai jenis Ficus dapat kita temui di Gunung ipis. Ficus padana dengan buahnya yang besar seperti apel dan Ficus ribes dengan buah-buahnya yang berukuran kecil dan berwarna jingga kecoklatan di ranting-rantingnya yang menggerombol menjadi kesukaan primata frugivora, namun belum pernah saya coba.
Tumbuhan hutan yang umum saya dan teman-teman konsumsi adalah marasi (Curculigo capitulata) dari famili Hypoxidaceae yang pangkal tangkainya memiliki rasa seperti amilum, Begonia sp. yang tangkainya memiliki rasa seperti belimbing, dan buah rotan (Calamus rotang) yang memiliki rasa asam segar. Jenis-jenis tanaman tersebut cukup membantu kami mengatasi rasa lapar dan haus saat trekking. Namun, patut diperhatikan pula agar tidak terlalu banyak mengkonsumsinya sebab rasa asam dapat memicu asam lambung. Tentu kita tidak mau nyeri maag menyerang saat berada di hutan.
Menuju puncak, kanan kiri jalur akan dihiasi bunga-bunga putih kecibeling (Strobilanthes sp.) yang saat itu bermekaran. Mendekati puncak Gunung Ipis, kita akan banyak menemukan pandan hutan (Pandanus sp.) yang durinya sangat tajam. Selain pacet, pandan hutan dan rotan tentu menjadi tantangan tersendiri bagi kami karena durinya. Tetapi, bila terpaksa memilih satu diantara tiga hal yang harus saya hadapi, saya lebih menyukai menghadapi pandan hutan sebab habitusnya mudah terlihat dan mudah disingkirkan dengan golok. Berbeda dengan rotan (Calamus rotang) yang cabangnya menjulur-julur memanjat barang-barang di sekitarnya, dan menarik pakaian kami setiap kali melewatinya.
Semakin mendekati puncak pula, terdapat buah-buah saninten (Castanopsis argentea) yang berjatuhan di tanah, namun saya belum memastikan yang mana pohonnya. Kemudian, beberapa meter sebelum puncak pula, di pagi hari di lokasi kemah kami, kami menemukan katak tanduk-jawa (Megophrys montana) yang khas pada bagian atas matanya. Rasanya, keanekaragaman hayati di Gunung Ipis takan habis diceritakan bila kelestariannya terus dijaga. Khususnya, Gunung Ipis adalah gudang bagi berbagai jenis anggrek, mulai dari epifit, hingga anggrek terestrial tanpa daun. Cerita mengenai anggrek di Gunung Ipis akan saya ceritakan di lain waktu.
Setelah sampai di Puncak Gunung Ipis, kami melanjutkan perjalanan pulang menuju kabupaten bandung, Kawasan Bukittunggul melewati kaki Gunung Sanggara. Di Gunung Sanggara, suatu hal yang tidak saya sangka adalah melihat dan mendengar suara dua individu burung elang. Terlihat gagah di sela-sela kanopi hutan, mengelilingi pegunungan. Begitulah cerita saya di akhir tahun. Merayakan tahun baru di tengah hutan, dibawah sinar bulan, mendengar suara surau dan dangdutan dari kejauhan.
Referensi:
- http://www.tsusinvasives.org/home/database/bipalium-kewense
- https://gibbonesia.id/makanan-ini-ternyata-disukai-owa-siamang/#:~:text=Kelompok%20primata%20yang%20termasuk%20Hylobatidae,buah%20ara%20dalam%20bahasa%20Indonesia.
- http://ksdae.menlhk.go.id/info/6011/ngemil-dan-dongeng-sang-katak-bertanduk.html
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait