PURBA, LANGKA DAN KRITIS

Satwa
PURBA, LANGKA DAN KRITIS
16 Oktober 2019
1500

PURBA, LANGKA DAN KRITIS

Melihat langsung badak secara nyata saja belum pernah. Hanya melihatnya lewat buku bergambar ataupun lewat internet. Sering mendengar kabar bahwa salah satu hewan purba yang saat ini keberadaannya langka dan terancam punah adalah badak. Hal ini dikarenakan populasinya yang semakin hari semakin mengerucut tajam. Satwa ini termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies terancam lembaga konservasi dunia, IUCN. Lewat kegiatan Wildlife inilah, saya ingin melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi, kenapa bisa begini dan apa yang harus dilakukan.

Dari lima jenis badak yang ada di dunia, dua diantaranya terdapat di Indonesia yaitu Badak Jawa dan Badak Sumatera. Berbicara mengenai Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dari laman Forum Badak dikatakan bahwa Badak Sumatera memiliki dua buah cula pada bagian kepalanya. Badak Sumatera memiliki tubuh yang lebih kecil dengan bobot tubuh lebih kurang 909 kilogram dibandingkan empat spesies lainnya meskipun masih tergolong ke dalam hewan mamalia yang besar. Badak Sumatera juga dikenal memiliki rambut terbanyak dibandingkan seluruh sub-spesies badak di dunia, sehingga sering disebut hairy rhino (badak berambut). Ciri-ciri lainnya adalah telinga yang besar, kulit berwarna coklat keabu-abuan atau kemerahan sebagian besar ditutupi oleh rambut dan kerut di sekitar matanya. Badak Sumatera tersebar di Taman Nasional Gunung Leuser, Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, hingga Kutai timur, Kalimantan timur. Di Taman nasional Kerinci Seblat yang dulu nya disebut sebagai gudang badak diperkirakan keberadaannya sekarang tidak ada lagi.

Adapun alasan kenapa spesies ini terancam punah adalah dari faktor internal dari badak itu sendiri dan faktor eksternal dari lingkungan habitatnya. Faktor internal yang mempengaruhi adalah sifatnya yang sangat primitif berada di lokasi yang susah dijangkau dan pelosok dari hutan. Badak Sumatera hidup di alam dalam kelompok kecil dan umumnya menyendiri (soliter) sehingga sulit untuk menemukan pasangannya. Selanjutnya masa hidup yang tidak panjang dan masa berkembang biak (reproduksi) yang rendah. Masa hidup badak yang hanya berkisar antara 35-40 tahun saja, membuat keberadaan badak ini semakin terancam. Masa reproduksi yang dimulai pada usia 7 tahun dengan masa kehamilan selama 18 bulan. Setiap induk kemungkinan hanya akan menghasilkan maksimal 4-5 individu anak badak sepanjang hidupnya. Begitu juga dengan penyakit yang akan menyerang badak di alam liar itu sendiri. Faktor eksternal yang mempengaruhi keberadaan badak antara lain adalah perburuan liar untuk diambil cula dan bagian tubuh lainnya. Secara turun temurun masyarakat percaya bahwa cula dan bagian tubuh badak dapat dijadikan obat dan tameng untuk pertahanan dirinya sehingga permintaan dan harga cula dan bagian tubuh badak dipasaran sangat tinggi. Begitu juga dengan pembalakan liar untuk mengambil kayu di hutan serta alih fungsi hutan menjadi lahan untuk pertanian perkebunan dan pemukiman sehingga membuat habitat dan bahan makanan badak semakin sedikit dan tercekik. 

Agar satwa ini dapat terus ada dan populasinya dapat meningkat, dibutuhkan upaya yang sangat serius untuk penyelamatan satwa ini. Salah satunya melalui Wildlife warrior. Sosialisasi ke masyarakat mengenai pentingnya kesadaran akan kepunahan satwa ini diharapkan berkurang atau tidak ada lagi perburuan liar, pembalakan liar dan alih fungsi hutan. Hal ini harus sejalan dengan program pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan perekonomian sehingga tidak ada lagi perburuan liar satwa ini. Begitu juga dengan upaya menghentikan perdagangan ilegal dari cula maupun bagian tubuh badak yang harus dilakukan dengan serius. Sehingga diharapkan keberadaan hewan purba yang masih ada ini dapat dipertahankan dan diharapkan populasinya dapat meningkatkan agar keberadaannya tetap melestari hingga anak cucu kita kelak.

 

Referensi : WWF, Mongabay Indonesia, Yabi, Wikipedia Bahasa Indonesia, National Geographic Indonesian  

Tentang Penulis
Yuni Khairunnisa

Tinggalkan Balasan

2019-10-16
Difference:

Tinggalkan Balasan