Rumah Rakit yang Masih Bertahan
Dari banyak yang meninggalkan sungai untuk aktvitas mencuci, mandi dan tempat tinggal. Hasbullah [52] memilih untuk tetap berada diatas rumah rakit. “Saya sudah terbiasa tinggal disini, rumah rakit ini adalah bagian dari kehidupanku dan istriku.” Jelas Hasbullah
Selain untuk tempat tinggal, masyarakat yang masih mendiami rumah rakit juga menggunakan rumah rakit sebagai tempat perputaran aktivitas ekonomi. Yang dimana sebagian masyarakat menggunakan rumah rakitnya sebagai rumah makan, toko, dan tempat pemancingan.
Hasbullah diatas rumah rakitnya membuka usaha warung makan, tamu yang makan di warungnya umumnya adalah masyarakat yang melintasi Sungai Musi. “Kalau di rumah rakit ini, masih bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan jajan cucu.” Ucap Suryani [51]
Lanjut Suryani, “Disini kami mendapat informasi lebih cepat seperti harga sembako naik, harga cabai tinggi kami lebih tahu lebih dulu dibandingkan orang yang tinggal di darat. Orang-orang yang makan di warung saya, umumnya adalah pedagang yang menjual sayur, ikan dan sembako di pasar 16 Ilir, pasar gandus dan pasar Sekanak yang menggunakan perahu.”
Rumah Hasbullah dan istrinya Suryani adalah satu-satunya rumah rakit yang bertahan di wilayah Tangga Buntung, beberapa rumah rakit yang masih bertahan tersebar di wilayah Seberang Ulu, dan Kertapati di Sungai Ogan.
Rumah rakit dan identitas sosial
Rumah rakit diperkirakan sudah ada sejak zaman Kedatuan Sriwijaya, menurut data statistik kota Palembang memiliki luasan perairan 52,24 persen [1]. Dengan kondisi seperti ini, prilaku manusia pada masa lalu mempengaruhi kehidupan juga arsitektur bangunan. Hal ini dikarenakan hubungan manusia yang tak lepas dengan sungai dan kondisi sungai yang tidak mengering, berbeda dengan lahan basah yang mengalami pasang dan surut.
Pada masa Kesultanan Palembang, sekitar abad ke-17, wilayah Seberang Ulu Palembang sudah terdapat permukiman, berupa rumah-rumah rakit [2]. Mereka yang ingin ke Seberang Ilir [wilayah pemerintahan Kesultanan Palembang] menggunakan perahu. Mereka yang menetap di rumah-rumah rakit ini adalah pendatang asing, seperti China, Eropa, India, dan Arab.
Dari rumah rakit masyarakat memperoleh informasi baik dari Hulu maupun dari Hilir, pertukaran informasi ini melalui aktivitas masyarakat yang melintas di badan sungai melewati rumah rakit. Komunikasi terjalin dari atas perahu dan rumah rakit yang biasanya tidak hanya digunakan sebagai hunian tetapi juga sebagai tempat usaha, seperti gudang, toko, juga sebagai tempat membuat perahu dan panglong kayu.
Di masa Kesultanan Palembang juga orang orang Cina tidak diperbolehkan memiliki lahan pertanian, mereka diperkenankan tinggal di kota Palembang. Akan tetapi, mereka harus tinggal di atas rumah rakit [3]. Pada masa ini ini kelompok pedagang Cina lebih banyak menguasai bisnis transportasi, terutama transportasi air [perkapalan].
Di Sungai Musi yang membentang sepanjang 750km membelah kota Palembang menjadi dua bagian Hulu dan Hilir, sejak dulu Sungai Musi menjadi tulang punggung. Juga sebagai pintu terbuka untuk semua bangsa melakukan perdangangan di sepanjang jalurnya, dari masa Kedatuan Sriwijaya sampai Kesultanan Palembang.
Membuat arus informasi dan pesebaran budaya bangsa-bangsa luar mengalir bersama kebiasaan masyarakat lokal. Menurut catatan sejarah, suku Melayu dikenal sebagai komunitas pedagang lintas perairan dengan karakteristik budaya yang dinamis, bisa menyerap, berbagi, hingga menyalurkan kebudayaan dari kelompok lain [4].
Transisi Pemukiman
Sejak pembangunan perumahan di lahan rawa yang ditimbun, masyarakat mulai perlahan meninggalkan rumah rakit. Masyarakat dulunya yang hidup diatas rawa umumnya membangun rumah panggung, rumah yang arif terhadap lingkungan tanpa harus untuk menimbun rawa. Juga diikuti dengan pembangunan sarana olahraga, gedung BANK SUMSEL, gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota. Pembangunan tersebut ikut menyumbang penyusutan rawa sebanyak 86 hektare di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan [5].
Luasan lahan rawa saat ini di Kota Palembang berjumlah 5.438 Ha, pada tahun 1989 luasan lahan rawa di Kota Palembang tidak kurang dari 40.000 Ha [6]. Penyusutan rawa membuat daerah yang dulunya rawa menjadi banjir, diakibatkan pembangunan perumahan, gedung, dan kantor-kantor yang tidak ramah lingkungan.
Stigma kumuh yang melekat pada pemukiman yang ada di pinggir Sungai Musi membuat Pemerintah Kota Palembang melarang masyarakat tinggal di pinggiran Sungai Musi baik itu rumah rakit, maupun rumah panggung [7]. Namun hal ini mendapat penolakan dari masyarakat, karena menjadi warisan budaya yang harus di pertahankan. Dengan ini pemerintah bertanggung jawab untuk memberdayakan rumah rakit yang masih tersisa, untuk menjaga warisan budaya yang tersisa di Sungai Musi.
Refrensi:
[1] https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=518 2010
[2] Mahesa Putra, “Perahu Ketek yang Terpinggirkan di Sungai Musi,” Mongabay Indonesia, 2023.
[3] Jumhari, “Sejarah Sosial Orang Melayu, Keturunan Arab Dan Cina di Palembang,” Kemendikbud, 2010.
[4] Barnard Timothy P. “Contesting Malayness: Malay identity across boundaries,” Singapore University press, 2004.
[5] Arif Ardiansyah, “Luas Rawa Palembang Menyusut,” Tempo, 2010
[6] Saut Sagala, “Alih fungsi lahan rawa dan kebijakan pengurangan resiko banjir di kota Palembang.” 2013
[7] Rois Leonard Arios, “Rumah rakit: Mengarungi Hidup di atas Sungai Musi Kota Palembang.” 2010
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Terkait