Potensi Emisi Karbon Akibat Kebakaran di Sindoro, Sumbing, Lawu dan Andong

Potensi Emisi Karbon Akibat Kebakaran di Sindoro, Sumbing, Lawu dan Andong
16 September 2018
1420

Foto: @kakya_pramudya

 

Perubahan iklim yang terjadi telah menimbulkan bencana bagi manusia. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relative pendek dengan intensitas yang cukup tinggi yang dirasakan saat ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa perubahan iklim telah terjadi. Isu kebakaran dan krisis kelangkaan air bersih sudah tak asing terdengar lagi di telinga kita saat musim kemarau melanda saat ini. Salah satu kasus kebakaran yang terjadi pada bulan September 2018 yakni kebakaran yang terjadi di Gunung Lawu, Sindoro, Sumbing, dan Andong. Menurut Herman selaku Kepala Urusan Komunikasi Perum Perhutani KPH Kedu Utara, “Langkah antisipasi kebakaran yang semakin meluas dan keamanan pendaki untuk sementara jalur pendakian ke Gunung Sindoro ditutup.” Awalnya mulanya titik api terpantau di petak 7B area Perhutani wilayah Resor Pemangku Hutan (RPH) Kwadungan masuk Desa Canggal, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung. Lalu, kebakaran kemudian meluas ke wilayah RPH Sigedang BKPH Wonosobo.[1] Kebakaran yang terjadi di empat gunung di Indonesia mencapai lebih dari 1035 hektar dengan masing-masing luasan yang terbakar di gunung Sindoro dan Sumbing sejak Jumat (7/9/2018) hingga 15/9/2018 lebih dari 1000 hektar.[2] lereng Gunung Lawu sekitar 30 hektar dan lereng Gunung Andong tepatnya di Dusun Sijaran, Papergunung, Ngablak tanggal 9/9/2018 juga mengalami kebakaran lebih dari lima hektar. Namun hingga operasi pemadaman lahan di lereng gunung Sindoro dan Sumbing menggunakan helicopter BO 105 milik BNPB terpaksa batal akibat kondisi cuaca yang tertutup awan dan medan yang terjal. Sedangkan lahan di Gunung Lawu dan Prau telah berhasil dipadamkan. Lantas berapa emisi karbon yang dilepaskan dari kejadian kebakaran di empat lokasi gunung tersebut? Karbon merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki peranan dalam pembentuk gas rumah kaca (GRK). Di gunung, khususnya pada kawasan hutan kontribusi GRK disebabkan oleh gas karbon dioksida. Dalam konteks perubahan iklim, hutan berfungsi sebagai penyerap dan pengemisi karbon. Oleh karena itu pengukuran cadangan karbon perlu diukur sehingga kadar ozon di atmosfer terjaga yang memliki peranan dalam mengendalikan sinar ultraviolet dari radiasi matahari. Cadangan karbon di ekosistem daratan dapat disimpan melalui tiga komponen pokok yaitu biomassa, nektomassa dan tanah.[3] Khusus dalam penulisan ini adalah biomassa tumbuhan bawah dan termasuk dalam hutan lahan kering sekunder. Pada laman mongabay.co.id[4] nilai emisi karbon/ton pada hutan lahan kering sekunder mencapai 157 ton. Jika dikalikan dengan 1100 hektar lahan terbakar, total emisi karbon yang dihasilkan menjadi 162.495 ton. Sedikit atau banyaknya emisi karbon yang terlepas ke udara, jika terjadi secara terus menerus akan menyebabkan perubahan iklim serta penipisan lapisan ozon di atmosfer kita. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengurangan pelepasan cadangan karbon dikawasan hutan yakni dengan meletakkan satelit satelit pendeteksi titik panas sehingga perluasan lahan yang terbakar ataupun mitigasi kebakaran dapat diminimalisir.

 

 

  [1] https://regional.kompas.com/read/2018/09/12/06174691/3-gunung-di-jawa-tengah-terbakar-berikut-fakta-faktanya [2] https://www.liputan6.com/regional/read/3644384/gunung-sindoro-sumbing-terbakar-hebat-bagaimana-aktivitas-di-gunung-prau [3] Kurniatun Hairlah, dkk. Petunjuk praktis PENGUKURAN CADANGAN KARBON dari tingkat lahan ke bentang lahan Edisi ke 2. (Bogor: World Agroforestry Center) h. 22 [4]http://www.mongabay.co.id/2014/03/21/sains-berapa-besar-emisi-karbon-dari-hutan/

About Author
Rahmat Fauzi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related
Article
No items found
2018-09-16
Difference:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *